Pengikut

Rabu, 20 Maret 2019

Fuji Colour Penilaian Pendidikan

Oleh:
Mishad

            Wajah Fulan  tampak berseri-seri bahagia lantaran dia diumumkan sebagai lulusan terbaik di sekolahnya. Selain nilai ujian nasionalnya tertinggi, nilai rata-rata raportnya juga pamuncak di sekolahnya.  Abdullah, bapak Fulan begitu bangga ketika nama anaknya diumumkan sebagai lulusan terbaik di sekolahnya.  
            Pak Abdullah kemudian dipersilahkan oleh pembawa acara ke depan untuk menerima penghargaan bagi anaknya yang diberikan oleh Kepala sekolah.  Beliau menerima piagam dan bingkisan  bersama dengan orang tua siswa lainnya, yaitu siswa terbaik ke dua dan ketiga. Saat balik dari panggung dia menghampiri Fulan anaknya seraya berkata. “Nak …. Kamu hebat … terima kasih nak … kamu hari ini membuat bapak bangga”.  Kata-kata bapaknya itu masih  terus diingat oleh Fulan hingga saat ini, walau kini Fulan  sudah bekerja dan sudah lulus S-2. Tidak hanya kata-kata bapaknya  itu yang masih terngiang di telinga Fulan. Tapi Fulan juga masih ingat berapa kisaran rata-rata nilai raport-nya saat itu. Rata-rata nilai raportnya menjadi yang tertinggi saat itu adalah 8,5.
Waktu sekolah penilaian di raport Fulan masih ada nilai 5 dan tertinggi adalah nilai 10. Waktu itu juga masih dikenal pe-rangkingan per kelas maupun paralel.  Interval nilai terendah sampai tertinggi masih punya jarak yang agak jauh sehingga kurva hasil penilaiannya pun sangat bisa menggambarkan keotentikan hasil penilaian. Kelebihan interval nilai yang panjang adalah variasi nilai masih bisa sangat  beragam.
            Tentunya ditemukan juga kelemahan-kelemahan sistem penilaian yang dialami Fulan pada saat itu. Tapi ada satu kata yang cukup mengena untuk penilaian saat itu, yaitu lebih asli/ otentik dari sistem penilaian siswa sekarang. Di zamannya Fulan sekolah, siswa dapat nilai 8 itu sudah tinggi. Nilai 8 pada era itu dicapai oleh siswa dengan susah payah dan belajar  keras. Coba bandingkan dengan  nilai siswa sekarang. Ada bahkan banyak satuan pendidikan/sekolah yang menetapkan nilai 8 atau sekarang ditambah satu digit menjadi 80 adalah nilai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM)/ terendah.
            Jika nilai KKM terendah adalah 80, maka rentang dengan patokan nilai tertinggi, yaitu 100 hanya 20 digit. Variasi nilai akhir siswa hanya ada 21 variasi mulai urutan 80 sampai 100. Sedangkan faktanya rentang penilaian siswa adalah 0 – 100. Artinya, kurva hasil penilaian antara yang terendah dan tertinggi sangat pendek. Sangat dimungkinkan, ketika guru mengadakan ulangan, maka kemungkinan akan mendapatkan hasil nilai siswanya di bawah 80 yang terlalu banyak.  Apabila dilakukan remedial, maka  akan memunculkan nilai 80 (tepat KKM) yang lumayan banyak jumlahnya.
Misalnya,  diadakan ulangan Fisika pada 30 siswa. Hasil nilai ulangannya yang tuntas (≥ 80) ada 10 siswa, yang belum tuntas ada 20 siswa. Maka kemungkinan nilai Fisika siswa di kelas tersebut maksimal hanya ada 11 variasi, yaitu 10 variasi dari  siswa yang tuntas, yaitu di atas 80 dan 1 variasi dari 20 siswa yang harus mengikuti remedial, yaitu nilainya 80.
Bisa dibayangkan ketika satuan pendidikan karena persaingan dengan satuan pendidikan lain mematok nilai KKM lebih tinggi lagi, seperti 85 atau 90, maka variasi nilai yang didapatkan akan lebih sedikit lagi. Termasuk siswa yang akan mengikuti remedial bisa tambah lebih banyak lagi.
Karena ada ketentuan KKM yang tinggi oleh satuan pendidikan, para guru menyikapinya beragam. Ada guru yang menurunkan tingkat kesulitan soalnya. Ada guru yang agak vulgar menunjukkan kisi-kisi, bahkan indikator soal ulangannya pada siswa. Ada guru yang memberikan take home test, open book test. Ada guru yang meninggikan nilai tugas, sehingga bisa menambah nilai ulangan harian dan semester, dan lain-lain. Semua dengan tujuan sama, supaya siswa banyak yang lolos/tuntas dalam ulangannya dan menghindari banyaknya siswa yang mengikuti remidi.
Pernah terjadi kasus, hasil ulangan siswa A adalah 60, maka dia harus mengikuti remedial teaching dan remedial test. Apa yang terjadi? Setelah siswa mengikuti dua periode remidi yang diakhiri dengan remedial test, maka hasil nilai remidi siswa ada yang masih sama, bahkan ada yang lebih jelek. Maka diulanginya lagi proses remedial tersebut dengan proses remedial yang standart, tetapi hasilnya masih sama, yaitu belum tuntas. Maka jurus terakhir guru adalah memberikan soal remedial yang kurang standar/ lebih mudah atau ada guru yang hanya memberikan tugas saja untuk menuntaskan nilai siswanya.
Kasus tersebut adalah imbas dari penentuan KKM yang tinggi oleh satuan pendidikan. Lebih-lebih lagi sekolah pinggiran (baca: belum maju) yang intake, kompleksitas, dan sarana pendukungnya masih minim juga tidak mau kalah dalam meninggikan nilai KKM. Akibatnya nilai siswanya juga banyak yang melebihi dari nilai kemampuannya. Artinya, mestinya jika dihitung sungguh-sungguh nilai KKM mapel X adalah 65 tapi karena persaingan/tuntutan, maka diputuskan KKM-nya 75. Jika KKM 75, maka nilai siswa pada pelajaran X harus sama dengan/ di atas 75, padahal hitungan seharusnya  KKM-nya 65. Maka jangan heran jika melihat nilai siswa sekarang itu seperti melihat hasil foto di iklan film fuji colour, yaitu lebih indah dari aslinya. Ilustrasinya, jika nilai seorang siswa sekarang adalah 95,  maka seperti kalau zaman sekolahnya Fulan dulu seperti nilai 85.
            Meskipun penentuan batas KKM siswa menurut teorinya sangat ilmiah, tapi dalam prakteknya terjadi persaingan yang tidak sehat antar sekolah dalam penentuan batas KKM. Tingginya batas KKM seolah menjadi simbol keunggulan sekolah. Ada stereotipe sekolah unggul = nilai KKM tinggi. Sehingga ada kecenderungan kompetisi dalam penentuan nilai KKM. Bahkan KKM yang konsep awalnya menurut permendiknas ditentukan oleh guru masing-masing mata pelajaran, kini bergeser ditentukan oleh satuan pendidikan.
Pergeseran penentuan KKM ke satuan pendidikan konsep awalnya adalah satuan pendidikan bersama guru mapel. Di lapangan beberapa satuan pendidikan sudah lebih dulu menentukan batas KKM. Selanjutnya, guru mapel  diharapkan untuk menerima ketentuan/menyesuaikan. Kondisi seperti ini terjadi karena beberapa sebab. Secara eksternal dikarenakan mengikuti penentuan KKM di beberapa  satuan pendidikan lain yang juga ditentukan oleh sekolah. Sedangkann secara internal menghindari dimungkinkannya adanya KKM yang nilainya terlalu bervariasi, apalagi terlalu rendah dari target petinggi satuan pendidikan.
Kondisi persaingan antar satuan pendidikan dalam penentuan nilai KKM harus dikontrol  oleh pemerintah atau dinas pendidikan. Pemerintah harus mengajak dialog para petinggi sekolah negeri maupun swasta untuk mensosialisasikan penentuan KKM yang benar, yaitu mengacu pada kualitas intake siswa, kompleksitas siswa, dan sarana pendukung sekolah. Dinas pendidikan di Kemendikbud dan seksi pendidikan madrasah di Kemenag melalui pengawas harus bekerjasama untuk menertibkan nilai KKM sekolah/madrasah apabila ada penentuan nilai KKM-nya tidak wajar/ kurang sesuai dengan fakta. Kalau ini tidak dilakukan, maka persaingan tidak sehat antar satuan pendidikan dalam penentuan  nilai KKM akan membudaya.
Perlu ada kesadaran bersama, bahwa keberhasilan evaluasi pendidikan tidak hanya dari tingginya nilai. Perlu ada gerakan bersama untuk memprioritaskan kualitas dan keotentikan hasil penilaian. Indikator dari kualitas/keotentikan dari hasil penilaian adalah penguasaan materi/ kompetensi. Artinya, jika siswa yang penilaian sudah “tuntas” itu diuji atau lulus dari KKM, maka dia harus  benar-benar menguasai materi/kompetensi. Jangan sampai ada siswa yang nilainya sudah lolos dari KKM. Tapi ketika di tes, ternyata tidak mampu/ tidak kompeten. Munculah kesan penilaian seolah diobral. Lahirlah anekdot “nilainya lebih tinggi dari aslinya/kemampuannya” sepadan dengan slogan dari iklan film kamera Fuji Colour , yaitu “Warnanya lebih indah dari aslinya.  Wallohua’lam.


* Guru dan Tim Peningkatan dan Penjaminan Mutu MAN 2 Kota Malang

Tidak ada komentar: