Pengikut

Minggu, 26 Agustus 2018

Sekolah: Merespon era Revolusi Industri 4.0

Oleh:
Mishad Khoiri
Sudah tiga malam lampu di rumah keluarga yang dihuni tiga orang itu gelap gulita. Dari jauh, hanya tampak lilin yang menyala. Keluarga yang terdiri dari seorang Ibu, sebut saja Bu Fulanah dan dua orang anak yang sudah dewasa ini agak tertutup. Para tetangga di sekitarnya menganggap padamnya lampu mungkin ada masalah dengan pemutusan saluran listrik oleh PLN, sehingga mereka “sungkan” menanyakannya ke keluarga itu. Lantaran, begitu penasarannya, pak Fulan sebut saja tetangga depan rumahnya iseng menanyakan ke Ibu Fulanah yang punya rumah tentang  mengapa listrik di rumahnya kok padam? Apakah diputus PLN? Ternyata jawabannya di luar dugaan, yaitu “Tidak”. Terus kenapa? Dijawab Bu Fulanah tidak tahu. “Saya dan anak-anak saya takut ”setrum” listrik pak, sehingga kami tidak berani mendekat ke pusat listrik di rumah kami” imbuh Bu Fulanah .
Pak Fulan bergegas meminta izin memeriksa jaringan listrik di rumah tersebut. Dia minta dibantu, Dedi  anaknya Bu Fulanah untuk memeriksa saluran listrik. Dedi, anak sulung dari Ibu Fulanah yang sudah kuliah semester akhir itu pun ikut membantu menunjukkan pusat listrik di rumahnya. Setelah Pak Fulan memeriksa sebentar, ternyata diketahui “sekring listriknya off/putus”. Setelah disambung/ditombol on-nya oleh Pak Fulan, maka menyalah juga semua lampu di rumah itu.
 Pak Fulan hanya bisa geleng-geleng kepala, masak gara-gara sekring putus/off, listrik dibiarkan mati tiga hari tiga malam tanpa ada solusi, hanya karena takut “setrum”. Padahal di keluarga Ibu Fulanah punya dua anak yang sudah besar, bahkan ada yang sudah kuliah. Bu Fulanah menceritakan, bahwa dia dari kecil memang takut pada “setrum/listrik”, dan menanamkan pada anak-anaknya untuk tidak mendekat atau main-main dengan perangkat kelistrikan. Sehingga sampai usia kuliah pun anak-anaknya tidak paham dengan masalah kelistrikan, karena “saking” takutnya,  termasuk hanya untuk menyambung/meng-on-kan sekring putus/ off.
Dari cerita keluarga bu Fulanah di atas bisa digambarkan, bahwa suatu pembiasaan berlebihan pada hal tertentu menjadikan anggota keluarga, terutama anak kita menjadi penakut, kurang berkembang, dan kurang terampil/cakap menyelesaikan masalah. Menjauhkan anak dari bahaya “setrum” itu baik, tapi memahamkan anak untuk tahu bahwa “setrum” itu bisa kita manfaatkan dan bisa kita gunakan tanpa harus “kesetrum” itu penting juga. Sehingga suatu saat menghadapi masalah yang berhubungan dengan hal itu, anak bisa tangkas menghadapinya. Begitu juga menghadapi hal-hal lain dalam kehidupan ini, ternyata pendekatan “life skill” atau kecakapan hidup adalah bagian penting dalam pembelajaran anak didik kita. Lebih-lebih menyiapkan kecakapan anak didik kita di rumah/ sekolah menghadapi era revolusi industri 4.0 kini.
Terjadi perubahan yang drastis di revolusi industry 4.0 ini. Revolusi Industri 4.0 ditandai dengan berkembangnya Internet of/for Things yang diikuti teknologi baru dalam data sains, artificial intelligent atau kecerdasan buatan, robotik, cloud, cetak tiga dimensi, dan teknologi nano. Kehadirannya begitu cepat. Banyak hal yang tak terpikirkan sebelumnya, tiba-tiba muncul dan menjadi inovasi baru, serta membuka lahan bisnis yang sangat besar. Munculnya transportasi dengan sistem ride-sharing seperti Go-jek, Uber dan Grab, juga room-sharing seperti Airbnb adalah contoh. Inovasi tersebut bahkan telah men-disrupsi bisnis transportasi dan sewa kamar yang sudah ada sebelumnya.
Era revolusi industri 4.0 merupakan tantangan berat bagi dunia pendidikan di Indonesia. Mengutip Jack Ma dalam pertemuan tahunan World Economic Forum 2018, pendidikan adalah tantangan besar abad ini. Jika tidak mengubah cara mendidik dan belajar-mengajar, 30 tahun mendatang kita akan mengalami kesulitan besar. Pendidikan dan pembelajaran yang sarat dengan muatan pengetahuan mengesampingkan muatan sikap dan keterampilan sebagaimana saat ini terimplementasi, akan menghasilkan anak didik yang tidak mampu berkompetisi dengan mesin. Dominasi pengetahuan dalam pendidikan dan pembelajaran harus diubah agar kelak anak-anak muda Indonesia mampu mengungguli kecerdasan mesin sekaligus bijak menggunakan mesin untuk kemaslahatan.
Siapkah dunia pendidikan kita menghadapai era revolusi industri 4.0?  Saat ini yang dirasakan guru kita beban kurikulum dan beban administratif sudah terlalu padat, sehingga tidak lagi memiliki waktu tersisa memberi peluang anak didik menjelajahi daya-daya kreatif mereka menghasilkan karya-karya orisinal. Akibatnya, interaksi sosial anak didik terbatasi, daya kreasinya terbelenggu, dan daya tumbuh budi pekerti luhurnya stagnan.
Idealnya  sekolah mengimplementasikan pembelajaran yang opened dan  memungkinkan anak didik mengeksplorasi lingkungan pendidikan keluarga, masyarakat, dan sekolah. Seharusnya, sekolah menyelenggarakan pembelajaran yang kaya inovasi dan kreasi. Proses pembelajaran di sekolah harus mengembangkan daya cipta, rasa, karsa, dan karya serta kepedulian sosial.
Di era Revolusi Industri 4.0 sekolah perlu mengembangkan literasi baru yaitu data, teknologi dan sumber daya manusia. Sekolah harus bisa mendorong siswanya dapat memanfaatkan dan mengolah data, menerapkannya ke dalam teknologi dan tentunya kita harus memahamkan siswa cara penggunaan teknologi tersebut . Literasi manusia menjadi penting untuk bertahan di era ini, tujuannya adalah agar manusia bisa berfungsi dengan baik di lingkungan manusia dan dapat memahami interaksi dengan sesama manusia. Oleh karena itu sekolah perlu mencari metoda untuk mengembangkan kapasitas kognitif siswa: higher order mental skills, berpikir kritis & sistemik, amat penting untuk bertahan di era revolusi industri 4.0.   Kemampuan untuk membaca, analisis, dan menggunakan informasi (big data) di dunia digital harus ditingkatan.

Dampak negatif dari revolusi industri 4.0 di lingkungan pendidikan juga harus diantisipasi. Akses internet mempunyai dampak terhadap merebaknya game online, situs porno dan kekerasaan. Semuanya itu dapat diantisipasi dengan penguatan pendidikan karakter siswa oleh sekolah melalui bi’ah (pembiasaan) akhlaqul karimah. Pembiasaan tersebut diantaranya dengan memasukkan muatan pendidikan karakter dalam rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Di luar pembelajaran formal, pembiasaan akhlakul karimah siswa bisa dilakukan melalui kegiatan sholat berjama’ah, tadarus qur’an, kerja bakti, kantin kejujuran, kegiatan pengembangan diri, dan ekstra kurikuler. Tentu saja semua itu harus didukung oleh tegaknya aturan sekolah, keteladanan unsur pimpinan, dan guru, serta sinergi kinerja seluruh komponen stake-holder sekolah. Semuanya harus bahu membahu demi tercapainya kesuksesan dan prestasi anak didik kita di era industri 4.0 kini. Wallohua’lam.