Pengikut

Rabu, 27 Maret 2019

Mendidik Anak Untuk “Birrul Walidain”



Oleh:
Mishad Khoiri

Pagi itu kondisi pak Ahmad  kritis. Bu Ahmad segera menghubungi anak-anaknya. Pertama, beliau menghubungi anak pertamanya, yaitu Fulan yang berdomisili di luar kota. Ketika ditelpon, dia bilang “sebentar ma, masih sibuk, nanti kalau sudah longgar saya ke sana”. Kemudian bu Ahmad menelpon Fulanah, anak keduanya. Alhamdulillah, tidak lama kemudian Fulanah dan Soleh, suaminya datang ke rumah orang tuanya.
Senin sore itu kondisi pak Ahmad semakin kritis, nampaknya sudah masuk naza’. Bu Ahmad, Fulanah, Soleh, dan kerabat dekat lain mendampingi sambil menuntun beliau untuk mengucapkankan kalimat “Laa Ilaaha Illallah”.  Selang sesaat terdengar suara lirih dari Soleh, “Innalillahi wa inna ilaihi rojiun”. Pak Ahmad telah menghembuskan nafas terakhirnya. Seluruh kerabat yang ada di tempat itu serentak mengikuti ucapan Soleh, disusul isak tangis di antara mereka. Sore itu, kabut duka menyelimuti kediaman almarhum pak Ahmad.
Setelah kondisi sudah tenang, ketua RT menanyakan pada Fulanah tentang pemakaman almarhum. Fulanah mencoba menghubungi Fulan, kakaknya lewat fitur panggilan wa guna mengabarkan kematian ayah mereka. Panggilan diterima, dan kabar itu diterima Fulan, tapi karena alasan sibuk Fulan baru bisa pulang Jumat malam. Setelah musyawarah antara keluarga dan warga, maka senin malam itu juga mereka sepakat memproses pemakaman jenazah almarhum, tanpa menunggu kedatangan Fulan. Setelah dimandikan, dikafani, dan  disholati, sekitar pukul 20.00 malam, jenazah almarhum pak Ahmad telah rampung dikebumikan.
Pelajaran berharga yang dapat kita petik dari cerita tersebut  adalah tentang pentingnya membekali anak dengan pendidikan agama yang cukup. Fulan yang kurang bekal keagamaannya, karena dulu dia sekolah umum saja, menjadikannya kurang paham tentang  birrul walidain”(berbuat baik pada orang tua).  Dia lupa, bahwa kesuksesan karirnya berkat  jasa dan ridhonya orang tua. Jika Fulan paham tentang pelajaran tersebut, maka dia segera izin dari kerja dan bergegas pulang ikut merawat jenazah bapaknya untuk penghormatan terakhir kalinya di dunia.
Birrul walidain adalah berbuat baik kepada kedua orang tua serta mentaati perintahnya (kecuali ma’siat) dan mendoa’kannya apabila keduanya telah wafat. Sebagaimana firman Allah: “Sembahlah Allah dan jangan kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua Ibu Bapak”.(An Nisa’:36).
Saking pentinya birrul walidain, amalan ini disarankan dilakukan, baik ketika orang tua kita masih hidup atau sudah mati. Beberapa amalan yang dianjurkan oleh Islam kalau orang tua kita masih hidup adalah: Pertama. Mentaati mereka selama tidak mendurhakai Allah. Mentaati kedua orang tua hukumnya wajib. Haram hukumnya mendurhakai keduanya, kecuali apabila mereka menyuruh untuk menyekutukan Allah atau mendurhakai-Nya. “Tidak ada ketaatan untuk mendurhakai Allah. Sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam melakukan kebaikan.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Kedua.  Berbakti dan merendahkan diri di hadapan orang tua. Firman Allah: “Dan Rabb-mu telah memerintahkan supaya kami jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah: ‘Wahai, Rabb-ku, kasihilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (QS. Al-Israa’: 23-24)
Ketiga.  Meminta izin kepada mereka sebelum berjihad dan untuk urusan lainnya. Seorang laki-laki datang menghadap Rasulullah dan bertanya: “Ya, Rasulullah, apakah aku boleh ikut berjihad?” Beliau balik bertanya: “Apakah kamu masih mempunyai kedua orang tua?” Laki-laki itu menjawab: “Masih.” Beliau bersabda: “Berjihadlah (dengan cara berbakti) kepada keduanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Keempat. memberikan harta kepada orang tua. Rasulullah pernah bersabda kepada seorang laki-laki ketika ia berkata: “Ayahku ingin mengambil hartaku.” Nabi bersabda: “Kamu dan hartamu milik ayahmu.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah).
            Kelima. Tidak mencela orang tua/tidak menyebabkan mereka dicela orang lain. Rasulullah bersabda: “Termasuk dosa besar adalah seseorang mencela orang tuanya.” Para Sahabat bertanya: “Ya, Rasulullah, apa ada orang yang mencela orang tuanya?” Beliau menjawab: “Ada. Ia mencela ayah orang lain kemudian orang itu membalas mencela orang tuanya. Ia mencela ibu orang lain lalu orang itu membalas mencela ibunya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Setelah mereka meninggal dunia, maka kewajiban kita pada orang tua adalah: Pertama. Menshalati  dan mendoakan mereka. Setelah menshalati jenazahnya, kita juga dianjurkan mendo’akan keduanya. Seorang anak hendaknya lebih sering mendo’akan kedua orang tuanya setelah mereka meninggal daripada ketika masih hidup. Apabila anak itu mendo’akan keduanya, niscaya kebaikan mereka berdua akan semakin bertambah, sabda Rasulullah: “Apabila manusia sudah meninggal, maka terputuslah amalannya kecuali tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendo’akan dirinya.” (HR.Muslim).  
Kedua. Menunaikan janji orang tua. Hendaknya seseorang menunaikan wasiat kedua orang tua dan melanjutkan secara berkesinambungan amalan-amalan kebaikan yang dahulu pernah dilakukan keduanya. Sebab, pahala akan terus mengalir kepada mereka berdua apabila amalan kebaikan yang dulu pernah dilakukan dilanjutkan oleh anak mereka.
Ketiga.  Memuliakan teman orang tua.” Ibnu Umar berkata: “Sungguh dulu ayahnya teman Umar bin al-Khaththab dan aku pernah mendengar Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya bakti anak yang terbaik ialah seorang anak yang menyambung tali persahabatan dengan keluarga teman ayahnya setelah ayahnya tersebut meninggal.” (HR.Muslim)
Keempat. Menyambung tali silaturahim dengan kerabat orang tua. Hal ini berdasarkan hadits yang telah disebutkan dan sabda beliau: “Barang siapa ingin menyambung silaturahim ayahnya yang ada di kuburannya, maka sambunglah tali silaturahim dengan saudara-saudara ayahnya setelah ia meninggal.” (HR. Ibnu Hibban).
Mengajarkan birrul walidain kepada anak kita lebih efektif dilakukan dengan memberikan keteladanan sikap kita terhadap orang tua kita/ kakek nenek mereka. Itu bisa kita lakukan dengan cara kita ajak mereka untuk silaturrahim ke rumah kakek nenek mereka/ ayah ibu kita. Kita ajarkan sikap yang baik dengan cara memberikan oleh-oleh, sopan santun dan menghormati ayah ibu kita/ kakek nenek mereka. Kita ajak mereka ziarah kubur jika ayah ibu kita/ kakek nenek mereka sudah meninggal. Semoga Allah senantiasa menjadikan kita dan anak-anak kita menjadi hamba Allah yang senantiasa mengamalkan “birrul walidain”. Aamiin. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar: