Oleh:
Mishad
Wajah Fulan tampak berseri-seri bahagia lantaran dia
diumumkan sebagai lulusan terbaik di sekolahnya. Selain nilai ujian nasionalnya
tertinggi, nilai rata-rata raportnya juga pamuncak di sekolahnya. Abdullah, bapak Fulan begitu bangga ketika
nama anaknya diumumkan sebagai lulusan terbaik di sekolahnya.
Pak Abdullah kemudian dipersilahkan
oleh pembawa acara ke depan untuk menerima penghargaan bagi anaknya yang
diberikan oleh Kepala sekolah. Beliau menerima
piagam dan bingkisan bersama dengan
orang tua siswa lainnya, yaitu siswa terbaik ke dua dan ketiga. Saat balik dari
panggung dia menghampiri Fulan anaknya seraya berkata. “Nak …. Kamu hebat …
terima kasih nak … kamu hari ini membuat bapak bangga”. Kata-kata bapaknya itu masih terus diingat oleh Fulan hingga saat ini,
walau kini Fulan sudah bekerja dan sudah
lulus S-2. Tidak hanya kata-kata bapaknya itu yang masih terngiang di telinga Fulan.
Tapi Fulan juga masih ingat berapa kisaran rata-rata nilai raport-nya saat itu.
Rata-rata nilai raportnya menjadi yang tertinggi saat itu adalah 8,5.
Waktu sekolah penilaian di raport Fulan masih
ada nilai 5 dan tertinggi adalah nilai 10. Waktu itu juga masih dikenal
pe-rangkingan per kelas maupun paralel.
Interval nilai terendah sampai tertinggi masih punya jarak yang agak
jauh sehingga kurva hasil penilaiannya pun sangat bisa menggambarkan
keotentikan hasil penilaian. Kelebihan interval nilai yang panjang adalah
variasi nilai masih bisa sangat beragam.
Tentunya ditemukan juga
kelemahan-kelemahan sistem penilaian yang dialami Fulan pada saat itu. Tapi ada
satu kata yang cukup mengena untuk penilaian saat itu, yaitu lebih asli/
otentik dari sistem penilaian siswa sekarang. Di zamannya Fulan sekolah, siswa
dapat nilai 8 itu sudah tinggi. Nilai 8 pada era itu dicapai oleh siswa dengan
susah payah dan belajar keras. Coba
bandingkan dengan nilai siswa sekarang.
Ada bahkan banyak satuan pendidikan/sekolah yang menetapkan nilai 8 atau sekarang
ditambah satu digit menjadi 80 adalah nilai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM)/ terendah.
Jika nilai KKM terendah adalah 80,
maka rentang dengan patokan nilai tertinggi, yaitu 100 hanya 20 digit. Variasi
nilai akhir siswa hanya ada 21 variasi mulai urutan 80 sampai 100. Sedangkan
faktanya rentang penilaian siswa adalah 0 – 100. Artinya, kurva hasil penilaian
antara yang terendah dan tertinggi sangat pendek. Sangat dimungkinkan, ketika
guru mengadakan ulangan, maka kemungkinan akan mendapatkan hasil nilai siswanya
di bawah 80 yang terlalu banyak. Apabila
dilakukan remedial, maka akan
memunculkan nilai 80 (tepat KKM) yang lumayan banyak jumlahnya.
Misalnya, diadakan ulangan Fisika pada 30 siswa. Hasil
nilai ulangannya yang tuntas (≥ 80) ada 10 siswa, yang belum tuntas ada 20
siswa. Maka kemungkinan nilai Fisika siswa di kelas tersebut maksimal hanya ada
11 variasi, yaitu 10 variasi dari siswa yang
tuntas, yaitu di atas 80 dan 1 variasi dari 20 siswa yang harus mengikuti
remedial, yaitu nilainya 80.
Bisa dibayangkan ketika satuan
pendidikan karena persaingan dengan satuan pendidikan lain mematok nilai KKM
lebih tinggi lagi, seperti 85 atau 90, maka variasi nilai yang didapatkan akan
lebih sedikit lagi. Termasuk siswa yang akan mengikuti remedial bisa tambah
lebih banyak lagi.
Karena ada ketentuan KKM yang tinggi
oleh satuan pendidikan, para guru menyikapinya beragam. Ada guru yang
menurunkan tingkat kesulitan soalnya. Ada guru yang agak vulgar menunjukkan
kisi-kisi, bahkan indikator soal ulangannya pada siswa. Ada guru yang
memberikan take home test, open book test. Ada guru yang
meninggikan nilai tugas, sehingga bisa menambah nilai ulangan harian dan
semester, dan lain-lain. Semua dengan tujuan sama, supaya siswa banyak yang
lolos/tuntas dalam ulangannya dan menghindari banyaknya siswa yang mengikuti remidi.
Pernah terjadi kasus, hasil ulangan
siswa A adalah 60, maka dia harus mengikuti remedial
teaching dan remedial test. Apa
yang terjadi? Setelah siswa mengikuti dua periode remidi yang diakhiri dengan remedial test, maka hasil nilai remidi siswa
ada yang masih sama, bahkan ada yang lebih jelek. Maka diulanginya lagi proses remedial tersebut dengan proses remedial yang standart, tetapi hasilnya
masih sama, yaitu belum tuntas. Maka jurus terakhir guru adalah memberikan soal
remedial yang kurang standar/ lebih
mudah atau ada guru yang hanya memberikan tugas saja untuk menuntaskan nilai
siswanya.
Kasus tersebut adalah imbas dari
penentuan KKM yang tinggi oleh satuan pendidikan. Lebih-lebih lagi sekolah
pinggiran (baca: belum maju) yang intake,
kompleksitas, dan sarana pendukungnya masih minim juga tidak mau kalah dalam
meninggikan nilai KKM. Akibatnya nilai siswanya juga banyak yang melebihi dari
nilai kemampuannya. Artinya, mestinya jika dihitung sungguh-sungguh nilai KKM mapel
X adalah 65 tapi karena persaingan/tuntutan, maka diputuskan KKM-nya 75. Jika
KKM 75, maka nilai siswa pada pelajaran X harus sama dengan/ di atas 75,
padahal hitungan seharusnya KKM-nya 65.
Maka jangan heran jika melihat nilai siswa sekarang itu seperti melihat hasil
foto di iklan film fuji colour, yaitu
lebih indah dari aslinya. Ilustrasinya, jika nilai seorang siswa sekarang
adalah 95, maka seperti kalau zaman
sekolahnya Fulan dulu seperti nilai 85.
Meskipun penentuan batas KKM siswa
menurut teorinya sangat ilmiah, tapi dalam prakteknya terjadi persaingan yang
tidak sehat antar sekolah dalam penentuan batas KKM. Tingginya batas KKM seolah
menjadi simbol keunggulan sekolah. Ada stereotipe
sekolah unggul = nilai KKM tinggi. Sehingga ada kecenderungan kompetisi dalam
penentuan nilai KKM. Bahkan KKM yang konsep awalnya menurut permendiknas
ditentukan oleh guru masing-masing mata pelajaran, kini bergeser ditentukan
oleh satuan pendidikan.
Pergeseran penentuan KKM ke satuan
pendidikan konsep awalnya adalah satuan pendidikan bersama guru mapel. Di
lapangan beberapa satuan pendidikan sudah lebih dulu menentukan batas KKM.
Selanjutnya, guru mapel diharapkan untuk
menerima ketentuan/menyesuaikan. Kondisi seperti ini terjadi karena beberapa
sebab. Secara eksternal dikarenakan mengikuti penentuan KKM di beberapa satuan pendidikan lain yang juga ditentukan
oleh sekolah. Sedangkann secara internal menghindari dimungkinkannya adanya KKM
yang nilainya terlalu bervariasi, apalagi terlalu rendah dari target petinggi
satuan pendidikan.
Kondisi persaingan antar satuan
pendidikan dalam penentuan nilai KKM harus dikontrol oleh pemerintah atau dinas pendidikan. Pemerintah
harus mengajak dialog para petinggi sekolah negeri maupun swasta untuk
mensosialisasikan penentuan KKM yang benar, yaitu mengacu pada kualitas intake siswa, kompleksitas siswa, dan
sarana pendukung sekolah. Dinas pendidikan di Kemendikbud dan seksi pendidikan
madrasah di Kemenag melalui pengawas harus bekerjasama untuk menertibkan nilai
KKM sekolah/madrasah apabila ada penentuan nilai KKM-nya tidak wajar/ kurang
sesuai dengan fakta. Kalau ini tidak dilakukan, maka persaingan tidak sehat
antar satuan pendidikan dalam penentuan
nilai KKM akan membudaya.
Perlu ada kesadaran bersama, bahwa
keberhasilan evaluasi pendidikan tidak hanya dari tingginya nilai. Perlu ada
gerakan bersama untuk memprioritaskan kualitas dan keotentikan hasil penilaian.
Indikator dari kualitas/keotentikan dari hasil penilaian adalah penguasaan
materi/ kompetensi. Artinya, jika siswa yang penilaian sudah “tuntas” itu diuji
atau lulus dari KKM, maka dia harus benar-benar menguasai materi/kompetensi.
Jangan sampai ada siswa yang nilainya sudah lolos dari KKM. Tapi ketika di tes,
ternyata tidak mampu/ tidak kompeten. Munculah kesan penilaian seolah diobral.
Lahirlah anekdot “nilainya lebih tinggi dari aslinya/kemampuannya” sepadan
dengan slogan dari iklan film kamera Fuji Colour
, yaitu “Warnanya lebih indah dari aslinya.
Wallohua’lam.
*
Guru dan Tim Peningkatan dan Penjaminan Mutu MAN 2 Kota Malang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar