Oleh:
Mishad*
Membaca tulisan Suyadi di Opini Jawa Pos
(Jum’at, 11/1/2013) yang berjudul
“Kurikulum Baru, Berubah Tanpa Galau” membuat saya tertarik untuk menanggapi.
Suyadi, terkesan menerima saja produk Kemendikbud yang sampai kini masih
menjadi pro dan kontra. Pengalaman dibubarkannya RSBI oleh MK setelah sekian
lama sudah diimplementasikan di lapangan hendaknya menjadi pelajaran berharga.
Sehingga kurikulum 2013 yang masih baru diuji publikan pada akhir 2012 ini memang
harus dikritisi, sehingga pengalaman buruk terhadap pembubabaran RSBI tidak
terulang lagi pada kurikulum baru. Sebagaimana yang pernah di jelaskan oleh
Musliar Kasim (Wamendikbud), setelah pertemuan dengan Wapres Boediono pada tanggal
1/11/2012 di kantor Wapres, bahwa kurikulum baru dimaksudkan untuk mempertajam soft skill siswa. Penanaman nilai dan sikap mulia sebagai warga
negara, seperti toleransi dan empati, mendapat porsi lebih besar. Kurikulum
baru juga akan menerapkan standar kompetensi lulusan pada tiga aspek, yakni
sikap, keterampilan, dan pengetahuan. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan,
Mohammad Nuh, menambahkan bahwa kurikulum baru yang tengah menjalani fase uji
publik ini bertujuan utama membangun kemampuan berpikir anak secara ilmiah. Dia
yakin bahwa ini akan berdampak baik mengingat banyaknya laboratorium alami yang
dapat dieksplorasi oleh anak-anak.
Dalam banyak kesempatan, Mendikbud dan
jajarannya menyatakan bahwa perubahan ini perlu dilakukan untuk menjawab
tantangan zaman yang terus berubah agar anak-anak mampu bersaing pada masa
depan. Namun, dari enam mata pelajaran sekolah dasar yang ditetapkan
menunjukkan ketakseimbangan antara mata pelajaran yang berorientasi pada masa
lampau, yang lebih menekankan pada pewarisan nilai-nilai, dan mata pelajaran
yang membentuk pola pikir murid untuk menghadapi masa depan yang sarat dengan
nalar dan konsep saintifik.
Mata pelajaran Agama, Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), serta Bahasa Indonesia selain mengawetkan
”pusaka” bangsa, bersama Matematika adalah rumpun pengetahuan yang bersifat
deduktif yang menuntun berpikir aksiomatis apriori dari dalil-dalil yang umum.
Sementara sains (seperti IPA dan IPS) adalah pengetahuan ”ilmiah” yang
terbentuk dari model berpikir induktif aposteriori, bertolak dari fakta-fakta
empirik yang partikular. Ketakseimbangan ini akan mempengaruhi alur dan
kekuatan berpikir serta nalar kritis anak.
Bangsa Indonesia yang masih diliputi
alam pikiran mitis dan mistis kiranya perlu pendidikan yang menumbuhkan budaya
menalar secara saintifik sejak dini. Oleh sebab itu, mata pelajaran sains (IPA
dan IPS) di SD, khususnya di kelas lanjut, seharusnya berdiri sendiri, tak
diintegrasikan ke dalam mata pelajaran lain. Sementara pada kelas I-III SD
semua materi dan nilai-nilai mata pelajaran cukup disampaikan dalam tiga mata
pelajaran: Membaca, Menulis, dan Berhitung.
Pengintegrasian IPA dan IPS semakin
menampakkan kerancuan ketika Mendikbud menyatakan—dalam pidato peringatan Hari
Guru Nasional 2012—bahwa Kurikulum 2013 menggunakan pendekatan berbasis sains,
yaitu mendorong siswa agar mampu lebih baik dalam melakukan observasi,
bertanya, bernalar, dan mengomunikasikan (mempresentasikan) dengan obyek
pembelajaran fenomena alam, sosial, seni, dan budaya.
Sementara ketika kini secara resmi diuji publikan ada
beberapa yang mengkritisi bahkan menolak dengan diterapkannya kurikulum baru
ini. Dewan Pendidikan Daerah Istimewa Yogyakarta menilai bahwa draf kurikulum 2013 memiliki banyak kelemahan.
Ketua Dewan Pendidikan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Wuryadi mencatat
sejumlah kelemahan dari isi kurikulum yang rencananya akan mulai
diimplementasikan pada tahun ajaran mendatang itu.
Kelemahan pertama, kurikulum 2013 bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional karena penekanan pengembangan kurikulum hanya didasarkan pada orientasi pragmatis. Selain itu, kurikulum 2013 tidak didasarkan pada evaluasi dari pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 sehingga dalam pelaksanaannya bisa membingungkan guru dan pemangku pendidikan.
Kelemahan pertama, kurikulum 2013 bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional karena penekanan pengembangan kurikulum hanya didasarkan pada orientasi pragmatis. Selain itu, kurikulum 2013 tidak didasarkan pada evaluasi dari pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 sehingga dalam pelaksanaannya bisa membingungkan guru dan pemangku pendidikan.
Saat ini, KTSP saja baru menuju uji coba
dan ada beberapa sekolah yang belum melaksanakannya.Bagaimana bisa, kurikulum
2013 ditetapkan tanpa ada evaluasi dari pelaksanaan kurikulum
sebelumnya.Kelemahan lainnya adalah pemerintah seolah melihat semua guru dan
siswa memiliki kapasitas yang sama dalam kurikulum 2013. Guru juga kurang
dilibatkan langsung dalam proses pengembangan kurikulum 2013. Di kurikulum 2013
ini juga tidak ada keseimbangan antara orientasi proses pembelajaran dan hasil.
Keseimbangan sulit dicapai karena kebijakan ujian nasional (UN) masih
diberlakukan dalam kurikulum 2013.
UN hanya mendorong orientasi pendidikan pada hasil dan kurang
memperhatikan proses pembelajaran. Hal ini berdampak pada dikesampingkannya
mata pelajaran yang tidak diujikan dalam UN.Padahal, mata pelajaran non-UN juga
memberikan kontribusi besar untuk mewujudkan tujuan pendidikan.
Kelemahan
penting lainnya adalah tentang pengintegrasian mata pelajaran Ilmu Pengetahuan
Alam (IPA) dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dalam mata pelajaran Bahasa
Indonesia untuk jenjang pendidikan dasar. Langkah ini tidak tepat karena rumpun
ilmu mata pelajaran-mata pelajaran itu berbeda.
Sejumlah praktisi pendidikan berpendapat bahwa kurikulum 2013 belum diperlukan karena perlu pengkajian lebih lanjut serta sosialisasi secara luas kepada masyarakat agar dapat memahami perubahan kurikulum tersebut. Perlu waktu untuk sosialisasi kepada masyarakat agar dapat mengerti serta memahaminya, terutama bagi masyarakat yang berkecimpung di dunia pendidikan. Pergantian kurikulum ini membuat masyarakat panik sehingga perubahan kurikulum perlu waktu untuk dikaji terlebih dahulu serta diikuti dengan perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) dan sosial masyarakat.
Sejumlah praktisi pendidikan berpendapat bahwa kurikulum 2013 belum diperlukan karena perlu pengkajian lebih lanjut serta sosialisasi secara luas kepada masyarakat agar dapat memahami perubahan kurikulum tersebut. Perlu waktu untuk sosialisasi kepada masyarakat agar dapat mengerti serta memahaminya, terutama bagi masyarakat yang berkecimpung di dunia pendidikan. Pergantian kurikulum ini membuat masyarakat panik sehingga perubahan kurikulum perlu waktu untuk dikaji terlebih dahulu serta diikuti dengan perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) dan sosial masyarakat.
Banyak pihak menilai perubahan kurikulum
tanpa kejelasan waktu ini justru berdampak negatif pada pengembangan kualitas
pendidikan.Idealnya, kurikulum dibiarkan berjalan paling tidak selama 10 tahun
agar ada hasil yang diperoleh.Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang
hanya berumur enam tahun masih belum dapat dilihat hasilnya secara signifikan.
Umumnya, negara lain membiarkan satu kurikulum berjalan selama 10 hingga 15
tahun agar pemetaan hasilnya terlihat jelas.
Kurikulum kita, baru dua tahun diganti. Dari kurikulum tahun 2004 ke KTSP 2006 masih
2 tahun. Sekarang dari 2006 rencananya ke Kurikulum 2013, juga baru enam tahun.
Apa yang bisa dilihat? Dampaknya apa? Padahal biaya untuk penyusunan kurikulum dan
pirantinya cukup besar.Berdasarkan data yang dipegang oleh Panja Kurikulum dari
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, anggaran kurikulum baru ini mencapai Rp
684,4 milyar.
Di Singapura yang menjalankan konsep
kurikulum yang tidak berbeda dengan Indonesia mampu menempati posisi keempat
berdasarkan hasil riset dari Pearson, PISA dan TIMSS.Sementara Indonesia justru
jauh terpuruk di peringkat bawah terkait kualitas pendidikan.Padahal anggaran
pendidikan di Indonesia mencapai 20 persen dari Anggaran Pendapatan Belanja
Negara (APBN). Jika berkaca pada besarnya anggaran ini, maka seharusnya
kualitas pendidikan di tanah air bisa jauh lebih
baik dari Singapura yang anggaran pendidikannya tidak sampai 20 persen dari
anggaran nasional.Anggaran di Singapura memang tidak besar. Karena untuk
perubahan kurikulum itu mereka biasanya menunggu 15 tahun.Pemetaan hasil dari
keberhasilan kurikulum di Singapura berfokus pada peningkatan kualitas guru.
Seyognya pemerintah Indonesia harus
belajar dari problem dasar dari piranti pendidikan yang utama, yaitu kualitas
guru. Bagaimanapun peran guru dalam proses pendidikan adalah yang utama,
sebagaimana pendapat ulama’ hujjatul
islam Imam Al Ghozali yang mengatakan, bahwa guru adalah komponen yang paling
menentukan dalam proses keberhasilan pendidikan bagi muridnya.Di Indonesia, Pemetaan
kualitas guru dan hasilnya belum kelihatan, tetapi sudah ribut ganti
kurikulum.Jangan heran kalau ada yang mengindikasikan pergantian kurikulum
tidak lebih dari pemborosan anggaran pendidikan. Padahal pergantian kurikulum
pendidikan tidak mesti tergopoh secepat itu, seperti di Indonesia yang masih 6 tahun, bakan 2 tahun sudah mau
diganti.
Prof. Dr. Mujamil Qomar, seorang ahli
filsafat pendidikan lebih ekstrem lagi menyikapi tentang esensi kurikulum
pendidikan. Dalam seminar pendidikan di Malang, dia menyatakan, bahwa seringnya
ganti kurikulum itu kurang penting, bangsa Indonesia membutuhkan pembangunan
kesadaran pendidikan, bukan kurikulum pendidikan yang harus gonta ganti.
Orang-orang hebat sekaliber HAMKA, Ayip Rosidi, Soekarno, dan beberapa yang
lain lahir dari tingkat kesadaran yang tinggi tentang pendidikan.Saya agak
sependapat dengan pendapat tersebut, karena berdasar pengalaman yang saya
ketahui pergantian kurikulum tidak membawa dampak yang fundamental bagi
pendidikan, tetapi hanya lebih dari sekedar lipstik belaka. Jangan heran kalau
ada yang berpendapat, bahwa ganti kurikulum adalah berubah nama baru tapi
konsep jadul (jaman dulu). Wallohua’alam.
*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar