Oleh:
Mishad Khoiri
Pagi itu kondisi pak
Ahmad kritis. Bu Ahmad segera
menghubungi anak-anaknya. Pertama, beliau menghubungi anak pertamanya, yaitu Fulan
yang berdomisili di luar kota. Ketika ditelpon, dia bilang “sebentar ma, masih
sibuk, nanti kalau sudah longgar saya ke sana”. Kemudian bu Ahmad menelpon Fulanah,
anak keduanya. Alhamdulillah, tidak lama kemudian Fulanah dan Soleh, suaminya
datang ke rumah orang tuanya.
Senin sore itu kondisi
pak Ahmad semakin kritis, nampaknya sudah masuk naza’. Bu Ahmad, Fulanah, Soleh, dan kerabat dekat lain mendampingi
sambil menuntun beliau untuk mengucapkankan kalimat “Laa Ilaaha Illallah”. Selang
sesaat terdengar suara lirih dari Soleh, “Innalillahi
wa inna ilaihi rojiun”. Pak Ahmad telah menghembuskan nafas terakhirnya.
Seluruh kerabat yang ada di tempat itu serentak mengikuti ucapan Soleh, disusul
isak tangis di antara mereka. Sore itu, kabut duka menyelimuti kediaman almarhum
pak Ahmad.
Setelah kondisi sudah
tenang, ketua RT menanyakan pada Fulanah tentang pemakaman almarhum. Fulanah
mencoba menghubungi Fulan, kakaknya lewat fitur panggilan wa guna mengabarkan
kematian ayah mereka. Panggilan diterima, dan kabar itu diterima Fulan, tapi
karena alasan sibuk Fulan baru bisa pulang Jumat malam. Setelah musyawarah
antara keluarga dan warga, maka senin malam itu juga mereka sepakat memproses
pemakaman jenazah almarhum, tanpa menunggu kedatangan Fulan. Setelah
dimandikan, dikafani, dan disholati,
sekitar pukul 20.00 malam, jenazah almarhum pak Ahmad telah rampung
dikebumikan.
Pelajaran berharga yang
dapat kita petik dari cerita tersebut adalah tentang pentingnya membekali anak
dengan pendidikan agama yang cukup. Fulan yang kurang bekal keagamaannya,
karena dulu dia sekolah umum saja, menjadikannya kurang paham tentang “birrul
walidain”(berbuat baik pada orang tua).
Dia lupa, bahwa kesuksesan karirnya berkat jasa dan ridhonya orang tua. Jika Fulan paham
tentang pelajaran tersebut, maka dia segera izin dari kerja dan bergegas pulang
ikut merawat jenazah bapaknya untuk penghormatan terakhir kalinya di dunia.
Birrul walidain adalah berbuat baik kepada kedua orang tua serta mentaati
perintahnya (kecuali ma’siat) dan mendoa’kannya apabila keduanya telah wafat. Sebagaimana
firman Allah: “Sembahlah Allah dan
jangan kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada
kedua orang tua Ibu Bapak”.(An Nisa’:36).
Saking pentinya birrul walidain, amalan ini disarankan
dilakukan, baik ketika orang tua kita masih hidup atau sudah mati. Beberapa
amalan yang dianjurkan oleh Islam kalau orang tua kita masih hidup adalah: Pertama. Mentaati mereka selama tidak mendurhakai
Allah. Mentaati kedua orang tua hukumnya wajib. Haram hukumnya mendurhakai
keduanya, kecuali apabila mereka menyuruh untuk menyekutukan Allah atau
mendurhakai-Nya. “Tidak ada ketaatan
untuk mendurhakai Allah. Sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam melakukan
kebaikan.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Kedua. Berbakti dan merendahkan diri di hadapan orang
tua. Firman Allah: “Dan Rabb-mu telah
memerintahkan supaya kami jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu
berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di
antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu,
maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan
janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang
mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang
dan ucapkanlah: ‘Wahai, Rabb-ku, kasihilah keduanya sebagaimana mereka berdua
telah mendidik aku waktu kecil.” (QS. Al-Israa’: 23-24)
Ketiga.
Meminta izin kepada mereka sebelum berjihad dan untuk urusan lainnya. Seorang
laki-laki datang menghadap Rasulullah dan bertanya: “Ya, Rasulullah, apakah aku boleh ikut berjihad?” Beliau balik bertanya:
“Apakah kamu masih mempunyai kedua orang tua?” Laki-laki itu menjawab: “Masih.”
Beliau bersabda: “Berjihadlah (dengan cara berbakti) kepada keduanya.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Keempat. memberikan harta kepada orang tua.
Rasulullah pernah bersabda kepada seorang laki-laki ketika ia berkata: “Ayahku
ingin mengambil hartaku.” Nabi bersabda: “Kamu dan hartamu milik ayahmu.” (HR.
Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah).
Kelima. Tidak mencela orang tua/tidak menyebabkan mereka dicela
orang lain. Rasulullah bersabda: “Termasuk
dosa besar adalah seseorang mencela orang tuanya.” Para Sahabat bertanya: “Ya,
Rasulullah, apa ada orang yang mencela orang tuanya?” Beliau menjawab: “Ada. Ia
mencela ayah orang lain kemudian orang itu membalas mencela orang tuanya. Ia
mencela ibu orang lain lalu orang itu membalas mencela ibunya.” (HR.
Bukhari dan Muslim).
Setelah mereka meninggal dunia, maka
kewajiban kita pada orang tua adalah: Pertama.
Menshalati dan mendoakan mereka. Setelah
menshalati jenazahnya, kita juga dianjurkan mendo’akan keduanya. Seorang anak
hendaknya lebih sering mendo’akan kedua orang tuanya setelah mereka meninggal
daripada ketika masih hidup. Apabila anak itu mendo’akan keduanya, niscaya
kebaikan mereka berdua akan semakin bertambah, sabda Rasulullah: “Apabila manusia sudah meninggal, maka
terputuslah amalannya kecuali tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat,
dan anak shalih yang mendo’akan dirinya.” (HR.Muslim).
Kedua. Menunaikan janji orang tua. Hendaknya
seseorang menunaikan wasiat kedua orang tua dan melanjutkan secara
berkesinambungan amalan-amalan kebaikan yang dahulu pernah dilakukan keduanya.
Sebab, pahala akan terus mengalir kepada mereka berdua apabila amalan kebaikan
yang dulu pernah dilakukan dilanjutkan oleh anak mereka.
Ketiga. Memuliakan teman orang tua.” Ibnu Umar
berkata: “Sungguh dulu ayahnya teman Umar bin al-Khaththab dan aku pernah
mendengar Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya
bakti anak yang terbaik ialah seorang anak yang menyambung tali persahabatan
dengan keluarga teman ayahnya setelah ayahnya tersebut meninggal.” (HR.Muslim)
Keempat. Menyambung tali silaturahim dengan
kerabat orang tua. Hal ini berdasarkan hadits yang telah disebutkan dan sabda
beliau: “Barang siapa ingin menyambung
silaturahim ayahnya yang ada di kuburannya, maka sambunglah tali silaturahim
dengan saudara-saudara ayahnya setelah ia meninggal.” (HR. Ibnu Hibban).
Mengajarkan birrul walidain kepada anak kita lebih efektif dilakukan dengan
memberikan keteladanan sikap kita terhadap orang tua kita/ kakek nenek mereka.
Itu bisa kita lakukan dengan cara kita ajak mereka untuk silaturrahim ke rumah
kakek nenek mereka/ ayah ibu kita. Kita ajarkan sikap yang baik dengan cara
memberikan oleh-oleh, sopan santun dan menghormati ayah ibu kita/ kakek nenek
mereka. Kita ajak mereka ziarah kubur jika ayah ibu kita/ kakek nenek mereka
sudah meninggal. Semoga Allah senantiasa menjadikan kita dan anak-anak kita
menjadi hamba Allah yang senantiasa mengamalkan “birrul walidain”. Aamiin. Wallahu
a’lam.