Oleh:
Mishad Khori
Mobil antik berwarna biru tua buatan
asli Jepang itu meluncur pelan. Pak Rudi
(sopir), saya, dan Pak Soedarmanto yang ada di dalam mobil itu sedang asyik
dalam perbincangan. Pembicaraan berkisar seputar krisis moneter yang melanda
Indonesia saat itu. “Kata siapa Indonesia itu krisis, lihat mas kendaraan
lalu lalang di jalan begitu banyak”
kata pak Darmanto. “Apa hubungannya kendaraan lalu lalang dengan krisis
moneter pak? Tanya saya polos. “Kalau kendaraan masih banyak berlalu lalang itu
menandakan ekonomi di negara ini masih berjalan
lancar” sahut pak Darmanto. Saya dan pak Rudi hanya manggut-manggut saja
mendengar pendapat pak Soedarmanto yang memang seorang ahli ekonomi. Pak Soedarmanto
ini adalah seorang guru besar sosial ekonomi pertanian Universitas Brawijaya
yang saat itu menjadi team leader saya
ketika bekerja di konsultan sosial lingkungan Urban Development Project (UDP) relasi Bappeda Kota Malang pada
periode tahun 1999 – 2000 silam.
Menurut saya ada benarnya apa yang
disampaikan oleh sang professor, bahwa ekonomi Indonesia saat itu masih tetap
berjalan, walaupun sedikit terganggu karena nilai tukar rupiah terhadap dollar
yang melorot tajam. Bahkan di beberapa daerah dengan fluktuasi nilai dollar
yang melejit mereka malah ketiban
rezeki berlipat, terutama mereka yang berkecimpung sebagai produsen ekspor.
Bapak saya sendiri yang saat itu petambak udang windu mendapatkan keuntungan
yang fantastis dengan harga per kilonya mencapi lebih dari 100 ribu rupiah.
Tentunya nasib mujur petambak udang windu berbalik 180 derajat dengan para
usahawan/konsumen yang mengandalkan bahan atau barang impor, mereka cukup
meradang dengan melejitnya nilai dollar yang saat itu mencapai klimaksnya sepanjang
sejarah ekonomi Indonesia.
Bagi saya, peristiwa krisis moneter yang
mendera Indonesia di periode 1997 – 2000-an itu menjadi pelajaran tersendiri.
Saya melihat ketahanan ekonomi masyarakat kelas bawah kita saat itu cukup
stabil. Stabil bukan berarti mereka tetap bertahan sejahtera, tapi stabil dalam
arti tahan menderita dihimpit oleh permasalahan ekonomi sepelik apapun. Mereka
yang ada di kelas menengah ke atas pada saat itu terbelah menjadi dua kelompok.
Kelompok pertama adalah mereka yang kelimpungan karena usaha mereka yang
bangkrut atau kehabisan modal. Kelompok kedua adalah yang memanfaatkan
kesempatan dalam kesempitan, yaitu para penimbun barang dan penyalahguna deliver order (do) yang diberikan
pemerintah untuk meraup keuntungan yang sebanyak-banyaknya.
Dihubungkan dengan apa yang terjadi
dengan kondisi ekonomi Indonesia kini, maka apa yang dulu terjadi terhadap
ekonomi Indonesia adalah masih mirip dengan yang terjadi sekarang. Kemiripannya
adalah mayoritas kelompok miskin masih stabil dengan tahan menderita, kelompok
menengah yang mulai tumbuh, dan minoritas kelompok kaya tetap menjadi penguasa
ekonomi Indonesia. Ada yang mengatakan,
80 persen modal ekonomi di Indonesia hanya berputar di 200 pengusaha kelas atas
saja. Kondisi ini muncul akibat bangunan ekonomi konglemerasi sebagai warisan
sistem ekonomi orde baru yang hingga kini masih mengakar.
Salah besar kalau ada yang mengatakan
Indonesia adalah negara miskin. Lihat saja, rumah mewah banyak bertebaran di
mana-mana, mobil mewah lalu lalang memacetkan jalan, beberapa transaksi
milyaran rupiah antar rekening nasabah bank kerap kali tercatat tiap hari oleh
PPATK. Belum lagi bicara tentang sumber daya alam di Indonesia yang melimpah.
Rempah-rempah, lahan pertanian yang membentang, banyaknya perkebunan, laut yang
begitu luas, minyak bumi, emas, dan barang tambang lain yang begitu banyak
terkandung di bumi Indonesia.
Lalu sebenarnya permasalahan apa yang
menjangkiti ekonomi Indonesia. Jawabannya adalah karena belum adanya keadilan
ekonomi. Modal yang berputar di negeri ini sebagian besar masih dikuasai oleh beberapa
gelintir orang. Rumah mewah yang banyak berterbaran di sana sini ternyata hanya
milik beberapa orang yang sama. Parade mobil mewah di jalan-jalan itu ternyata
milik beberapa orang saja. Rekening gendut yang tercatat di PPATK hanya
dimiliki oleh para pengusaha atau pejabat yang disinyalir terlibat korupsi.
Walaupun bersemboyan ekonomi pancasila namun dalam praktiknya ekonomi Indonesia
lebih mencerminkan ekonomi kapitalis. Siapa yang kuat modalnya, maka dia yang
akan menguasai ekonomi Indonesia.
Ketidakadilan ekonomi Indonesia
diperparah dengan mewabahnya penyakit korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dana yang
dikorupsi tidak hanya dana APBN, tapi juga dana pinjamana luar negeri, bahkan
dana bantuan bencana. Fakta yang saya temui sendiri adalah ketika saya bekerja
di perusahaan konsultan relasi pemerintah pada tahun 1999 silam. Nilai kontrak
yang tercatat dengan realisasinya tidak sama, itu pun masih di potong lagi.
Pengalaman itu terulang lagi ketika saya kerja kontrak di konsultan pengawasan
dana bank dunia untuk sekolah-sekolah pada tahun 2003. Rata-rata sekolah yang
menerima bantuan nilainya disunat, termasuk gaji saya. Tidak hanya itu, untuk
membelanjakan dana bantuan pun sekolah sudah diarahkan untuk membeli barang
yang sudah disediakan oleh relasi pimpronya. Jika kini saya mendengar kasus
Wisma Atlet, Hambalang, Simulator SIM, dan lain-lain, maka saya sudah tidak heran lagi kalau memang terjadi
penyimpangan dana pemerintah.
Hal lain yang menjadi masalah ekonomi di
Indonesia semakin berat adalah tekanan politik asing. Sampai detik ini saya
tidak habis pikir tentang langkahnya BBM di Indonesia. Menurut beberapa sumber
konsumsi BBM kita perharinya kekurangan 300 ribu barel dan itu harus kita
impor. Kesimpulannya kita masih mengimpor BBM. Tapi fakta menunjukkan
ladang-ladang minyak bumi kita masih banyak yang dikontrak oleh
perusahaan-perusahaan asing, termasuk Blok Cepu yang monumental itu jatuh
kontrak eksplorasinya ke Epson Mobile. Sampai kapan Free Port menguasai tambang
emas dan tembaga di Tembaga Pura? Kita semua tahu, bahwa kekayaan yang dikeruk
oleh perusahaan asing tersebut sangat besar dari bumi Papua. Fenomena di atas
menunjukkan tekanan politik masih menghantui negeri ini yang pada akhirnya
menggerogoti ekonomi Indonesia.
Fakta-fakta tersebut menunjukkan sistem
ekonomi Indonesia dalam praktiknya masih jauh dari ekonomi Pancasila yang
memiliki ciri keadilan sosial. Hal ini terjadi
dimungkinkan karena piranti ekonomi Pancasila belum terjabarkan secara rinci
dalam undang-undang maupun peraturan pemerintah. Kelemahan tersebut juga tidak
lepas dari piranti ekonomi Pancasila yang merupakan buatan manusia yang tidak
lepas akan khilaf. Selain itu, pengaruh
kapitalisme dunia menjadikan implementasi ekonomi Pancasila di Indonesia
menjadi semakin bias. Ditambah lagi kesadaran warga tentang ekonomi kerakyatan
dalam implementasinya yang masih rendah.
Oleh karena itu diperlukan sistem
ekonomi alternatif yang illahiyah,
yaitu sistem ekonomi Islam. Keadilan
sosial yang diemban oleh sistem ekonomi Islam mempunyai nilai lebih karena
bersumber dari Al Qur’an yang merupakan produk samawi. Alloh Subhanahu
Wata’ala sebagai pencipta manusia tentunya lebih tahu tentang bagaimana
aturan hidup yang harus dilakukan oleh manusia, termasuk dalam kehidupan ber-ekonomi.
Dalam rangka mewujudkan cita-cita keadilan sosial ekonomi, Islam secara tegas
mengecam konsentrasi aset kekayaan pada sekelompok tertentu dan menawarkan
konsep zakat, infaq, shodaqoh, waqaf dan institusi lainnya, seperti pajak, jizyah, dharibah, dan sebagainya.
Sebagaimana
Alloh berfirman dalam Al-Qur’an surat Al Hasyr ayat 7: “Supaya harta itu
tidak beredar di kalangan orang kaya saja di antara kamu” dan surat Al
Ma’arij ayat 24 “Dan orang-orang yang
dalam hartanya tersedia bagian tertentu (hak fakir miskin, baik peminta-minta maupun yang
orang miskin malu meminta-minta)”. Berdasarkan dua ayat tersebut,
maka Islam telah mengajarkan prinsip-prinsip keadilan dan pemerataan dalam system
ekonominya.
Menurut
Agustianto, seorang ekonom menyatakan, bahwa konsep pertumbuhan ekonomi dalam
Islam berbeda dengan konsep pertumbuhan ekonomi kepitalisme yang selalu
menggunakan indikator PDB (Produk Dosmetik Bruto) dan perkapita. Dalam Islam,
pertumbuhan harus seiring dengan pemerataan. Tujuan kegiatan ekonomi, bukanlah
meningkatkan pertumbuhan sebagaimana dalam konsep ekonomi kapitalisme. Tujuan
ekonomi Islam lebih memprioritaskan pengentasan kemiskinan dan pengurangan
pengangguran.
Karena
itu, Islam menekankan keseimbangan antara petumbuhan dan pemerataan.
Pertumbuhan bukan menjadi tujuan utama, kecuali dibarengi dengan pemerataan.
Dalam konsep Islam, pertumbuhan dan pemerataan merupakan dua sisi dari sebuah
entitas yang tak terpisahkan, karena itu keduanya tak boleh dipisahkan. Berdasarkan
prinsip ini, maka paradigma tricle down effect, yang dikembangkan
kapitalisme dan pernah diterapkan di Indonesia selama rezim orde baru,
bertentangan dengan konsep keadilan ekonomi menurut Islam.
Selanjutnya,
sistem ekonomi kapitalis dicirikan oleh menonjolnya peran perusahaan swasta (private
ownership) dengan motivasi mencari keuntungan maksimum, harga pasar akan
mengatur alokasi sumberdaya, dan efisiensi. Namun sistem ini selalu gagal dalam
membuat pertumbuhan dan pemerataan berjalan dengan seiring. Gejala-gejala
seperti ini yang kini tampak mewarnai sistem ekonomi Indonesia.
Sistem
ekonomi kapitalis telah menggoyahkan fondasi moral manusia, karena sistem ini
telah menghasilkan manusia yang tamak, boros dan angkuh. Sistem kapitalis juga
telah melahirkan sejumlah bankir hebat, beberapa industriawan yang kaya raya,
sejumlah pengusaha yang sukses. Namun di pihak lain, telah muncul banyak
konsumen yang tidak mampu memenuhi kebutuhan minimumnya. Kesenjangan terjadi secara
tajam. Perusahaan-perusahaan yang lemah akan tersingkir dan tersungkur.
Perlu
ditegaskan, bahwa melekatnya hak orang lain pada harta seseorang, bukanlah
dimaksudkan untuk mematahkan semangat kaya pada setiap individu atau
menimbulkan rasa malas bagi sebagian orang. Juga tidak dimaksudkan untuk
menciptakan pemerataan pemilikan kekayaan secara kaku. Dalam perspektif ekonomi
Islam, proporsi pemerataan yang betul-betul sama rata, sebagaimana dalam sosialisme,
bukanlah keadilan, malah justru dipandang sebagai ketidakadilan. Sebab Islam
menghargai prestasi, etos kerja dan kemampuan seseorang dibanding orang yang
malas.
Dasar
dari sikap yang koperatif ini tidak terlepas dari prinsip Islam yang menilai perbedaan
pendapatan sebagai sebuah sunnatullah. Landasannya, antara lain bahwa
etos kerja dan kemampuan seseorang harus dihargai dibanding seorang pemalas
atau yang tidak mampu berusaha. Bentuk penghargaannya adalah sikap Islam yang
memperkenankan pendapatan seseorang berbeda dengan orang lain, karena usaha dan
ikhtiarnya. Firman Alloh, “Sesungguhnya Alloh melebihkan rezeki sebagian
kamu atas sebagian lain”. (An Nahl:71).
Namun, orang
yang diberi kelebihan rezeki, harus mengeluarkan sebagian hartanya untuk kelompok
masyarakat yang tidak mampu (dhu’afa). Sehingga seluruh masyarakat
terlepas dari kemisikinan absolut.
Konsep
keadilan sosio-ekonomi yang diajarkan Islam menginginkan adanya pemerataan
pendapatan secara proporsional. Dalam tataran ini, dapat pula dikatakan bahwa
ekonomi Islam adalah ekonomi yang dilandaskan pada kebersamaan. Penegakkan
keadilan sosio-ekonomi Islam dilandasi oleh rasa persaudaraan (ukhuwah),
saling mencintai (mahabbah), bahu
membahu (takaful) dan saling tolong menolong (ta’awun), baik
antara si kaya dan si miskin maupun antara penguasa dan rakyat.
Berangkat dari fenomena di atas, maka sudah
saatnya sistem ekonomi Indonesia sedikit demi sedikit mengadopsi sistem ekonomi
Islam yang memang sudah mulai teruji ketahanannya. Sistem perbankan syari’ah
yang bertahan didera krisis moneter merupakan salah satu bukti idealnya sistem
ekonomi Islam. Mudah-mudahan menjamurnya Baitul
Maal Wat Tamwil, Bank Syariah, Pegadaian Syari’ah, jurusan-jurusan ekonomi
syari’ah di perguruan tinggi, dan lain-lain yang berlabel syari’ah bukan merupakan
topeng bisnis semata, akan tetapi merupakan awal dari cikal bakal kebangkitan
ekonomi Islam di Indonesia dan seluruh dunia. Amiin, Wallohua’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar