Oleh:
Mishad
Pagi itu saya dikagetkan oleh berita di
salah satu Koran nasional yang berjudul
“Guru Buka Bimbel Disorot KPK”. Bahkan di lead
beritanya ditegaskan KPK akan
memperingatkan agar guru tidak memberikan bimbingan belajar (Bimbel) bagi siswa yang di ajar di
sekolah. Statemen KPK ini disampaikan
oleh Ketua KPK Agus Raharjo, pada saat pertemuan dengan Mendikbud Muhajir
Efendi di gedung KPK pada hari Selasa, 8
Januari 2018 lalu.
Bimbel
bukan barang baru bagi dunia pendidikan di negara kita. Sejak sekitar akhir
1970-an, Bimbel sudah ada di kota besar seperti Jakarta. Tetapi, waktu itu Bimbel
sebatas ajang melatih siswa SLTA yang akan mengikuti tes masuk ke perguruan
tinggi.. Pada 1990-an, keberadaan Bimbel semakin menjamur. Sasaran mereka tidak
hanya menjaring lulusan SLTA yang akan mengikuti tes masuk perguruan tinggi
negeri (PTN), tetapi mulai menarik pelajar kelas III SMA guna menyiapkan mereka
mengikuti ujian nasional (UN). Targetnya, peserta lulus UN dengan nilai bagus
dan lolos seleksi masuk PTN. Malahan Bimbel juga membuka bimbingan bagi siswa
kelas X dan kelas XI dengan sasaran agar peserta mendapat nilai ulangan harian
bagus dan naik kelas dengan nilai memuaskan.
Fenomena menjamurnya Bimbel di Indonesia
tentunya bukan tanpa sebab. Lembaga Bimbel muncul lebih dilatarbelakangi oleh
kebutuhan konsumen mereka, yaitu para pelajar, bahkan orang tuanya. Kebutuhan
tersebut adalah “layanan khusus” yang tentunya tidak ditemukan oleh mereka di
sekolahnya. Layanan tersebut bisa karena profil pengajarnya, proset/ paket soal/bukunya, metode
pengajarannya, hingga suasana pergaulan dan heterogenitas
penghuni kelasnya. Jika belajar di sekolah itu dikatakan sebagai kebutuhan
pokok pelajar, maka Bimbel adalah kebutuhan sekunder/tertier bagi mereka.
Sebenarnya, lembaga penyedia Bimbel
melayani konsumennya dengan beberapa model. Ada lembaga Bimbel yang dimodel
klasikal dan ada lembaga Bimbel yang dimodel les private. Semua memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing.
Tapi, mereka mempunyai visi yang sama, yaitu membantu memecahkan kesulitan
belajar dan menguatkan/menambah materi belajar para peserta didik di
sekolahnya. Keunggulan lembaga Bimbel yang laku dijual adalah trik khusus yang
dibuat oleh mereka untuk penyelesaian soal secara cepat tepat dan tepat. Di
sebagian kalangan pelajar/orang tua, lembaga Bimbel juga memiliki nilai prestise.
Tidak bisa dipungkiri, sebagian
pelaku lembaga Bimbel, terutama pengajarnya adalah guru yang juga mengajar di
sekolah. Di lembaga Bimbel klasikal, para pengajar terkadang tidak sengaja ketemu/mengajar
siswa yang juga diajar di sekolahnya. Sehingga, mungkin juga guru di sekolah
tertentu juga menjadi tentor di Bimbel yang siswa juga kebetulan menjadi
peserta didik di sekolahnya. Tapi kejadian itu bukan kerana kesengajaan dia,
tapi karena mendapat kelas dari manajemen lembaga Bimbelnya. Apakah yang
seperti ini dikategorikan pelanggaran oleh KPK, menurut saya yang juga pernah
mengajar di Bimbel “tidak”, dengan catatan guru itu harus punya integritas
dalam penilaian.
Sorotan KPK lebih tepat jika
diarahkan pada guru yang membuka Bimbel/les private/kelompok untuk muridnya
sendiri. Sebuah contoh. seperti Guru A di sekolah A, membuka layanan
private/kelompok yang siswanya dari sekolah A/sebagian besar siswa di sekolah
A. Ini mungkin yang perlu dibidik oleh KPK, karena ada unsur kesengajaan dan
keterkaitan penilaian. Selain itu, KPK juga harus berusaha membidik lembaga Bimbel
besar yang terindikasi membocorkan/memperjualbelikan soal UN atau SBMPTN tulis,
jika masih ada. Fenomena kebocoran saoal UN dan SBMPTN memang mulai menghilang
sejak diterapkan ujian/tes berbasis komputer. Tapi kita tetap harus terus
waspada dan terus mengawasinya.
Idealnya, seorang guru cukup
mengajar di sekolahnya saja. Tapi kita harus bijaksana dalam bersikap.
Rata-rata guru yang merangkap sebagai tentor di Bimbel lebih dilatarbelakangi
oleh faktor ekonomi dan idealisme. Faktor
ekonomi yang dimaksud adalah karena mereka belum PNS/Guru Tetap di sekolahnya.
Karena gajinya masih belum cukup, maka dia masih perlu mengais rezeki di
lembaga Bimbel.
Faktor idealisme juga terjadi pada guru
yang merangkap mengajar di lembaga Bimbel. Sebagai contoh adalah karena guru
itu ingin tetap terpacu belajar lebih lagi. Mereka menganggap jika hanya
mengajar di sekolah, maka tantangannya cenderung monoton/kurang menantang.
Sedangkan di Bimbel mereka merasa tertantang untuk lebih keras belajar, karena
menghadapi siswa dari multi sekolah dan multi intelektual. Saya punya teman
seorang kepala sekolah yang masih tetap menjadi tentor di Bimbel dengan alasan,
ingin tetap mengajar dan tidak ingin kehilangan ilmunya.
Perlu ada wacana untuk membuat
regulasi/aturan yang mengawasi sistem kerja di lembaga Bimbel dengan
indikator/instrumen pengawasan yang valid. Terutama agar mereka tetap konsisten
sebagai lembaga yang melayani bimbingan belajar yang menekankan nilai plus
kualitas pembelajaran. Jangan sampai lembaga Bimbel lebih kental “aroma bisnis”nya
saja. Disinyalir ada Bimbel tertentu yang melakukan rekrutmen siswa dengan
kerjasama dengan birokrasi sekolah dengan embel-embel hadiah tertentu. Bimbel
akan memberikan “imbalan” tertentu jika ada oknum di sekolah tertentu bisa
mengarahkan siswanya mengikuti Bimbel di lembaganya.
Pengawasan lain adalah tentang integritas
penilaian para guru dan birokrasi sekolah lain yang terlibat di lembaga Bimbel.
Ada seorang kepala sekolah/guru yang menjadi pengajar atau owner lembaga Bimbel ini
yang menurut saya harus diawasi integritasnya. Dinas pendidikan harus mengontrol
kepala sekolah/guru yang menjadi pengajar atau owner lembaga Bimbel. Jangan
sampai ada siswa di sekolahnya yang menjadi siswa di lembaga Bimbelnya
mendapatkan perhatian lebih, terutama dalam hal penilaian.
Solusi dengan cara langsung melarang kepala
sekolah/guru yang menjadi pengajar atau owner lembaga Bimbel tentunya kurang bijaksana.
Tapi larangan itu menjadi sebuah keniscayaan jika terbukti terjadi
pelanggaran. Pemerintah harus tegas
menindak oknum kepala sekolah/guru yang menjadi pengajar atau owner
lembaga Bimbel yang melanggar. Jika para pelanggar masih bisa dibina
secara internal oleh dinas pendidikan, maka akan lebih baik. Tapi jika
permasalahan itu terlalu akut dan mengarah ke tindakan korupsi, maka
keterlibatan lembaga hukum, seperti KPK untuk menindaklanjutinya bukan masalah
yang utopia.
Dunia pendidikan adalah dunia yang
humanis, maksudnya dalam menghadapi permasalahan yang dikedepankan adalah sosialisasi
dan dialog terlebih dahulu. Kalau Kemendikbud serius memasalahkan kepala
sekolah/guru yang menjadi pengajar atau owner lembaga Bimbel, maka perlu ada regulasi
khusus. Buat permen yang mengatur mekanisme kerja Bimbel, termasuk jika kepala
sekolah/guru terlibat di dalamnya. Langkah selanjutnya adalah sosialisasi permen
sekaligus uji keterbacaan melalui dialog dengan pihak-pihak terkait. Jika
permen itu sudah matang, maka segera diimplementasikan. Setelah implementasikan
dalam jangkah waktu tertentu, perlu ada evaluasi tentang tingkat keefektifannya
untuk perbaikan. Maka insha Allah jika langkah-langkah ini sudah dilakukan,
seluruh pihak akan lebih siap mengawalnya di lapangan. Wallahua’lam.
*
Penulis adalah Guru dan Tim Peningkatan dan Penjaminan Mutu MAN 2 Kota Malang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar