Oleh:
Mishad Khoiri
Meskipun
masih berumur kurang dari seminggu, waktu itu anak keduaku yang masih bayi sudah
harus kutinggal. Maklum, waktu itu aku harus menjenguk ibuku yang sedang sakit di
Lamongan. Bahkan, ketika terakhir aku tinggal, posisi ibuku sedang opname yang
ke sekian kalinya di paviliun RSUD dr. Soegiri Lamongan. Alhamdulillah, aku
sudah sempat berkomunikasi dan menemani ibuku bermalam di rumah sakit bersama
dengan 4 saudaraku. Mungkin karena tidak tega melihat kondisi istriku yang sedang
punya bayi dan bermalam hanya bertiga dengan anak pertamaku yang masih berumur
4 tahun, hingga saudara-saudaraku di Lamongan memintaku untuk pulang ke Malang.
“Mas, pulang saja! Kasihan mbak Anik
merawat bayinya sendiri” ucap Mas’ulah adik perempuanku. “Ya … nanti agak sore-sore
dikit lah” jawabku sambil menghela nafas. Memang jujur saja ada perasaan berat
antara aku harus menunggu ibuku di rumah sakit Lamongan dan menemani keluargaku
yang saat itu sangat membutuhkan kehadiranku di Malang. Tetapi karena
permintaan dan ijin dari saudara-saudaraku,
maka sore itu, aku jadi pulang ke Malang. Di benakku hanya terpikir liburan
pekan depan aku masih bisa menjenguk ibuku lagi.
Bus
Dali Prima jurusan Bojonegoro- Malang melesat cukup kencang ke Malang membawaku
pulang. Sekitar 3 jam aku sudah sampai di Malang, bertepatan dengan adzan isya’
berkumandang. Setelah menyapa istri dan
anak-anakku aku kemudian mengambil air wudhlu. serta bergegas untuk sholat
berjama’ah di mushola dekat rumah.
***
Capek
sekali malam itu …..mungkin karena kelelahan
habis perjalanan jauh, tapi malam ini terasa lain. Perasaanku tidak
enak. Di tempat tidur, aku masih membolak balikan tubuhku ke samping kanan dan
ke kiri. Tidurku menjadi sulit, mungkin karena perasaan bersalah meninggalkan
ibuku yang sedang opname di rumah sakit Lamongan. Tapi karena capek, entah pukul berapa akhirnya
aku pun terlelap juga.
***
‘Kring……
kring ….. kring …. Terdengar nada ringtone Hp-ku. Aku terperanjat dari
tidur. Antara sadar dan tidak aku menyambar Hp yang ada di sebelah bantalku. “Assalamu’alaikum
….. Assalamu’alaikum” ucapku sambil
tersengal-sengal karena bangun dari tidur yang kurang nyenyak. “Wa’alaikumsalam
kak” jawab adikku Misbahul Ulum pelan. “Ada apa kok malam-malam telpon” Tanyaku
sembari duduk bersandar di dinding kamar. “Kak jangan kaget ya, ibu sudah tidak
ada lagi” ucap adikku. “Tidak ada, maksudnya apa? Tanyaku lagi. “Maksudnya ya
sudah meninggal kak” sahut adikku lagi. “Innalillahi
Wainna Ilaihi Rooji’uun” jawabku lirih. Mendengar kabar itu aku seperti
mimpi dan seolah tidak siap menghadapi
kenyataan. Mungkin ini adalah jawaban dari perasaanku yang tidak enak tadi.
Pandanganku menerawang jauh. Ingat dosa-dosaku terhadap ibuku, termasuk tidak
menemani beliau di saat ajal menjemput.
Aku
berdiri dan bergegas keluar dari kamar tidur. Kulirik jam di dinding, ternyata
sudah pukul 02.20 dini hari. Kemudian aku ke kamar mandi dan sholat malam.
Setelah membangunkan istriku dan menceritakan tentang telpon adikku, istriku
sempat kaget. Saat itu juga aku pamitan
untuk ta’ziah ke Lamongan. Istriku
membantu mempersiapkan bekal pakaian di tasku dan berpesan agar aku hati-hati
di perjalanan.
Tepat
pukul 03.00 dini hari aku sudah berangkat dengan mengendarai sepeda motor. Sambil
terus menggeber motorku, di hadapanku hanya ada satu tujuan, yaitu ibu … ibu
… dan ibu. Suasana dini hari yang dingin
dan gelap seakan sirna. Sepeda motor yang saya kendarai serasa ringan sehingga
melesat cepat sekali membawaku pergi ke Lamongan untuk segera menemui ibuku.
Perasaan bersalahku semakin menjadi-jadi. Ibarat nasi sudah menjadi bubur, peristiwa kematian itu sudah berlalu. Kini
ibuku sudah tiada. Untung pikiran rasionalku masih mendominasi. Sehingga aku
terus beristighfar di saat menyetir motorku sambil selalu berpikir positif. Aku
yakin, masih banyak cara yang bisa saya darma baktikan untuk ibuku walau beliau
sudah meninggal.
***
Seperti
tidak terasa, perjalananku dari Malang ke Lamongan hanya sekitar 2,5 jam,
termasuk transit sholat subuh di masjid markas brimob di Watukosek Mojokerto.
Sehingga kira-kira pukul 05.30-an, aku sudah tiba di rumah duka Lamongan.
“Ibu di mana?”
….. “Ibu di mana?” …… teriakku di kerumunan sejumlah orang di depan
rumah duka. Kak Munib, saudara tertuaku yang kutemui hanya menyalamiku sembari
memberi isyarat telunjuk, seolah memberitahuku, kalau jasad ibuku masih
diistirahatkan di dalam rumah. Aku bergegas ke dalam rumah. Di ruang tamu
terlihat sesosok jasad tergolek membujur ke arah utara-selatan tertutup kain
jarik. Aku sudah tidak kuasa menahan isak tangis. Mulutku memang tidak bersuara,
tapi air mataku seolah mengalir dengan sendirinya. Ku buka kain penutup muka
ibuku, kuciumi wajahnya dengan berlinang air mata. Kudekati telinga beliau
sambil kuucapkan kata-kata lirih “Ibu .. Maafkan aku yang tidak menemanimu di
detik-detik sakratul maut”. Entah mengapa, aku serasa harus mengucapkan
kata-kata itu. Di benakku, sepertinya ibuku masih hidup dan bisa mendengar serta merestui permohonan
maafku. Aku merasa plong setelah menyampaikan kalimat itu. Mungkin karena
perasaan bersalahku mulai terkurangi.
***
Sinar
matahari mulai terik. Kerumunan pelayat di
depan dan sekitar rumah duka semakin banyak. Para pelayat itu mulai dari para
keluarga, tetangga, dan handai taulan. Suara tahlil silih berganti dilantunkan
oleh para pelayat sambil menunggu
kerabat jauh dan Kyai Azis yang belum datang. Setelah beberapa waktu, tampak Lek
Rofi’an bersama seseorang yang tak lain adalah KH. Abdul Azis Khoiri. Kyai Azis
diminta khusus memberi ceramah dan menjadi imam sholat mayit untuk almarhumah
ibuku. Kyai Azis memang dekat dengan keluargaku, karena paman dan abaku pernah sama-sama
mondok di Ponpes Langitan dengan beliau. Wejangan Kyai Azis yang masih saya
ingat pada saat ceramah adalah tentang nukilan hadits Rasulullah Shallalohu ‘Alaihi Wasallam. Bunyi hadits
itu adalah “Apabila seorang manusia (anak Adam)
meninggal maka putuslah segala amalnya, kecuali tiga perkara, yaitu sedekah
jariyah atau ilmu yang bermanfaat sesudahnya atau anak yang saleh yang mendo’akannya”.
Meskipun
kesedihanku hari itu mencapai puncaknya, tapi di benakku ada perasaan bangga
dan bahagia. Karena ketika kyai Azis bertanya kepada pelayat apakah ibu
Rufa’iyah ini orang baik? Maka para pelayat serempak menjawab “baik”. Tidak hanya
karena jawaban pelayat itu saja, tapi juga karena ratusan orang yang penuh
sesak di masjid kampungku untuk men-sholati beliau. Aku berharap barokah do’a
mereka menjadikan almarhumah ibuku meninggal dengan predikat khusnul khotimah.
Saat
menuju pekuburan, kuangkat keranda mayat ibuku bersama saudara dan para
kerabatku. Lantunan dzikir “La Ilaaha
Illallah …. La ilaaha Illallah …. bergemah meyeruak menambah sakralnya
prosesi pemakaman ibuku.
Di
tempat pemakaman, kulihat lubang mengangah ukuran 1 kali 2 meter telah siap.
Aku,bertiga dengan kakak dan adikku bergantian melompat masuk. Setelah semuanya
sudah siap, jasad almarhumah ibuku yang sudah terbalut kain kafan itu
diturunkan dari keranda mayat oleh kerabatku yang lain. Kami bertiga dengan
sigap menerima jasad yang sudah mulai kakuh itu. Kami baringkan jasad ibuku itu..
Kuhadapkan wajah beliau ke kiblat,
kubuka sedikit kain kafan di muka beliau dan kuletakkan pipi kanannya di tanah pekuburan
itu menyatu dengan bumi. Lalu, aku
adzani dan setelahnya aku iqomati.
Perasaanku
jadi tak karuan lagi ketika gundukan-gundukan tanah itu dijatuhkan dan
dilongsorkan beramai-ramai oleh para pelayat ke lubang kubur. Melihat peristiwa
itu kesedihanku semakin menjadi. Aku merasa dipisahkan untuk selama-lamanya
dengan ibuku yang kini telah terkubur oleh gundukan tanah.
Iman
ini memang kadang menurun terkadang juga meningkat. Mungkin karena imanku sudah
meningkat, maka hati yang sudah tidak karuan tadi lambat laun mulai stabil. Aku
masih ingat sabda nabi yang disampaikan Kyai Azis, bahwa ada amalan yang bisa
membantu orang tua yang sudah meninggal, yaitu beramal yang pahalanya diniatkan
untuk almarhumah dan anak saleh yang mau mendo’akan almarhumah. Aku semakin
sadar, jika kesedihan berlarut-larut itu bukanlah penyelesaian, maka mulai
detik itu juga aku berusaha untuk berbakti pada almarhumah ibuku melalui dua
jalan tadi, yaitu beramal yang pahalanya diniatkan untuk beliau dan
mendo’akannya. Entahlah, hati ini punya
keyakinan yang kuat kalau ibuku meninggal khusnul
khotimah. Senyum yang terpancar dari wajahnya ketika aku membuka kain
penutup wajahnya, menambah kuat keyakinanku itu. Ya Allah, ampunilah dosa-dosa
beliau, terimalah segala amal perbuatan
beliau, dan tempatkanlah beliau di tempat yang mulia di sisi-Mu Ya Allah, Amiin …. Amiin Ya Rabbal Aalamiin. Wallohua’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar