Pengikut

Senin, 22 Juni 2020

Prinsip Penyusunan Kurikulum Darurat Covid 19


Oleh:
Mishad


            Adanya pandemi covid-19  berimbas juga ke jantung instrumen pendidikan kita, yaitu kurikulum.  Akibat masa pandemi menyebabkan harus ada penyesuaian perangkat mata pelajaran dan program pendidikan yang diberikan oleh suatu lembaga penyelenggara pendidikan kepada peserta didiknya. Sehingga rancangan pelajaran yang akan diberikan kepada peserta didik dalam satu periode jenjang pendidikan juga akan diselaraskan. Munculnya ide kurikulum darurat adalah untuk merespon situasi dan kondisi pendidikan di tengah wabah korona yang berkepanjangan.
            Kurikulum darurat adalah kurikulum yang disusun dan dilaksanakan oleh satuan pendidikan pada masa darurat. Satuan pendidikan harus memperhatikan rambu-rambu ketentuan yang berlaku serta kondisi keterbatasan masing-masing satuan pendidikan di masa darurat. Kurikulum darurat membuatuhkan suatu panduan. Panduan kurikulum darurat adalah tatacara mengenai mekanisme pembelajaran yang dapat dijadikan acuan oleh satuan pendidikan. Dengan adanya panduan, satuan pendidikan diharapkan dapat merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran selama masa darurat dengan mengacu padanya.
          Dalam menyusun kurikulum darurat, madrasah dapat melakukan modifikasi dan inovasi pada struktur kurikulum, beban belajar, strategi pembelajaran, penilaian hasil belajar dan lain sebagainya. Pada masa darurat, seluruh siswa harus tetap mendapatkan layanan pendidikan dan pembelajaran dari sekolah/ madrasah. Oleh karena diperlukan sebuah kurikulum yang lebih adaptif bagi guru, siswa, dan orang tua pada situasi dan kondisi pandemi ini.
            Ada beberapa prinsip dalam menyusun kurikulum darurat agar bisa diterapkan secara ideal di lapangan, diantaranya adalah: Pertama. Siapa saja bisa menjadi guru dan siswa. Pembelajaran pada masa pandemi, tidak bisa mengandalkan guru sebagai sumber belajar utama. Walaupun rencana ada Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) tatap muka, tapi waktu KBM-nya dikurangi, dan masuknya dengan sistem shift (bergilir). Sehingga dimungkinkan siswa harus banyak otodikdak, bahkan saudara dan orang tuanya juga harus turun tangan mendampingi, terutama siswa SD.
Semua bisa jadi siswa, maksudnya semua juga harus banyak belajar, termasuk guru dan orang tua. Guru dan orang tua harus belajar teknologi dan informasi, karena media belajar daring, dan sedikitnya jam KBM. Kondisi tersebut menuntut guru, siswa, dan orang tua harus berkolaborasi belajar dengan memanfaatkan media dan sumber belajar dari dunia maya. Belajar di dunia maya menuntut guru dan orang tua untuk memahami dan bisa memanfaatkan teknologi informasi.
Kedua, Di mana saja bisa dijadikan kelas. Sering kita diundang di forum webinar dengan mencantumkan tempat di media virtual, seperti zoom/ webex/ goegle meet, dan lai-lain. Itu adalah satu bukti, bahwa  kelas belajar kita banyak memanfaatkan kelas virtual. Bahkan tahun ini penilaian akhir tahun (PAT) di madrasah saya dan di sekolah lain siswanya mengerjakannya dari rumah masing-masing. Artinya bisa jadi ruang tamu, kamar tidur, dapur, bahkan halaman rumah mereka jadi tempat mengikuti PAT. Bahkan ada salah satu peserta PAT di madrasah saya yang berasal dari pelosok desa, harus mendekati area yang terjangkau dari tower milik telkomsel demi memperoleh sinyal yang baik karena di rumahnya listrik padam dan jaringan wifi/ internetnya mati.
Ketiga. Mengkombinasikan antara kelas luring (luar jaringan/tatap muka) dan daring (dalam jaringan/online). Kurikulum  harus dibuat dengan mengkombinasikan strategi mengajar daring dan luring yang efisien. Harapannya, siswa yang datang ke sekolah terlayani, termasuk yang masih harus belajar dari rumah. Kurikulum harus diramu dengan menerapkan strategi KBM yang efisien agar guru tidak kehabisan energi, karena harus melayani siswa yang daring dan luring. Salah satu strategi yang dapat diterapkan, misalnya merekam KBM pada saat KBM luring, kemudian hasilnya disampaikan pada siswa yang belajar daring dari rumah. Merekam tidak harus melalui media video, mungkin juga rekaman suara atau merekam dokumen, dan instrumen belajar yang lain dengan menyesuaikan kebutuhan dan kemampuan guru dan sarana prasarana yang ada.
Ke-empat. Rancangan pembelajaran berbasis teknologi informasi (IT) secara optimal. Di situs guru berbagi yang dibuat oleh kemendikbud yang juga mengagandeng Kemenag, kita banyak diajari tentang bagaimana merancang pembelajaran yang berbasis pandemi. Di situs guru berbagi, banyak di-share RPP darurat covid yang dilengkapi dengan artikel implementasinya. Konsep implementasi RPP-nya rata-rata memanfaatkan  teknologi informasi. Karena mayoritas di masa pandemi ini pembelajarannya model daring, yang sangat membutuhkan penguasaan IT bagi guru, siswa, dan orang tua.
Di masa liburan akhir tahun pelajaran ini, sekolah harus menyiapkan SDM gurunya untuk lebih baik lagi dalam penguasaan teknologi. Kemungkinan besar pembelajaran model daring akan dilanjutkan lagi di tahun pelajaran 2020-2021, karena sebagian besar daerah di Indonesia masih mayoritas masuk zona kuning, orange, merah, bahkan hitam. Guru harus dibekali kemampuan untuk bisa membuat media pembelajaran, mengoperasikan, dan memberdayakan  e-learning dengan lebih bagus dan variatif. Kita bisa merasakan, pembelajaran daring membuat siswa, orang tua, dan kita sebagai guru mengalami titik jenuh. Maka di masa liburan ini perlu ada evaluasi dan jedah untuk rilek. Kemudian dari hasil evaluasi itu kita perlu untuk mempersiapkan diri untuk tampil lebih baik di tahun ajaran baru, pada bulan Juli tahun 2020 ini.
Ke-lima. Memilih materi esensial. Karena terjadi perampingan jam KBM daring/luring, maka materi yang diajarkan diambil yang penting/esensial saja. Materi non esensial yang masih dianggap perlu bisa disajikan ke siswa melalui penugasan, projek, atau portofolio. Misi Pendidikan karakter juga tetap harus dijalankan dalam kurikulum darurat. Penerapan penguatan karakater siswa bisa dilakukan dengan pemantauan ibadah siswa, kepedulian/kesalehan sosial. Instrumen yang sesuai digunakan untuk memonitor aktivitas ibadah dan sosial siswa bisa menggunakan lembar monitoring yang mereka cek list atau isi, dan dikirim secara periodik ke wali kelas/guru terkait.
Ke-enam. Tetap berpedoman pada kalender pendidikan. Kalender Pendidikan merupakan pegangan penting untuk menuntun dan mengontol road map dari kurikulum pendidikan. Tentu saja kalender pendidkan yang sudah disesuaikan dengan kebutuhan kurikulum darurat. Fakta di lapangan pembelajaran daring lebih banyak membutuhkan waktu dan toleransi siswa. Mengurus tagihan ke siswa pada KBM daring memerlukan kesabaran dalam hal toleransi dan waktu. Menagih siswa untuk mengumpulkan tagihannya lewat  via e-learning atau jejaring sosial tidak seperti ketika KBM tatap muka. Oleh karena itu kalender Pendidikan harus elastis tidak perlu kakuh, tapi juga tidak boleh terlalu melenceng dari visi yang ada.
Dengan menerapkan prinsip-prinsip di atas, diharapkan kurikulum darurat yang proporsional  bisa didapatkan. Tentu saja jika kurikulum tersebut sudah dibuat di atas kertas, maka yang lebih penting lagi adalah mengawal implementasinya di lapangan. Penerapannya di lapangan juga harus melihat kondisi lembaga pendidikan yang ada, terutama harus melihat kesiapan SDM dan sarana pra sarananya. Tetap semangat mengemban amanah pendidikan, ingat, jangan pantang menyerah dan jangan kasih “kendor”.  Innallaha ma’ana, sesungguhnya Allah, Tuhan yang maha kuasa bersama kita. Wallahua’lam

Kamis, 18 Juni 2020

Mengawal Belajar Dari Rumah



Oleh:
Mishad

Pagi itu, Bude Ima baru sampai di rumah. Asisten rumah tangga di keluargaku itu kelihatan agak bingung. Dia kemudian bertanya kepada istriku “Aplikasi iku nopo se bu?”. Istri saya tidak menjawab tapi malah bertanya “Memange damel nopo to bude?”. ” Tugase sekolahe Udin kale Wulan (baca: anaknya) terose pakai aplikasi HP bu, lah kulo lan bapake mboten ngerti aplikasi iku nopo ”. “owalah bude sampeyan gowo HP-ne rene mengko tak bantu” begitu jawaban istri saya untuk sekedar menenangkan bude yang kelihatan masih bingung memikirkan tugas anaknya.
            Kisah nyata di atas adalah salah satu dari sekian cerita tentang testimoni  seputar efek dari “belajar dari rumah” yang diprogramkan pemerintah akibat dari mewabahnya virus Corona (Covid 19). Program belajar dari rumah yang digaungkan oleh pemerintah dalam pelaksanaannya ternyata tidak semudah yang diwacanakan. Di lapangan banyak sekali kendala-kendala yang dialami, baik oleh guru, siswa, bahkan orang tua siswa.
Ada dua kendala yang dialami oleh para pelaku program “belajar dari rumah”. Pertama adalah kendala teknis. Sebagai contoh kendala teknis adalah tentang kepemilikan gadget (HP/laptop), akses internet, hingga penguasaan teknologi informasi. Apa yang dialami bude Ima pada kejadian di atas adalah terkait dengan kendala teknis, yaitu penguasaan teknologi. Banyak orang tua yang tidak paham tentang aplikasi e-learning, zoom, atau email yang banyak digunakan dalam pembelajaran online. Anak SD ketika belajar online di rumah sangat merepotkan orang tuanya. Karena yang menyiapkan dan mendampingi belajar anaknya adalah orang tuanya. Lebih susah lagi jika orang tua yang seyogyanya mendampingi belajar anaknya harus bekerja ke luar rumah.
Belajar online juga cukup mahal. Bagi keluarga yang ekonominya pas-pasan pembelajaran online cukup menambah pengeluaran, terutama kalau harus menggunakan aplikasi zoom, google meet, hangout, atau aplikasi video conference dan meeting yang lain. Saya sebagai pengajar, ketika harus mengunduh tugas seluruh siswa saya dari aplikasi e-learning dan email, terutama yang berbentuk file video juga membutuhkan pulsa yang lumayan besar.
Akses internet tidak hanya bermakna biaya pulsa, tapi juga menyangkut keberadaan sinyal. Saya yang tinggal di kota saja terkadang kesulitan mendapatkan sinyal yang baik, mungkin karena jenis kartunya. Tidak heran jika pak Avan Faturrahman, seorang guru SD di daerah Banyuputih Sumenep Madura memaknai belajar di rumah dengan versi lain. Karena keterbatasan sinyal dan kepemilikan gadget orang tua dari siswa-siswinya, beliau mendatangi mereka ke rumahnya  langsung untuk melaksanakan kegiatan belajar mengajar/KBM. Langkah ini bukan sesuatu yang ideal di masa pandemi virus korona, karena beliau masih harus kontak langsung dengan siswa dan keluarganya. Tapi ini adalah bentuk pengorbanan yang harus dilakukan beliau demi keberlangsungan belajar murid-muridnya.
Kendala yang tak kalah menghambatnya dalam pembelajaran online adalah kendala non teknis. Kendala non teknis yang dimaksud adalah kondisi mental, yaitu tingkat motivasi dan pembentukan karakter siswa. Bagaimanapun strateginya, pembelajaran online kurang bisa memunculkan motivasi siswa atau guru seperti halnya belajar tatap muka biasa, apalagi bicara tentang pembentukan karakter. Pembelajaran online yang dilaksanakan dari rumah masing-masing terkesan terlalu santai dan kurang memperhatikan etika. Bisa jadi guru atau siswa yang KBM online itu, baru bangun tidur,  belum mandi/hanya cuci muka saja atau hanya memakai celana pendek karena mereka hanya menampilkan mukanya saja. Dalam kondisi tersebut tentu motivasi dan pembentukan karakter siswa sulit sekali diwujudkan.
Permasalahan non teknis yang tak kalah peliknya terkait pembelajaran dari rumah adalah banyaknya keluhan siswa atas banyaknya tugas dari para guru mereka. Di medsos muncul “meme”, yaitu video seorang siswa  yang berkata “saya disuruh belajar dari rumah itu supaya imun-nya kuat, kok malah dikasih tugas berat. Bisa jadi kalau kami stress akan gampang terjangkit korona”. Tentu saja “meme” ini tidak untuk kita telan mentah-mentah, tapi mungkin bisa kita cari jalan tengahnya, yaitu supaya siswa di rumah tetap bisa belajar tapi tidak memberatkan.
Langkah pemerintah untuk mengatasi kendala-kendala tersebut sudah dilakukan. Salah satunya adalah  menggandeng TVRI untuk melakukan pembelajaran di rumah melalui siaran/program. Maka mulai tanggal 13 April 2020 dijalankanlah program tersebut. Karena mendadak dan kurang persiapan, maka program tersebut terkesan hanya memodifikasi konten-konten pendidikan tertentu saja kemudian disesuaikan dengan jenjang pendidikan anak. Seperti serial jalan sesama/ sesame street dijadikan materi belajar untuk anak jenjang PAUD, dan lain-lain. Tentu saja hujan kritik  datang dari berabagai pihak mengkritisi program dari kemendikbud yang digawangi oleh mas menteri ini. Di running text TVRI pun telah disosialisasikan agar pemirsa diharapkan memberikan saran/masukan untuk perbaikan program ini.
Bagaimanapun orang tua, apalagi yang memiliki anak yang belajar di jenjang SD harus sabar mendampingi anaknya mengikuti pembelajaran online di rumah. Orang tua juga tidak boleh malu untuk belajar tentang teknologi informasi. Bertanyalah kepada guru dan siapa pun tentang kesulitan anda. Kalau sudah kepepet, kasih saran pada guru agar memberikan pembelajaran/penugasan melalui whatsApp saja. Karena kalau melalui wa lebih merakyat dan mayoritas/sebagian besar orang tua bisa. Orang tua juga harus rajin membaca, sehingga kalau ditanya anaknya tentang pelajaran tertentu juga bisa menjelaskan. Jika ada kakaknya,  maka bisa dimintai tolong untuk memberi penjelasan / mendampingi adiknya  belajar.
Kejadian apapun pasti ada hikmahnya, termasuk orang tua yang harus mengawal belajar anak di rumah. Mungkin selama ini kita menggantungkan pendidikan anak kita lebih kepada gurunya. Dengan momentum wabah korona ini, mungkin sudah saatnya kita sebagai orang tua mulai berperan lebih besar atas pendidikan anak kita. Hikmah lain yang mungkin bisa kita ambil adalah untuk lebih menghargai peran guru anak kita di sekolah/madrasah, karena banyak orang tua yang merasa berat mendampingi, apalagi mengajari anaknya sendiri. Sehingga orang tua mulai ada penilaian bahwa tugas mengajar/guru ternyata berat dan orang tua rata-rata ingin agar anaknya kalau bisa belajar di sekolah lagi. Mudah-mudahan wabah korona ini segera berakhir, sehingga kegiatan belajar anak kita di sekolah/madrasahnya bisa aktif dan normal kembali…. Aamiin.  Wallahua’lam.

Strategi Pembelajaran Guru di Era “New Normal”


Oleh:
Mishad*

            Seperti dilansir  beberapa media, bahwa ada rencana pembelajaran di sekolah akan dimulai pada 13 Juli 2020 mendatang bersamaan dengan rencana diterapkannya “new normal” di sektor pendidikan. Beberapa sekolah menyatakan siap untuk membuka lagi kegiatan belajar mengajar (KBM) di sekolahnya masing-masing. Tapi ada beberapa sekolah yang menyampaikan belum siap karena alasan sarana dan pra sarana yang kurang memadai. Beberapa sekolah di Papua pada saat pembelajaran dalam jaringan (daring) yang sudah berjalan lebih dari dua bulan ini juga kurang efektif. Hal ini karena kepemilikan gadget siswa yang masih minimal (kurang dari 50%) dan SDM guru dan siswa, termasuk orang tuanya yang melek informasi teknologi (IT) juga sangat terbatas.
Kini, ketika era new normal telah diwacanakan di sektor pendidikan telah memicu respon beberapa sekolah. Imbasnya, beberapa sekolah, terutama sekolah swasta yang minim pendanaan sangat berharap sekolah untuk dibuka kembali. Sekarang, mereka kesulitan untuk menarik  secara optimal dana ke wali murid karena pembelajaran daring dianggap kurang efektif oleh orang tua. Dampaknya dana SPP siswa tidak bisa dibayarkan secara penuh ke sekolah, padahal mereka kepingin maksimal menggaji guru dan pegawainya.
Untuk mempersiapkan pembelajaran di era new normal, beberapa sekolah sudah menyiapkan wastafel, cadangan masker, hand sanitizer, thermo gun, face shild, dan piranti safety health yang lain. Sekolah juga berencana menerapkan standar protokol kesehatan, seperti  sistem shift (bergantian), perampingan jumlah jam pelajaran, out dor/ semi out dor learning, menyusun standar operasional prosedur(SOP) KBM, dan lain-lain.
Guru sebagai salah satu komponen pendidikan,  memiliki peran strategis dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah. Dalam kondisi new normal, guru harus mempunyai strategi khusus untuk menghadapinya. Untuk itu perlu dilakukan langkah-langkah yang adaptif oleh guru untuk menyesuaikan dengan kebijakan “new normal” . Langkah tersebut diantaranya adalah: Pertama. Memakai alat pelindung diri (APD) standar, yaitu masker, jika perlu memakai sarung tangan dan face shield. Masker bagi guru berfungsi untuk mencegah penularan dan penyebaran penyakit. Sebaiknya guru konsisten menggunakannya ketika KBM dengan siswa. Ada dua manfaat yang bisa kita dapatkan dari penggunaan masker ini, yaitu guru dan siswa tidak saling menularkan dan menyebarkan penyakit.
Kedua. Menkombinasikan pembelajaran daring dan luring (luar jaringan/ tatap muka), karena perampingan waktu. Dalam kurikulum darurat covid 19, akan diberlakukan perampingan jumlah jam pelajaran. Selain pengurangan jam pelajaran, juga akan tetap dilakukan daring bagi siswa yang tidak memungkinkan datang ke sekolah. Karena masih dimungkinkan beberapa siswa masih terhambat karantina wilayah atau hambatan lain yang tidak memungkinkan mereka masuk.
            Guru harus membuat kombinasi strategi mengajar daring dan luring yang efisien, sehingga siswa yang datang ke sekolah terlayani, termasuk yang masih harus belajar dari rumah. Tetapi guru harus meramu strategi KBM yang efisien agar guru tidak kehabisan energi, karena harus melayani siswa yang daring dan luring. Salah satu strategi yang dapat diterapkan, misalnya merekam KBM pada saat KBM luring, kemudian hasilnya disampaikan pada siswa yang belajar daring dari rumah. Merekam tidak harus melalui media video, mungkin juga rekaman suara atau keknik merekam yang lain disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan guru dan sarana yang ada.
Ketiga. Menjaga jarak aman, ketika interaksi dengan siswa. Dalam melakukan KBM luring, tentunya kita akan ada kecenderungan berinteraksi secara fisik dengan siswa. Maka sebaiknya interaksi tersebut tidak sampai terlalu dekat apalagi harus kontak fisik.  Selain penggunaan masker dan APD lain, untuk melakukan phisical distancing dengan siswa bisa dilakukan dengan cara out dor learning, yaitu melaksanakan pembelajaran di tempat terbuka yang agak luas. Jika sekolah tidak ada ruang terbuka yang memadai, maka bisa tetap di kelas tapi dengan menjaga jarak aman.
            Sekolah juga bisa membantu mengurangi kepadatan di kelas melalui strategi shift (siswa masuk bergilir). Sistem bergilir sangat dimungkin dengan cara separuh masuk pagi sampai siang dan separuh masuk siang sampai sore. Beberapa sekolah yang siswanya kemungkinan mayoritas masuk semua, sangat sesuai menerapkan strategi ini. Bagi sekolah yang sama-sama dominan antara yang bisa datang ke sekolah dengan yang masih harus belajar di rumah, maka secara otomatis akan mengurangi kapasitas penghuni kelasnya. Maksudnya separuh siswa akan  mengikuti luring di sekolah dan yang separuh akan mengikuti daring dari rumah.
Ke-empat. Menjaga kebersihan, rajin cuci tangan, bila perlu membawa hand sanitizer. Biasanya, aktivitas cuci tangan sering dilakukan oleh guru, terutama ketika tangannya belepotan tinta spidol waktu selesai mengajar. Tapi di era pandemi ini, sebaiknya guru dan siswa harus rajin cuci tangan setelah aktivitas apa pun, karena tangan kita sering tidak sengaja menyentuh benda/alat/ atau tempat-tempat tertentu yang rentan terdapat bakteri/virus. Oleh karena itu, menjaga kebersihan sarana pra sarana dan lingkungan sekolah perlu digalakkan lebih intensif di sekolah.
            Untuk menunjang program cuci tangan, fasilitas wastafel di sekolah perlu dibuat lebih banyak dan disedikan sabun. Cuci tangan dengan sabun lebih diutamakan daripada harus menggunakan hand sanitizer, karena terlalu sering menggunakan hand sanitizer berdampak buruk pada kulit. Penggunaan hand sanitizer dilakukan jika memang tidak memungkinkan/ kesulitan mendapatkan tempat cuci tangan. Tentunya semua kegiatan menjaga kabersihan sekolah dan cuci tangan ini dilakukan bersama-sama oleh seluruh komponen sekolah.
Ke-lima. Menjaga kebersihan alat/ tempat/ fasilitas yang digunakan bersama dengan siswa/teman sejawat. Era pandemi ini menuntut kita untuk lebih telaten dan peduli pada sesuatu yang mungkin sebelumnya kita anggap tidak perlu. Membersihkan keyboard komputer di lab, menyemprot berkala ruangan dengan desinfektan, membersihkan pegangan tangga dan pegangan pintu , dll perlu dilakukan berkala demi kebersihan serta pencegahan penyebaran dan penularan penyakit di sekolah.
Budaya bersih dan sehat tentunya harus diterapkan bersama seluruh komponen sekolah,  termasuk ketika menggunakan fasilitas bersama di sekolah. Perlu ada panduan/protokol yang harus diterapkan semisal ketika KBM di laboratorium, aktifitas di perpustakaan, makan di kantin, di kamar mandi/toilet, bahkan ketika di tempat ibadah. Guru sebagai inspirator sekaligus motivator harus menjadi teladan dalam menggalakkan budaya ini.
Ke-enam.Perlu membuat SOP (standar operasional prosedur) KBM. Implementasi aturan yang diterapkan akan lebih sistematis jika dibuat SOP-nya, termasuk dalam KBM. Guru dan pihak terkait di sekolah idealnya harus membuat SOP KBM di kelas, SOP KBM out door learning, SOP belajar di perpusatakaan, SOP belajar di laboratorium, dan lain-lain. Harapannya dengan SOP ini segala aktifitas guru dalam KBM-nya bisa lebih tertuntun, teratur, terukur dan terkontrol.
Ke-tujuh. Memperbanyak dzikir dan do’a. Setelah berikhtiar dengan langkah-langkah preventif di atas, kita sebagai guru juga harus banyak berdzikir dan berdoa. Rasulullah bersabda “Ikatlah untamu lebih dahulu, kemudian bertawakal.” Langkah-langkah yang sudah kita lakukan di atas merupakan implementasi dari “mengikat unta”. Do’a dan dzikir adalah perwujudan dari tawakkal. Do’a dan dzikir adalah suatu cara untuk menutup celah atas kekurangan dan keteledoran dari apa yang sudah kita ikhtiarkan. Berserah diri kepada Allah SWT setelah ikhtiar dengan langkah-langkah di atas adalah bentuk pengakuan, bahwa kita sebagai manusia ini tempat dari salah dan lupa. Sehingga pada dasarnya Allah SWT, Tuhan yang maha kuasalah yang bisa menolong dan menyelamatkan kita dari marabahaya dan keburukan lainnya, termasuk dari wabah korona ini. Semoga Allah SWT, Tuhan maha  kuasa memberikan kemudahan dan keselamatan bagi kita semua yang berencana kembali mengadakan pembelajaran tatap muka di era new normal ini. Aamiin. Wallahua’lam

Senin, 17 Februari 2020

Instrumentalia Sholawat


Ada baiknya sekali-kali kita mendengar sholawat atau instrumentalia ini sebagai salah satu cara menenangkan pikiran dan melembutkan hati. Coba simak video yang saya ambil dari youtube ini

Rabu, 12 Februari 2020

Perlukah Pendidikan Kebencanaan Di Sekolah?

 Mishad
Indonesia merupakan negara yang ditakdirkan rawan bencana alam baik disebabkan faktor geologi maupun meteorologi. Bencana alam geologi karena Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik bumi, yaitu Lempeng Eurasia, Indo-Australia, dan Samudera Pasifik. Pertemuan tiga lempeng ini menyebabkan Indonesia rawan bencana gempa bumi dan letusan gunungapi. Sehingga menyebabkan Indonesia termasuk pada bagian dari Ring of Fire dunia. Bentuk Wilayah Indonesia yang sekitar 70% nya berupa lautan menyebabkan Indonesia sangat rawan bencana tsunami yang disebabkan oleh gempa tektonik maupun gempa vulkanik. Begitu pula, posisi Indonesia yang terletak di daerah tropis dengan curah hujan yang tinggi sangat berpotensi bencana longsor, banjir, dan angin puting beliung pada musim hujan, dan bencana kekeringan pada setiap musim kemarau.
Bencana besar yang menimbulkan banyak korban jiwa sangat menyadarkan bahwa kita hidup di daerah rawan bencana. Seperti bencana gempa dan tsunami di Aceh (2004), bencana gempa di Jogjakarta (2006), bencana tsunami Pangandaran (2006),  bencana gempa Padang (2009), bencana gempa Lombok (2018), bencana gempa, tsunami, dan liquifaksi di Palu (2018), dan terakhir bencana tsunami di Selat Sunda (2018).
Di Malang raya juga akhir-akhir ini juga sering terjadi bencana tanah longsor, banjir bandang, dan angin puting beliung. Tentunya, fenomena bencana ini untuk tanggap agar mencari solusi yang tetap guna menghadapi bencana itu, baik secara preventif (pencegahan) maupun kuratif (penangangan). Idealnya, solusi secara preventif yang efektif bisa dilakukan sejak dini melalui pendidikan tentang kebencanaan pada siswa di sekolah.
Pentingnya tentang pendidikan kebencanaan juga disampaikan oleh presiden Jokowi. Menurut beliau, sebagai negara di tempat rawan bencana alam, ring of fire, kita harus siap merespons dan tanggung jawab menghadapi segala bencana alam. Saya minta edukasi lebih baik, konsisten dan lebih dini bisa masuk ke dalam muatan sistem pendidikan kita," ujar beliau. Ia yakin, jika muatan edukasi dan mitigasi bencana masuk dalam materi pendidikan di sekolah, Indonesia akan jauh lebih siap dalam menghadapi bencana alam.(kompas, 7/1/2019)
Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (UU No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS). Melalui pendidikan kebencaaan harapannya peserta didik mengalami perubahan ke arah yang lebih baik, baik dari pengetahuan, sikap, maupun keterampilannya dalam menghadapi permasalahan kehidupan sehari-hari, terutama tentang kebencanaan.
Pendidikan kebencanaan dimaksudkan untuk merubah pengetahuan, sikap, dan keterampilan peserta didik tentang kebencanaan. Perubahan ini meliputi dari yang tadinya tidak tahu menjadi tahu bahwa daerah tempat tinggalnya termasuk kawasan rawan bencana, dari yang tadinya tidak peduli menjadi peduli terhadap upaya pencegahan banyaknya korban jiwa, dari yang tadinya tidak terlatih menjadi terlatih dalam upaya penyelamatan jika terjadi bencana. Oleh karena itu, Pendidikan kebencanaan harus meliputi tiga aspek, yaitu kognitif (pengetahuan), afektif (sikap), dan psikomotor (keterampilan).
Pendidikan kebencanaan mempunyai fungsi terhadap kognitif yakni untuk meningkatkan pemahaman terhadap permasalahan kebencanaan, selain itu meningkatkan daya ingat, penerapan, analisis, sintesis dan evaluasi terhadap potensi bencana yang terjadi dalam lingkungan sekitarnya.
Sementara itu, dalam aspek afektif, pendidikan kebencanaan dapat meningkatkan penerimaan, penilaian, pengorganisasian dan karakteristik kepribadian dalam menata kehidupan dalam keselarasan dengan alam. Sehingga, adanya penataan terhadap kependudukan di  lingkungan hidupnya agar terhindar dari bencana.
Dalam aspek psikomotor, fungsi Pendidikan kebencanaan cukup berperan dalam peniruan, manipulasi, ketetapan, artikulasi, dan pengalamiahan tentang bencana yang ada di sekitar kita, dalam upaya ningkatkan hasanah kebudayaan misalnya/ keraifan lokal yang bisa digunakan sebagai usaha pencegahan dan penanggulangan bencana.
           Pendidikan kebencanaan juga diharapkan dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk membangun keterampilan yang dapat meningkatkan “kemampuan memecahkan masalah bencana”. Pertama. Berkomunikasi: mendengarkan, berbicara di depan umum, menulis secara persuasive, desaingrafis tentang kebencanaan; Kedua. Investigasi (investigation): merancang survey, studi pustaka, melakukan wawancara, menganalisa data kebencanaan; Ketiga. Ketrampilan bekerja dalam kelompok (group process): kepemimpinan, pengambilan keputusan dan kerjasama dalam mencegah atau menanggulangi bencana.
Posisi pendidikan kebencanaan tidak hanya membekali peserta didik untuk mengetahui dan memahami penyebab bencana atau kerusakan lingkungan saja, tetapi juga dituntut punya sikap dan keterampilan untuk penyelamatan diri dalam rangka meminimkan korban jiwa. Pendidikan kebencanaan akan berjalan sesuai dengan harapan apabila seluruh komponen pengetahuan, sikap, dan keterampilan dapat dilaksanakan dengan baik. Oleh karena itu, keberhasilan Pendidikan kebencanaan hanya bisa dilakukan melalui pembiasaan.
Pendidikan bencana bukan hanya tanggung jawab pemerintah melalui BNPB saja, tetapi juga merupakan tanggung jawab orang tua, masyarakat, pemuka agama, lembaga swadaya masyarakat, generasi muda, politisi, bahkan sekolah melaui pendidikan tentang kebencanaan yang bisa disampaikan secara implisit di materi bidang studi, terutama bidang studi geografi yang mengajarkan kompetensi dasar tentang mitigasi bencana. Melalui pendidikan kebencanaan diharapkan para pelajar kita akan lebih tahu, peduli, dan mampu mencegah dan menyelamatkan diri dari bencana yang akan maupun telah terjadi di sekitar mereka. Wallahua’lam.

Wild Indonesia Papua's Lost Worlds National Geographic




Senin, 10 Februari 2020

Belajar Soft Skill

Ada baiknya kita mengembangkan soft skill dalam pendidikan. Mari kita simak video berikut!




Rabu, 05 Februari 2020

PPDB

Oleh: Mishad
Dulu, waktu penerimaan peserta didik baru (PPDB) di sekolah/madrasah adalah ketika liburan menjelang tahun ajaran baru. Saat itu berkas yang dibutuhkan untuk mendaftar sekolah adalah NEM (nilai Ebtanas murni). Ebtanas kepanjangan dari evaluasi belajar tahap akhir nasional, sekarang namanya NUN (nilai ujian nasional). Nilai /NUN menjadi senjata pamungkas diterimanya siswa masuk SLTP ataupun SLTA. Mereka yang punya NEM/NUN tinggi dipastikan akan diterima di sekolah-sekolah favorit.
Sekarang, mayoritas sekolah membuka pendaftaran siswa baru jauh sebelum waktu liburan. Sekolah-sekolah tersebut seolah berebut, bahkan menjemput siswa-siswa yang berkualitas. Berkas yang dibutuhkan untuk mendaftar juga berbeda dengan tempo dulu. Sekolah sekarang meminta berkas nilai raport dan sejumlah sertifikat prestasi yang dimiliki oleh calon siswa mereka sebagai syarat administrasi. Selanjutnya, sekolah masih mengadakan seleksi lagi dengan mengadakan tes kemampuan bidang studi, tes potensi akademik, serta tes lain yang relevan dengan kekhasan sekolah masing-masing. 
Sekarang, jalur untuk PPDB juga beragam, Seusai ketetapan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Permendikbud Nomor 44 Tahun 2019 yang wajib dipahami oleh orangtua/wali dan para siswa. Permendikbud itu isinya tentang Penerimaan Peserta Didik Baru ( PPDB) tahun 2020 pada TK, SD, SMP, SMA, dan SMK. Adapun peraturan PPDB 2020 ini telah ditandatangani langsung oleh Mendikbud Nadiem Makarim pada 10 Desember 2019.
Dilansir dari laman resmi Kemendikbud, ada satu perubahan yang dilakukan Mendikbud, yakni terkait kuota jalur prestasi PPDB yang mengalami penambahan. Kuota jalur prestasi ditambah menjadi 30 persen (sebelumnya 15 persen). Menurut Nadiem, untuk kuota zonasi terbagi menjadi empat jalur, yaitu: minimum jalur zonasi 50 persen,  jalur afirmasi (tidak mampu) 15 persen.  jalur perpindahan 5 persen, dan  jalur prestasi 30 persen.
Ini yang Digunakan Dalam Pasal 11, ada ayat yang secara khusus berisi penjelasan tentang pendaftaran PPDB dilaksanakan melalui jalur prestasi. Karena besaran kuota yakni 30 persen, jadi manfaatkan kuota ini bagi calon siswa yang punya segudang prestasi. Syarat jalur prestasi dirangkum dari salinan Permendikbud Nomor 44 Tahun 2019, pasal ini menjelaskan dalam hal masih terdapatnya sisa kuota jalur zonasi, afirmasi, dan jalur perpindahan tugas orangtua/wali, maka pemerintah daerah dapat membuka jalur prestasi.   Hanya saja, jalur prestasi tidak berlaku untuk jalur pendaftaran calon peserta didik baru pada TK dan kelas 1 SD. (https://edukasi.kompas.com/read/2019/12/17).

Intinya, permendikbud yang baru sudah merespon keluhan orang tua yang menyayangkan tingginya kuota zonasi yang mencapai 80 %, kini sudah turun jadi 50%. Jalur zonasi tetap dipertahankan lantaran masih diperlukan untuk pemerataan kualitas pendidikan, terutama kualitas input siswa dan guru. Semoga PPDB tahun ini berjalan dengan lancar dan putra putri kita mendapatkan sekolah yang terbaik …. Aamiin.