Pengikut

Rabu, 20 Maret 2019

Pro Kontra Guru Buka Bimbel

Oleh:
Mishad
           
Pagi itu saya dikagetkan oleh berita di salah satu Koran nasional  yang berjudul “Guru Buka Bimbel Disorot KPK”. Bahkan di lead beritanya  ditegaskan KPK akan memperingatkan agar guru tidak memberikan bimbingan belajar  (Bimbel) bagi siswa yang di ajar di sekolah.  Statemen KPK ini disampaikan oleh Ketua KPK Agus Raharjo, pada saat pertemuan dengan Mendikbud Muhajir Efendi di gedung  KPK pada hari Selasa, 8 Januari 2018 lalu.
Bimbel bukan barang baru bagi dunia pendidikan di negara kita. Sejak sekitar akhir 1970-an, Bimbel sudah ada di kota besar seperti Jakarta. Tetapi, waktu itu Bimbel sebatas ajang melatih siswa SLTA yang akan mengikuti tes masuk ke perguruan tinggi.. Pada 1990-an, keberadaan Bimbel semakin menjamur. Sasaran mereka tidak hanya menjaring lulusan SLTA yang akan mengikuti tes masuk perguruan tinggi negeri (PTN), tetapi mulai menarik pelajar kelas III SMA guna menyiapkan mereka mengikuti ujian nasional (UN). Targetnya, peserta lulus UN dengan nilai bagus dan lolos seleksi masuk PTN. Malahan Bimbel juga membuka bimbingan bagi siswa kelas X dan kelas XI dengan sasaran agar peserta mendapat nilai ulangan harian bagus dan naik kelas dengan nilai memuaskan.
            Fenomena menjamurnya Bimbel di Indonesia tentunya bukan tanpa sebab. Lembaga Bimbel muncul lebih dilatarbelakangi oleh kebutuhan konsumen mereka, yaitu para pelajar, bahkan orang tuanya. Kebutuhan tersebut adalah “layanan khusus” yang tentunya tidak ditemukan oleh mereka di sekolahnya. Layanan tersebut bisa karena profil pengajarnya, proset/ paket soal/bukunya, metode pengajarannya, hingga suasana pergaulan dan heterogenitas penghuni kelasnya. Jika belajar di sekolah itu dikatakan sebagai kebutuhan pokok pelajar, maka Bimbel adalah kebutuhan sekunder/tertier bagi mereka.
            Sebenarnya, lembaga penyedia Bimbel melayani konsumennya dengan beberapa model. Ada lembaga Bimbel yang dimodel klasikal dan ada lembaga Bimbel yang dimodel les private. Semua memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing. Tapi, mereka mempunyai visi yang sama, yaitu membantu memecahkan kesulitan belajar dan menguatkan/menambah materi belajar para peserta didik di sekolahnya. Keunggulan lembaga Bimbel yang laku dijual adalah trik khusus yang dibuat oleh mereka untuk penyelesaian soal secara cepat tepat dan tepat. Di sebagian kalangan pelajar/orang tua, lembaga Bimbel juga memiliki nilai prestise.
            Tidak bisa dipungkiri, sebagian pelaku lembaga Bimbel, terutama pengajarnya adalah guru yang juga mengajar di sekolah. Di lembaga Bimbel klasikal, para pengajar terkadang tidak sengaja ketemu/mengajar siswa yang juga diajar di sekolahnya. Sehingga, mungkin juga guru di sekolah tertentu juga menjadi tentor di Bimbel yang siswa juga kebetulan menjadi peserta didik di sekolahnya. Tapi kejadian itu bukan kerana kesengajaan dia, tapi karena mendapat kelas dari manajemen lembaga Bimbelnya. Apakah yang seperti ini dikategorikan pelanggaran oleh KPK, menurut saya yang juga pernah mengajar di Bimbel “tidak”, dengan catatan guru itu harus punya integritas dalam penilaian. 
            Sorotan KPK lebih tepat jika diarahkan pada guru yang membuka Bimbel/les private/kelompok untuk muridnya sendiri. Sebuah contoh. seperti Guru A di sekolah A, membuka layanan private/kelompok yang siswanya dari sekolah A/sebagian besar siswa di sekolah A. Ini mungkin yang perlu dibidik oleh KPK, karena ada unsur kesengajaan dan keterkaitan penilaian. Selain itu, KPK juga harus berusaha membidik lembaga Bimbel besar yang terindikasi membocorkan/memperjualbelikan soal UN atau SBMPTN tulis, jika masih ada. Fenomena kebocoran saoal UN dan SBMPTN memang mulai menghilang sejak diterapkan ujian/tes berbasis komputer. Tapi kita tetap harus terus waspada dan terus mengawasinya.
            Idealnya, seorang guru cukup mengajar di sekolahnya saja. Tapi kita harus bijaksana dalam bersikap. Rata-rata guru yang merangkap sebagai tentor di Bimbel lebih dilatarbelakangi oleh faktor ekonomi dan idealisme.  Faktor ekonomi yang dimaksud adalah karena mereka belum PNS/Guru Tetap di sekolahnya. Karena gajinya masih belum cukup, maka dia masih perlu mengais rezeki di lembaga Bimbel.
Faktor idealisme juga terjadi pada guru yang merangkap mengajar di lembaga Bimbel. Sebagai contoh adalah karena guru itu ingin tetap terpacu belajar lebih lagi. Mereka menganggap jika hanya mengajar di sekolah, maka tantangannya cenderung monoton/kurang menantang. Sedangkan di Bimbel mereka merasa tertantang untuk lebih keras belajar, karena menghadapi siswa dari multi sekolah dan multi intelektual. Saya punya teman seorang kepala sekolah yang masih tetap menjadi tentor di Bimbel dengan alasan, ingin tetap mengajar dan tidak ingin kehilangan ilmunya.
Perlu ada wacana untuk membuat regulasi/aturan yang mengawasi sistem kerja di lembaga Bimbel dengan indikator/instrumen pengawasan yang valid. Terutama agar mereka tetap konsisten sebagai lembaga yang melayani bimbingan belajar yang menekankan nilai plus kualitas pembelajaran. Jangan sampai lembaga Bimbel lebih kental “aroma bisnis”nya saja. Disinyalir ada Bimbel tertentu yang melakukan rekrutmen siswa dengan kerjasama dengan birokrasi sekolah dengan embel-embel hadiah tertentu. Bimbel akan memberikan “imbalan” tertentu jika ada oknum di sekolah tertentu bisa mengarahkan siswanya mengikuti Bimbel di lembaganya.
Pengawasan lain adalah tentang integritas penilaian para guru dan birokrasi sekolah lain yang terlibat di lembaga Bimbel. Ada seorang kepala sekolah/guru yang menjadi pengajar atau owner  lembaga Bimbel ini yang menurut saya harus diawasi integritasnya. Dinas pendidikan harus mengontrol kepala sekolah/guru yang menjadi pengajar atau owner  lembaga Bimbel. Jangan sampai ada siswa di sekolahnya yang menjadi siswa di lembaga Bimbelnya mendapatkan perhatian lebih, terutama dalam hal penilaian.
Solusi dengan cara langsung melarang kepala sekolah/guru yang menjadi pengajar atau owner  lembaga Bimbel tentunya kurang bijaksana. Tapi larangan itu menjadi sebuah keniscayaan jika terbukti terjadi pelanggaran.  Pemerintah harus tegas menindak oknum kepala sekolah/guru yang menjadi pengajar atau owner  lembaga Bimbel yang melanggar. Jika para pelanggar masih bisa dibina secara internal oleh dinas pendidikan, maka akan lebih baik. Tapi jika permasalahan itu terlalu akut dan mengarah ke tindakan korupsi, maka keterlibatan lembaga hukum, seperti KPK untuk menindaklanjutinya bukan masalah yang utopia.
Dunia pendidikan adalah dunia yang humanis, maksudnya dalam menghadapi permasalahan yang dikedepankan adalah sosialisasi dan dialog terlebih dahulu. Kalau Kemendikbud serius memasalahkan kepala sekolah/guru yang menjadi pengajar atau owner  lembaga Bimbel, maka perlu ada regulasi khusus. Buat permen yang mengatur mekanisme kerja Bimbel, termasuk jika kepala sekolah/guru terlibat di dalamnya. Langkah selanjutnya adalah sosialisasi permen sekaligus uji keterbacaan melalui dialog dengan pihak-pihak terkait. Jika permen itu sudah matang, maka segera diimplementasikan. Setelah implementasikan dalam jangkah waktu tertentu, perlu ada evaluasi tentang tingkat keefektifannya untuk perbaikan. Maka insha Allah jika langkah-langkah ini sudah dilakukan, seluruh pihak akan lebih siap mengawalnya di lapangan. Wallahua’lam.
  

* Penulis adalah Guru dan Tim Peningkatan dan Penjaminan Mutu MAN 2 Kota Malang

Tidak ada komentar: