Pengikut

Rabu, 20 Juni 2012

Atas Nama Toleransi Oleh: Mishad Khoiri


Beberapa waktu lalu saya hadir di acara simposium nasional bertema “Deradikalisasi agama” yang diadakan oleh Lembaga Dakwah Nahdatul Ulama (LDNU). Acara tersebut diselenggarakan di aula gedung rektorat UIN Malang. Hadir sebagai keynote speaker adalah Prof. Dr. KH. Said Agil Siradj, MA. (Ketua PBNU) dan Prof. Dr. Ir. Purnomo Yusgiantoro (Menteri Pertahanan RI). Acara yang dibuka oleh Wagub Jawa Timur, Drs. Saifullah Yusuf ini dihadiri mayoritas da’i Nahdiyin dari seluruh penjuru nusantara.
Simposium itu juga dihadiri oleh narasumber yang sangat relevan, yaitu komandan Densus 88 POLRI, Kombes Drs. H. Herwan Chaidir, Ketua Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Drs. Ansyad Mba’i, MM. dan lain-lain. Mayoritas peserta forum simposium sepakat, bahwa munculnya terorisme di Indonesia lebih dipicu oleh problem kesejahteraan (finansial), pemahaman yang dangkal tentang agama,  serta rasa ketidak adilan akibat kebijakan standar ganda yang sering dipraktikan oleh negeri adidaya, Amerika Serikat.
Panelis yang menyampaikan materi tentang deradikalisasi agama itu selalu mengarahkan, bahwa islam itu harus toleran. Para panelis seolah mengarahkan pemikiran peserta simposium, bahwa teroris yang tidak toleran itu adalah teman kita sendiri. Menurut mereka aksi teror di Indonesia dilakukan oleh oknum muslim garis keras. Bahkan menurut Basri Zain, MA. Ph.D, salah seorang pemateri, disinyalir bahwa islam radikal tersebut lahir dari ajaran wahabi. Mungkin benar apa yang disampaikan oleh mereka, bahwa terorisme yang lahir dari oknum muslim adalah produk dari islam radikal. Tetapi mereka lupa jika pemicu utamanya adalah “ketidak adilan global” terutama standar ganda yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan sekutunya. Negara super power itu seringkali  menganak emaskan sekutunya di teluk, siapa lagi kalau bukan zionis Israel.
Saya yang waktu itu menjadi peserta simposium mendapat kesempatan bertanya kepada panelis. Saya katakan, bahwa terorisme oleh oknum muslim lahir lantaran “akibat” bukan “penyebab”. Sedangkan “penyebab” terorisme adalah “ketidak adilan global”. Saya katakan juga bahwa terorisme sejati adalah aksi biadab Israel yang dengan seenaknya membombardir warga Palestina. Kemudian yang saya tanyakan, Apa peran pemerintah Indonesia menyikapi ketidakadilan ini? Ansyad Mba’i, Herwan Chaidir dan Prof. Dr. Budi Susilo (Dirjen Politik Pertahanan Kemenhan RI) menjawabya dengan bias. Mereka seolah “tidak berani” menyebut nama Amerika Serikat dan Israel sebagai dalang “penyebab” terorisme. Pembicaraan selalu diarahkan agar muslim itu toleran terhadap pemeluk agama lain dan menghindari aksi kekerasan. Apakah atas dasar toleransi juga kita tidak bisa berbuat apa-apa terhadap Israel ketika mereka dengan brutalnya membantai muslim Palestina?
Makna toleransi diterjemahkan beragam oleh umat muslim di dunia,  termasuk toleransi terhadap bangsa yahudi, Israel. Sebagian besar muslim Indonesia menginginkan tidak perlu berhubungan apapun termasuk diplomatik dengan mereka. Tetapi ada juga tokoh masyarakat muslim Indonesia yang berkunjung ke sana dan disinyalir menjalin komunikasi aktif (mudah-mudahan bertujuan baik). Tapi pemerintah  kita masih cukup bijak, hingga kini demi menghargai keinginan mayoritas muslim, masih tetap konsisten tidak berhubungan diplomatik dengan negara Israel.
Sikap muslim terhadap muslim dan sikap muslim terhadap non muslim sesungguhnya sangat tegas diatur dalam Al Qur’an surat al- Fath ayat 29, yaitu “Nabi Muhammad Saw, ialah Rasul Alloh; dan orang-orang yang bersama dengannya bersikap keras dan tegas terhadap orang-orang kafir yang (memusuhi Islam), dan sebaliknya bersikap kasih sayang serta belas kasihan sesama sendiri (umat islam)…”. Bukan kah bangsa Yahudi Israel itu benar-benar telah memusuhi umat muslim, terutama Palestina? Berarti menghadapi Israel, dan pihak-pihak  yang jelas-jelas memusuhi islam, kita harus bersikap keras dan tegas. Bagi muslim toleransi dengan non muslim hanya diperuntukkan bagi orang non muslim yang “dzimmi” (tidak memusuhi islam) bukan non muslim yang “harbi” (memusuhi).
Jika toleransi dalam hal ibadah, maka batasannya adalah sesuai dengan firman Alloh Ta’ala dalam surat Al Kaafirun ayat 6, yaitu “untukmu agamamu dan untukkulah agamaku”. Artinya agama dan ajaran islam adalah untuk umat muslim sedangkan agama dan ajaran Yahudi, nasrani, serta agama/ajaran lainnnya adalah untuk pemeluknya. Hal tersebut juga berlaku dalam hal ritual ibadah kita dan ibadah mereka. Islam tidak mengenal “sinkritisme” dan “passing over” atau mencampuradukkan ajaran agama, termasuk dalam hal ibadah.
Fenomena do’a bersama antar umat beragama, nikah beda agama, dan aksi-aksi bersama antar umat beragama yang tidak jelas batasannya adalah fakta baru yang muncul di Indonesia atas nama kerukunan dan toleransi. Apabila toleransi diterjemahkan dengan gerakan-gerakan tersebut, maka yang terjadi adalah proses pendangkalan aqidah dan kesyirikan yang terselubung. Munculnya Jaringan Islam Liberal (JIL) yang seringkali memunculkan gagasan-gagasan kontroversial merupakan manifestasi dari gerakan toleransi yang salah kaprah, terutama terlalu “sembrono” dalam menafsirkan isi Al Qur’an dan Hadits.
Menghadapi fenomena tersebut, umat islam tidak cukup menghadapinya dengan marah dan melakukan kekerasan fisik. Marah dan kekerasan fisik harus dihindari dan lebih mengutamakan tindakan pencegahan dan diplomasi.. Bagaimanapun juga, jika kekerasan yang kita dahulukan, maka yang akan lahir adalah kekerasan juga. Maka akan besar kerugian dan resikonya. Tapi kita tidak boleh lari jika kekerasan dan ketegasan itu memang terpaksa harus dilakukan. Tapi tetap itu adalah “senjata pamungkas” ketika langkah pencegahan dan diplomasi sudah mengalami jalan “buntu”.
Sebagai realisasi dari tindakan meluruskan kekeliruan yang selama ini dipahami oleh sebagian umat islam tentang toleransi, maka perlu dilakukan usaha-usaha untuk memberikan pemahaman yang benar kepada umat. Langkah-langkah tersebut bisa dilakukan dengan cara mensosialisasikan tentang makna toleransi yang benar melalui forum-forum pengajian dari lingkup kecil sampai yang besar. Tren pengajian umum atau pengajian rutin yang akhir-akhir ini begitu semarak bisa dijadikan media yang efektif melakukan gerakan ini. Petuah kyai sebagai tokoh panutan sangat efektif untuk dapat diikuti dan dilaksanakan oleh jama’ahnya.
Pemahaman yang benar tentang toleransi hendaknya juga dilakukan oleh Majelis Ulama’ Indonesia (MUI). Fatwa MUI sebagai wadah formal para ulama’ sangat penting disampaikan kepada masyarakat muslim. Hanya saja perlu didorong agar eksistensi MUI benar-benar diakui oleh masyarakat. Jika MUI eksis dan memiliki “taring”, maka fatwa-fatwanya, termasuk fatwa pemahaman tentang toleransi yang benar akan sangat efektif. Jika semua berperan mendukung MUI, maka tidak  menutup kemungkinan fatwa MUI akan efektif sebagaimana fatwa mufti di Arab Saudi misalnya.
Sebagai masyarakat, orang tua, dan pendidik muslim, kita harus memperhatikan pendidikan anak-anak kita. Jika bekal agama yang dimiliki oleh anak anak didik kita cukup dan benar, maka pemahaman mereka juga akan benar, termasuk ketika mereka memaknai dan bertindak atas nama toleransi. Pemahaman mereka akan tetap lurus (wasathon: ditengah-tengah/Islam ahlussunah wal jama’ah) tidak akan membelok ke barat/ke kanan (islam garis keras) atau ke timur/ke kiri (islam liberal), La Syarqiyyah Wala Ghorbiyyah. Wallohu a’lam