Pengikut

Rabu, 27 Maret 2019

Mendidik Anak Untuk “Birrul Walidain”



Oleh:
Mishad Khoiri

Pagi itu kondisi pak Ahmad  kritis. Bu Ahmad segera menghubungi anak-anaknya. Pertama, beliau menghubungi anak pertamanya, yaitu Fulan yang berdomisili di luar kota. Ketika ditelpon, dia bilang “sebentar ma, masih sibuk, nanti kalau sudah longgar saya ke sana”. Kemudian bu Ahmad menelpon Fulanah, anak keduanya. Alhamdulillah, tidak lama kemudian Fulanah dan Soleh, suaminya datang ke rumah orang tuanya.
Senin sore itu kondisi pak Ahmad semakin kritis, nampaknya sudah masuk naza’. Bu Ahmad, Fulanah, Soleh, dan kerabat dekat lain mendampingi sambil menuntun beliau untuk mengucapkankan kalimat “Laa Ilaaha Illallah”.  Selang sesaat terdengar suara lirih dari Soleh, “Innalillahi wa inna ilaihi rojiun”. Pak Ahmad telah menghembuskan nafas terakhirnya. Seluruh kerabat yang ada di tempat itu serentak mengikuti ucapan Soleh, disusul isak tangis di antara mereka. Sore itu, kabut duka menyelimuti kediaman almarhum pak Ahmad.
Setelah kondisi sudah tenang, ketua RT menanyakan pada Fulanah tentang pemakaman almarhum. Fulanah mencoba menghubungi Fulan, kakaknya lewat fitur panggilan wa guna mengabarkan kematian ayah mereka. Panggilan diterima, dan kabar itu diterima Fulan, tapi karena alasan sibuk Fulan baru bisa pulang Jumat malam. Setelah musyawarah antara keluarga dan warga, maka senin malam itu juga mereka sepakat memproses pemakaman jenazah almarhum, tanpa menunggu kedatangan Fulan. Setelah dimandikan, dikafani, dan  disholati, sekitar pukul 20.00 malam, jenazah almarhum pak Ahmad telah rampung dikebumikan.
Pelajaran berharga yang dapat kita petik dari cerita tersebut  adalah tentang pentingnya membekali anak dengan pendidikan agama yang cukup. Fulan yang kurang bekal keagamaannya, karena dulu dia sekolah umum saja, menjadikannya kurang paham tentang  birrul walidain”(berbuat baik pada orang tua).  Dia lupa, bahwa kesuksesan karirnya berkat  jasa dan ridhonya orang tua. Jika Fulan paham tentang pelajaran tersebut, maka dia segera izin dari kerja dan bergegas pulang ikut merawat jenazah bapaknya untuk penghormatan terakhir kalinya di dunia.
Birrul walidain adalah berbuat baik kepada kedua orang tua serta mentaati perintahnya (kecuali ma’siat) dan mendoa’kannya apabila keduanya telah wafat. Sebagaimana firman Allah: “Sembahlah Allah dan jangan kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua Ibu Bapak”.(An Nisa’:36).
Saking pentinya birrul walidain, amalan ini disarankan dilakukan, baik ketika orang tua kita masih hidup atau sudah mati. Beberapa amalan yang dianjurkan oleh Islam kalau orang tua kita masih hidup adalah: Pertama. Mentaati mereka selama tidak mendurhakai Allah. Mentaati kedua orang tua hukumnya wajib. Haram hukumnya mendurhakai keduanya, kecuali apabila mereka menyuruh untuk menyekutukan Allah atau mendurhakai-Nya. “Tidak ada ketaatan untuk mendurhakai Allah. Sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam melakukan kebaikan.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Kedua.  Berbakti dan merendahkan diri di hadapan orang tua. Firman Allah: “Dan Rabb-mu telah memerintahkan supaya kami jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah: ‘Wahai, Rabb-ku, kasihilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (QS. Al-Israa’: 23-24)
Ketiga.  Meminta izin kepada mereka sebelum berjihad dan untuk urusan lainnya. Seorang laki-laki datang menghadap Rasulullah dan bertanya: “Ya, Rasulullah, apakah aku boleh ikut berjihad?” Beliau balik bertanya: “Apakah kamu masih mempunyai kedua orang tua?” Laki-laki itu menjawab: “Masih.” Beliau bersabda: “Berjihadlah (dengan cara berbakti) kepada keduanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Keempat. memberikan harta kepada orang tua. Rasulullah pernah bersabda kepada seorang laki-laki ketika ia berkata: “Ayahku ingin mengambil hartaku.” Nabi bersabda: “Kamu dan hartamu milik ayahmu.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah).
            Kelima. Tidak mencela orang tua/tidak menyebabkan mereka dicela orang lain. Rasulullah bersabda: “Termasuk dosa besar adalah seseorang mencela orang tuanya.” Para Sahabat bertanya: “Ya, Rasulullah, apa ada orang yang mencela orang tuanya?” Beliau menjawab: “Ada. Ia mencela ayah orang lain kemudian orang itu membalas mencela orang tuanya. Ia mencela ibu orang lain lalu orang itu membalas mencela ibunya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Setelah mereka meninggal dunia, maka kewajiban kita pada orang tua adalah: Pertama. Menshalati  dan mendoakan mereka. Setelah menshalati jenazahnya, kita juga dianjurkan mendo’akan keduanya. Seorang anak hendaknya lebih sering mendo’akan kedua orang tuanya setelah mereka meninggal daripada ketika masih hidup. Apabila anak itu mendo’akan keduanya, niscaya kebaikan mereka berdua akan semakin bertambah, sabda Rasulullah: “Apabila manusia sudah meninggal, maka terputuslah amalannya kecuali tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendo’akan dirinya.” (HR.Muslim).  
Kedua. Menunaikan janji orang tua. Hendaknya seseorang menunaikan wasiat kedua orang tua dan melanjutkan secara berkesinambungan amalan-amalan kebaikan yang dahulu pernah dilakukan keduanya. Sebab, pahala akan terus mengalir kepada mereka berdua apabila amalan kebaikan yang dulu pernah dilakukan dilanjutkan oleh anak mereka.
Ketiga.  Memuliakan teman orang tua.” Ibnu Umar berkata: “Sungguh dulu ayahnya teman Umar bin al-Khaththab dan aku pernah mendengar Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya bakti anak yang terbaik ialah seorang anak yang menyambung tali persahabatan dengan keluarga teman ayahnya setelah ayahnya tersebut meninggal.” (HR.Muslim)
Keempat. Menyambung tali silaturahim dengan kerabat orang tua. Hal ini berdasarkan hadits yang telah disebutkan dan sabda beliau: “Barang siapa ingin menyambung silaturahim ayahnya yang ada di kuburannya, maka sambunglah tali silaturahim dengan saudara-saudara ayahnya setelah ia meninggal.” (HR. Ibnu Hibban).
Mengajarkan birrul walidain kepada anak kita lebih efektif dilakukan dengan memberikan keteladanan sikap kita terhadap orang tua kita/ kakek nenek mereka. Itu bisa kita lakukan dengan cara kita ajak mereka untuk silaturrahim ke rumah kakek nenek mereka/ ayah ibu kita. Kita ajarkan sikap yang baik dengan cara memberikan oleh-oleh, sopan santun dan menghormati ayah ibu kita/ kakek nenek mereka. Kita ajak mereka ziarah kubur jika ayah ibu kita/ kakek nenek mereka sudah meninggal. Semoga Allah senantiasa menjadikan kita dan anak-anak kita menjadi hamba Allah yang senantiasa mengamalkan “birrul walidain”. Aamiin. Wallahu a’lam.

Rabu, 20 Maret 2019

Strategi Sukses Ujian Nasional Yang Bermartabat

Oleh:
Mishad, M. Pd
(Guru dan Tim Peningkatan dan Penjaminan Mutu MAN 2 Kota Malang)

Mulai tanggal 25 Maret sampai 30 April tahun 2019 ini  secara berkelanjutan, akan diadakan Ujian Nasional (UN) untuk siswa SMK/SMA/MA dan dilanjutkan  SMP/MTs di seluruh Indonesia. Meskipun bukan sebagai penentu kelulusan , UN masih punya andil dalam pemetaan kualitas sekolah/madrasah di Indonesia. Alhasil, sekolah/ madrasah masih tetap bersemangat untuk menyiapkan peserta didiknya agar sukses menghadapi sekaligus menjalani UN tahun ini. Hingga kini, pemerintah melalui kemendikbud menjadikan nilai UN sebagai salah satu alat ukur kualitas sekolah. Hal tersebut yang memicu masing-masing sekolah/madrasah adu strategi agar peserta didiknya mendapat nilai terbaik, demi menjaga martabat/kualitas sekolah/ madrasahnya.
Ada beberapa strategi program yang dapat dilakukan oleh sekolah atau madrasah untuk sukses menghadapi UN yang bermartabat, di antaranya adalah: Pertama. Mengadakan jam tambahan bimbingan belajar (Bimbel) untuk bidang studi UN, khususnya untuk siswa kelas XII. Program tambahan jam belajar untuk bidang studi UN ini sangat rasional karena soal UN materinya mulai dari kelas X sampai kelas XII. Program bimbel di sekolah/madrasah sangat dibutuhkan sebagai bekal tambahan materi dan penyelesaian soal dalam menghadapi UN.
Kedua. Try Out. Segala sesuatu, terutama ujian butuh latihan untuk menghadapinya. Try out diperlukan untuk melatih siswa untuk “warming up” atau pemanasan menjelang UN. Idealnya, sekolah/madrasah minimal tiga kali melakukan try out.  Selanjutnya dilakukan pembahasan masing-masing soalyang di try out-kan. Pembahasan soal diperlukan supaya siswa paham mana jawaban mereka yang benar dan jawaban mereka yang salah serta solusinya untuk menjawab soal try out selanjutnya, termasuk pada UN yang sebenarnya.
Ketiga . Simulasi UNBK (Ujian Nasional Berbasis Komputer). Siswa di sekolah/ madrasah yang masih berbasis kertas dalam mengadakan ulangan harian/ penilaian semester akan kesulitan mengerjakan UNBK.  Simulasi UNBK diperlukan bagi siswa untuk melatih/ membiasakan mengerjakan soal menggunakan/berbasis komputer. Penggunaan komputer perlu dilatih supaya siswa tidak mengalami kesalahan teknis dalam menjalani UNBK yang sebenarnya nanti.  Termasuk ketika try out juga, siswa juga harus dibiasakan berbasis komputer.
Keempat. Pengadaan buku kumpulan materi dan  soal UN. UN adalah sebuah ujian yang memiliki standar kompetensi lulusan (SKL) yang sudah diinformasikan sebelumnya. Hanya pola dan model soalnya yang senantiasa berkembang. Untuk mempersiapkan penguasaan materi dan penyelesaian soal, siswa memerlukan buku kumpulan materi dan soal UN, terutama kumpulan soal UN. Susunan kumpulan materi atau soal UN perlu  dibuat per-SKL dengan model/variasi soal sebanyak mungkin. Materi dan soal ini kemudian dibahas pada saat bimbel oleh guru.
Kelima. Program intensif UN. Program intensif UN hampir mirip dengan bimbel, bedanya bimbel UN biasanya diprogramkan sebelum atau setelah jam pelajaran di sekolah sedangkan program intensif adalah program murni latihan dan pembahasan soal UN dengan mengacu pada kumpulan soal UN dan pembahasan soal try out UN. Karena materi pelajaran non UN sudah tuntas, maka di program intensif  UN murni hanya mempelajari  materi bidang studi yang di-UN-kan saja. Di selah-selah program intensif  UN, perlu juga diselipkan try out untuk  mengetahui perkembangan penguasaan materi siswa. Hasil try out tersebut diperlukan sebagai masukan untuk program pondok UN sebagai masukkan untuk mengklasifikasikan ke kelas pengayaan atau kelas remedial.
Keenam. Program Super intensif. Program super intensif  UN adalah program pengayaan bagi siswa yang sudah bagus penguasaan materinya dan program remedial bagi siswa yang masih rendah penguasaan materinya. Masing-masing program dibedakan menjadi dua kelas, yaitu kelas pengayaan dan kelas remedial. Di kelas pengayaan, siswa yang penguasaan materinya baik dilejitkan semaksimal mungkin nilainya. Sementara di kelas remedial siswa  diterapi dan diusahakan nilainya meningkat atau di atas KKM.
Ketujuh. Program pembinaan mental dan ibadah. Program pembinaan mental biasanya dilakukan dengan mendatangkan motivator (ESQ) dan terapi (hypno-therapy) untuk mempersiapkan mental/psikologis siswa. Sedangkan program ibadah dapat dilakukan dengan penyelenggaraan sholat dhuha terbimbing, anjuran melanggengkan sholat tahajjud, puasa senin kamis, banyak bersedekah (terutama pada yatim piatu), do’a bersama/istighotsah, dan lain-lain. Bagaimanapun, program pembinaan mental ini sangat perlu untuk mengimbangi penguasaan materi (Intelectual Quotient) dengan kematangan mental (Spiritual Quotien) siswa.
Kedelapan. program fisik dan relaksasi. Program fisik adalah program menjaga kesehatan tubuh siswa. Caranya adalah dengan anjuran berolah raga teratur di selah-selah aktivitas lain dan mengkonsumsi makanan sehat, seperti susu dan madu. Sedangkan kegiatan relaksasi bisa dilakukan melalui penyelenggaraan out bond. Dalam kegiatan out bond mereka diharapkan bisa melepas kepenatan/kejenuhan pikiran selama menjalani kegiatan belajar mengajar di sekolah. Out bond juga diharapkan mampu menciptakan suasana kekeluargaan antara mereka, guru, dan orang tua. Target out bond yang lebih penting lagi adalah memicu semangat mereka untuk “siap tanding” menghadapi UN.
Kesembilan. Program memohon restu guru dan orang tua. Program ini dapat dilaksanakan dengan cara mengumpulkan siswa, guru, dan orang tua pada acara pengajian, do’a bersama, dan santunan anak yatim di sekolah. Acaranya bisa didesain dengan diawali dengan do’a bersama (istighotsah), pengajian, dan dilanjutkan dengan santunan. Acara ditutup dengan saling bersalam-salaman antara siswa, guru, dan orang tua dengan tujuan mohon do’a serta restu dan saling memaafkan. Sabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Keridloan Allah tergantung kepada keridloan orang tua dan kemurkaan Allah tergantung kepada kemurkaan orang tua.” (HR. Riwayat Tirmidzi).  Kalau orang tua merestui atau ridho, maka hasil UN insha Allah akan baik, tentunya baik menurut Allah SWT/ Tuhan yang maha kuasa.
Setelah Sembilan langkah itu dilakukan secara optimal dan jujur, kita anjurkan para siswa tersebut “ber-tawakkal”, berserah diri pada Allah SWT/ Tuhan yang maha kuasa. Dengan melakukan strategi tersebut, maka insha Allah akan terbentuk generasi kita yang ber-IPTEK dan ber-IMTAQ yang berkualitas baik.  Negeri ini butuh kader-kader pemimpin yang jujur dan adil dan mereka adalah para siswa siswi sekolah/madrasah kita. Mari kita sukseskan UN 2019 ini dengan strategi yang bermartabat. Wallohua’lam.

Fuji Colour Penilaian Pendidikan

Oleh:
Mishad

            Wajah Fulan  tampak berseri-seri bahagia lantaran dia diumumkan sebagai lulusan terbaik di sekolahnya. Selain nilai ujian nasionalnya tertinggi, nilai rata-rata raportnya juga pamuncak di sekolahnya.  Abdullah, bapak Fulan begitu bangga ketika nama anaknya diumumkan sebagai lulusan terbaik di sekolahnya.  
            Pak Abdullah kemudian dipersilahkan oleh pembawa acara ke depan untuk menerima penghargaan bagi anaknya yang diberikan oleh Kepala sekolah.  Beliau menerima piagam dan bingkisan  bersama dengan orang tua siswa lainnya, yaitu siswa terbaik ke dua dan ketiga. Saat balik dari panggung dia menghampiri Fulan anaknya seraya berkata. “Nak …. Kamu hebat … terima kasih nak … kamu hari ini membuat bapak bangga”.  Kata-kata bapaknya itu masih  terus diingat oleh Fulan hingga saat ini, walau kini Fulan  sudah bekerja dan sudah lulus S-2. Tidak hanya kata-kata bapaknya  itu yang masih terngiang di telinga Fulan. Tapi Fulan juga masih ingat berapa kisaran rata-rata nilai raport-nya saat itu. Rata-rata nilai raportnya menjadi yang tertinggi saat itu adalah 8,5.
Waktu sekolah penilaian di raport Fulan masih ada nilai 5 dan tertinggi adalah nilai 10. Waktu itu juga masih dikenal pe-rangkingan per kelas maupun paralel.  Interval nilai terendah sampai tertinggi masih punya jarak yang agak jauh sehingga kurva hasil penilaiannya pun sangat bisa menggambarkan keotentikan hasil penilaian. Kelebihan interval nilai yang panjang adalah variasi nilai masih bisa sangat  beragam.
            Tentunya ditemukan juga kelemahan-kelemahan sistem penilaian yang dialami Fulan pada saat itu. Tapi ada satu kata yang cukup mengena untuk penilaian saat itu, yaitu lebih asli/ otentik dari sistem penilaian siswa sekarang. Di zamannya Fulan sekolah, siswa dapat nilai 8 itu sudah tinggi. Nilai 8 pada era itu dicapai oleh siswa dengan susah payah dan belajar  keras. Coba bandingkan dengan  nilai siswa sekarang. Ada bahkan banyak satuan pendidikan/sekolah yang menetapkan nilai 8 atau sekarang ditambah satu digit menjadi 80 adalah nilai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM)/ terendah.
            Jika nilai KKM terendah adalah 80, maka rentang dengan patokan nilai tertinggi, yaitu 100 hanya 20 digit. Variasi nilai akhir siswa hanya ada 21 variasi mulai urutan 80 sampai 100. Sedangkan faktanya rentang penilaian siswa adalah 0 – 100. Artinya, kurva hasil penilaian antara yang terendah dan tertinggi sangat pendek. Sangat dimungkinkan, ketika guru mengadakan ulangan, maka kemungkinan akan mendapatkan hasil nilai siswanya di bawah 80 yang terlalu banyak.  Apabila dilakukan remedial, maka  akan memunculkan nilai 80 (tepat KKM) yang lumayan banyak jumlahnya.
Misalnya,  diadakan ulangan Fisika pada 30 siswa. Hasil nilai ulangannya yang tuntas (≥ 80) ada 10 siswa, yang belum tuntas ada 20 siswa. Maka kemungkinan nilai Fisika siswa di kelas tersebut maksimal hanya ada 11 variasi, yaitu 10 variasi dari  siswa yang tuntas, yaitu di atas 80 dan 1 variasi dari 20 siswa yang harus mengikuti remedial, yaitu nilainya 80.
Bisa dibayangkan ketika satuan pendidikan karena persaingan dengan satuan pendidikan lain mematok nilai KKM lebih tinggi lagi, seperti 85 atau 90, maka variasi nilai yang didapatkan akan lebih sedikit lagi. Termasuk siswa yang akan mengikuti remedial bisa tambah lebih banyak lagi.
Karena ada ketentuan KKM yang tinggi oleh satuan pendidikan, para guru menyikapinya beragam. Ada guru yang menurunkan tingkat kesulitan soalnya. Ada guru yang agak vulgar menunjukkan kisi-kisi, bahkan indikator soal ulangannya pada siswa. Ada guru yang memberikan take home test, open book test. Ada guru yang meninggikan nilai tugas, sehingga bisa menambah nilai ulangan harian dan semester, dan lain-lain. Semua dengan tujuan sama, supaya siswa banyak yang lolos/tuntas dalam ulangannya dan menghindari banyaknya siswa yang mengikuti remidi.
Pernah terjadi kasus, hasil ulangan siswa A adalah 60, maka dia harus mengikuti remedial teaching dan remedial test. Apa yang terjadi? Setelah siswa mengikuti dua periode remidi yang diakhiri dengan remedial test, maka hasil nilai remidi siswa ada yang masih sama, bahkan ada yang lebih jelek. Maka diulanginya lagi proses remedial tersebut dengan proses remedial yang standart, tetapi hasilnya masih sama, yaitu belum tuntas. Maka jurus terakhir guru adalah memberikan soal remedial yang kurang standar/ lebih mudah atau ada guru yang hanya memberikan tugas saja untuk menuntaskan nilai siswanya.
Kasus tersebut adalah imbas dari penentuan KKM yang tinggi oleh satuan pendidikan. Lebih-lebih lagi sekolah pinggiran (baca: belum maju) yang intake, kompleksitas, dan sarana pendukungnya masih minim juga tidak mau kalah dalam meninggikan nilai KKM. Akibatnya nilai siswanya juga banyak yang melebihi dari nilai kemampuannya. Artinya, mestinya jika dihitung sungguh-sungguh nilai KKM mapel X adalah 65 tapi karena persaingan/tuntutan, maka diputuskan KKM-nya 75. Jika KKM 75, maka nilai siswa pada pelajaran X harus sama dengan/ di atas 75, padahal hitungan seharusnya  KKM-nya 65. Maka jangan heran jika melihat nilai siswa sekarang itu seperti melihat hasil foto di iklan film fuji colour, yaitu lebih indah dari aslinya. Ilustrasinya, jika nilai seorang siswa sekarang adalah 95,  maka seperti kalau zaman sekolahnya Fulan dulu seperti nilai 85.
            Meskipun penentuan batas KKM siswa menurut teorinya sangat ilmiah, tapi dalam prakteknya terjadi persaingan yang tidak sehat antar sekolah dalam penentuan batas KKM. Tingginya batas KKM seolah menjadi simbol keunggulan sekolah. Ada stereotipe sekolah unggul = nilai KKM tinggi. Sehingga ada kecenderungan kompetisi dalam penentuan nilai KKM. Bahkan KKM yang konsep awalnya menurut permendiknas ditentukan oleh guru masing-masing mata pelajaran, kini bergeser ditentukan oleh satuan pendidikan.
Pergeseran penentuan KKM ke satuan pendidikan konsep awalnya adalah satuan pendidikan bersama guru mapel. Di lapangan beberapa satuan pendidikan sudah lebih dulu menentukan batas KKM. Selanjutnya, guru mapel  diharapkan untuk menerima ketentuan/menyesuaikan. Kondisi seperti ini terjadi karena beberapa sebab. Secara eksternal dikarenakan mengikuti penentuan KKM di beberapa  satuan pendidikan lain yang juga ditentukan oleh sekolah. Sedangkann secara internal menghindari dimungkinkannya adanya KKM yang nilainya terlalu bervariasi, apalagi terlalu rendah dari target petinggi satuan pendidikan.
Kondisi persaingan antar satuan pendidikan dalam penentuan nilai KKM harus dikontrol  oleh pemerintah atau dinas pendidikan. Pemerintah harus mengajak dialog para petinggi sekolah negeri maupun swasta untuk mensosialisasikan penentuan KKM yang benar, yaitu mengacu pada kualitas intake siswa, kompleksitas siswa, dan sarana pendukung sekolah. Dinas pendidikan di Kemendikbud dan seksi pendidikan madrasah di Kemenag melalui pengawas harus bekerjasama untuk menertibkan nilai KKM sekolah/madrasah apabila ada penentuan nilai KKM-nya tidak wajar/ kurang sesuai dengan fakta. Kalau ini tidak dilakukan, maka persaingan tidak sehat antar satuan pendidikan dalam penentuan  nilai KKM akan membudaya.
Perlu ada kesadaran bersama, bahwa keberhasilan evaluasi pendidikan tidak hanya dari tingginya nilai. Perlu ada gerakan bersama untuk memprioritaskan kualitas dan keotentikan hasil penilaian. Indikator dari kualitas/keotentikan dari hasil penilaian adalah penguasaan materi/ kompetensi. Artinya, jika siswa yang penilaian sudah “tuntas” itu diuji atau lulus dari KKM, maka dia harus  benar-benar menguasai materi/kompetensi. Jangan sampai ada siswa yang nilainya sudah lolos dari KKM. Tapi ketika di tes, ternyata tidak mampu/ tidak kompeten. Munculah kesan penilaian seolah diobral. Lahirlah anekdot “nilainya lebih tinggi dari aslinya/kemampuannya” sepadan dengan slogan dari iklan film kamera Fuji Colour , yaitu “Warnanya lebih indah dari aslinya.  Wallohua’lam.


* Guru dan Tim Peningkatan dan Penjaminan Mutu MAN 2 Kota Malang

Pro Kontra Guru Buka Bimbel

Oleh:
Mishad
           
Pagi itu saya dikagetkan oleh berita di salah satu Koran nasional  yang berjudul “Guru Buka Bimbel Disorot KPK”. Bahkan di lead beritanya  ditegaskan KPK akan memperingatkan agar guru tidak memberikan bimbingan belajar  (Bimbel) bagi siswa yang di ajar di sekolah.  Statemen KPK ini disampaikan oleh Ketua KPK Agus Raharjo, pada saat pertemuan dengan Mendikbud Muhajir Efendi di gedung  KPK pada hari Selasa, 8 Januari 2018 lalu.
Bimbel bukan barang baru bagi dunia pendidikan di negara kita. Sejak sekitar akhir 1970-an, Bimbel sudah ada di kota besar seperti Jakarta. Tetapi, waktu itu Bimbel sebatas ajang melatih siswa SLTA yang akan mengikuti tes masuk ke perguruan tinggi.. Pada 1990-an, keberadaan Bimbel semakin menjamur. Sasaran mereka tidak hanya menjaring lulusan SLTA yang akan mengikuti tes masuk perguruan tinggi negeri (PTN), tetapi mulai menarik pelajar kelas III SMA guna menyiapkan mereka mengikuti ujian nasional (UN). Targetnya, peserta lulus UN dengan nilai bagus dan lolos seleksi masuk PTN. Malahan Bimbel juga membuka bimbingan bagi siswa kelas X dan kelas XI dengan sasaran agar peserta mendapat nilai ulangan harian bagus dan naik kelas dengan nilai memuaskan.
            Fenomena menjamurnya Bimbel di Indonesia tentunya bukan tanpa sebab. Lembaga Bimbel muncul lebih dilatarbelakangi oleh kebutuhan konsumen mereka, yaitu para pelajar, bahkan orang tuanya. Kebutuhan tersebut adalah “layanan khusus” yang tentunya tidak ditemukan oleh mereka di sekolahnya. Layanan tersebut bisa karena profil pengajarnya, proset/ paket soal/bukunya, metode pengajarannya, hingga suasana pergaulan dan heterogenitas penghuni kelasnya. Jika belajar di sekolah itu dikatakan sebagai kebutuhan pokok pelajar, maka Bimbel adalah kebutuhan sekunder/tertier bagi mereka.
            Sebenarnya, lembaga penyedia Bimbel melayani konsumennya dengan beberapa model. Ada lembaga Bimbel yang dimodel klasikal dan ada lembaga Bimbel yang dimodel les private. Semua memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing. Tapi, mereka mempunyai visi yang sama, yaitu membantu memecahkan kesulitan belajar dan menguatkan/menambah materi belajar para peserta didik di sekolahnya. Keunggulan lembaga Bimbel yang laku dijual adalah trik khusus yang dibuat oleh mereka untuk penyelesaian soal secara cepat tepat dan tepat. Di sebagian kalangan pelajar/orang tua, lembaga Bimbel juga memiliki nilai prestise.
            Tidak bisa dipungkiri, sebagian pelaku lembaga Bimbel, terutama pengajarnya adalah guru yang juga mengajar di sekolah. Di lembaga Bimbel klasikal, para pengajar terkadang tidak sengaja ketemu/mengajar siswa yang juga diajar di sekolahnya. Sehingga, mungkin juga guru di sekolah tertentu juga menjadi tentor di Bimbel yang siswa juga kebetulan menjadi peserta didik di sekolahnya. Tapi kejadian itu bukan kerana kesengajaan dia, tapi karena mendapat kelas dari manajemen lembaga Bimbelnya. Apakah yang seperti ini dikategorikan pelanggaran oleh KPK, menurut saya yang juga pernah mengajar di Bimbel “tidak”, dengan catatan guru itu harus punya integritas dalam penilaian. 
            Sorotan KPK lebih tepat jika diarahkan pada guru yang membuka Bimbel/les private/kelompok untuk muridnya sendiri. Sebuah contoh. seperti Guru A di sekolah A, membuka layanan private/kelompok yang siswanya dari sekolah A/sebagian besar siswa di sekolah A. Ini mungkin yang perlu dibidik oleh KPK, karena ada unsur kesengajaan dan keterkaitan penilaian. Selain itu, KPK juga harus berusaha membidik lembaga Bimbel besar yang terindikasi membocorkan/memperjualbelikan soal UN atau SBMPTN tulis, jika masih ada. Fenomena kebocoran saoal UN dan SBMPTN memang mulai menghilang sejak diterapkan ujian/tes berbasis komputer. Tapi kita tetap harus terus waspada dan terus mengawasinya.
            Idealnya, seorang guru cukup mengajar di sekolahnya saja. Tapi kita harus bijaksana dalam bersikap. Rata-rata guru yang merangkap sebagai tentor di Bimbel lebih dilatarbelakangi oleh faktor ekonomi dan idealisme.  Faktor ekonomi yang dimaksud adalah karena mereka belum PNS/Guru Tetap di sekolahnya. Karena gajinya masih belum cukup, maka dia masih perlu mengais rezeki di lembaga Bimbel.
Faktor idealisme juga terjadi pada guru yang merangkap mengajar di lembaga Bimbel. Sebagai contoh adalah karena guru itu ingin tetap terpacu belajar lebih lagi. Mereka menganggap jika hanya mengajar di sekolah, maka tantangannya cenderung monoton/kurang menantang. Sedangkan di Bimbel mereka merasa tertantang untuk lebih keras belajar, karena menghadapi siswa dari multi sekolah dan multi intelektual. Saya punya teman seorang kepala sekolah yang masih tetap menjadi tentor di Bimbel dengan alasan, ingin tetap mengajar dan tidak ingin kehilangan ilmunya.
Perlu ada wacana untuk membuat regulasi/aturan yang mengawasi sistem kerja di lembaga Bimbel dengan indikator/instrumen pengawasan yang valid. Terutama agar mereka tetap konsisten sebagai lembaga yang melayani bimbingan belajar yang menekankan nilai plus kualitas pembelajaran. Jangan sampai lembaga Bimbel lebih kental “aroma bisnis”nya saja. Disinyalir ada Bimbel tertentu yang melakukan rekrutmen siswa dengan kerjasama dengan birokrasi sekolah dengan embel-embel hadiah tertentu. Bimbel akan memberikan “imbalan” tertentu jika ada oknum di sekolah tertentu bisa mengarahkan siswanya mengikuti Bimbel di lembaganya.
Pengawasan lain adalah tentang integritas penilaian para guru dan birokrasi sekolah lain yang terlibat di lembaga Bimbel. Ada seorang kepala sekolah/guru yang menjadi pengajar atau owner  lembaga Bimbel ini yang menurut saya harus diawasi integritasnya. Dinas pendidikan harus mengontrol kepala sekolah/guru yang menjadi pengajar atau owner  lembaga Bimbel. Jangan sampai ada siswa di sekolahnya yang menjadi siswa di lembaga Bimbelnya mendapatkan perhatian lebih, terutama dalam hal penilaian.
Solusi dengan cara langsung melarang kepala sekolah/guru yang menjadi pengajar atau owner  lembaga Bimbel tentunya kurang bijaksana. Tapi larangan itu menjadi sebuah keniscayaan jika terbukti terjadi pelanggaran.  Pemerintah harus tegas menindak oknum kepala sekolah/guru yang menjadi pengajar atau owner  lembaga Bimbel yang melanggar. Jika para pelanggar masih bisa dibina secara internal oleh dinas pendidikan, maka akan lebih baik. Tapi jika permasalahan itu terlalu akut dan mengarah ke tindakan korupsi, maka keterlibatan lembaga hukum, seperti KPK untuk menindaklanjutinya bukan masalah yang utopia.
Dunia pendidikan adalah dunia yang humanis, maksudnya dalam menghadapi permasalahan yang dikedepankan adalah sosialisasi dan dialog terlebih dahulu. Kalau Kemendikbud serius memasalahkan kepala sekolah/guru yang menjadi pengajar atau owner  lembaga Bimbel, maka perlu ada regulasi khusus. Buat permen yang mengatur mekanisme kerja Bimbel, termasuk jika kepala sekolah/guru terlibat di dalamnya. Langkah selanjutnya adalah sosialisasi permen sekaligus uji keterbacaan melalui dialog dengan pihak-pihak terkait. Jika permen itu sudah matang, maka segera diimplementasikan. Setelah implementasikan dalam jangkah waktu tertentu, perlu ada evaluasi tentang tingkat keefektifannya untuk perbaikan. Maka insha Allah jika langkah-langkah ini sudah dilakukan, seluruh pihak akan lebih siap mengawalnya di lapangan. Wallahua’lam.
  

* Penulis adalah Guru dan Tim Peningkatan dan Penjaminan Mutu MAN 2 Kota Malang