Pengikut

Rabu, 12 Desember 2012

Keadilan+Pemerataan=Ekonomi Islam


Oleh:
Mishad Khori

Mobil antik berwarna biru tua buatan asli Jepang itu meluncur pelan.  Pak Rudi (sopir), saya, dan Pak Soedarmanto yang ada di dalam mobil itu sedang asyik dalam perbincangan. Pembicaraan berkisar seputar krisis moneter yang melanda Indonesia saat itu. “Kata siapa Indonesia itu krisis, lihat mas  kendaraan  lalu lalang di jalan begitu banyak”  kata pak Darmanto. “Apa hubungannya kendaraan lalu lalang dengan krisis moneter pak? Tanya saya polos. “Kalau kendaraan masih banyak berlalu lalang itu menandakan ekonomi  di negara ini masih berjalan lancar” sahut pak Darmanto. Saya dan pak Rudi hanya manggut-manggut saja mendengar pendapat pak Soedarmanto yang memang seorang ahli ekonomi. Pak Soedarmanto ini adalah seorang guru besar sosial ekonomi pertanian Universitas Brawijaya yang saat itu menjadi team leader saya ketika bekerja di konsultan sosial lingkungan Urban Development Project (UDP) relasi Bappeda Kota Malang pada periode tahun 1999 – 2000 silam.
Menurut saya ada benarnya apa yang disampaikan oleh sang professor, bahwa ekonomi Indonesia saat itu masih tetap berjalan, walaupun sedikit terganggu karena nilai tukar rupiah terhadap dollar yang melorot tajam. Bahkan di beberapa daerah dengan fluktuasi nilai dollar yang melejit mereka malah ketiban rezeki berlipat, terutama mereka yang berkecimpung sebagai produsen ekspor. Bapak saya sendiri yang saat itu petambak udang windu mendapatkan keuntungan yang fantastis dengan harga per kilonya mencapi lebih dari 100 ribu rupiah. Tentunya nasib mujur petambak udang windu berbalik 180 derajat dengan para usahawan/konsumen yang mengandalkan bahan atau barang impor, mereka cukup meradang dengan melejitnya nilai dollar yang saat itu mencapai klimaksnya sepanjang sejarah ekonomi Indonesia.
Bagi saya, peristiwa krisis moneter yang mendera Indonesia di periode 1997 – 2000-an itu menjadi pelajaran tersendiri. Saya melihat ketahanan ekonomi masyarakat kelas bawah kita saat itu cukup stabil. Stabil bukan berarti mereka tetap bertahan sejahtera, tapi stabil dalam arti tahan menderita dihimpit oleh permasalahan ekonomi sepelik apapun. Mereka yang ada di kelas menengah ke atas pada saat itu terbelah menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah mereka yang kelimpungan karena usaha mereka yang bangkrut atau kehabisan modal. Kelompok kedua adalah yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan, yaitu para penimbun barang dan penyalahguna deliver order (do) yang diberikan pemerintah untuk meraup keuntungan yang sebanyak-banyaknya.
Dihubungkan dengan apa yang terjadi dengan kondisi ekonomi Indonesia kini, maka apa yang dulu terjadi terhadap ekonomi Indonesia adalah masih mirip dengan yang terjadi sekarang. Kemiripannya adalah mayoritas kelompok miskin masih stabil dengan tahan menderita, kelompok menengah yang mulai tumbuh, dan minoritas kelompok kaya tetap menjadi penguasa ekonomi Indonesia. Ada  yang mengatakan, 80 persen modal ekonomi di Indonesia hanya berputar di 200 pengusaha kelas atas saja. Kondisi ini muncul akibat bangunan ekonomi konglemerasi sebagai warisan sistem ekonomi orde baru yang hingga kini masih mengakar.
Salah besar kalau ada yang mengatakan Indonesia adalah negara miskin. Lihat saja, rumah mewah banyak bertebaran di mana-mana, mobil mewah lalu lalang memacetkan jalan, beberapa transaksi milyaran rupiah antar rekening nasabah bank kerap kali tercatat tiap hari oleh PPATK. Belum lagi bicara tentang sumber daya alam di Indonesia yang melimpah. Rempah-rempah, lahan pertanian yang membentang, banyaknya perkebunan, laut yang begitu luas, minyak bumi, emas, dan barang tambang lain yang begitu banyak terkandung di bumi Indonesia.
Lalu sebenarnya permasalahan apa yang menjangkiti ekonomi Indonesia. Jawabannya adalah karena belum adanya keadilan ekonomi. Modal yang berputar di negeri ini sebagian besar masih dikuasai oleh beberapa gelintir orang. Rumah mewah yang banyak berterbaran di sana sini ternyata hanya milik beberapa orang yang sama. Parade mobil mewah di jalan-jalan itu ternyata milik beberapa orang saja. Rekening gendut yang tercatat di PPATK hanya dimiliki oleh para pengusaha atau pejabat yang disinyalir terlibat korupsi. Walaupun bersemboyan ekonomi pancasila namun dalam praktiknya ekonomi Indonesia lebih mencerminkan ekonomi kapitalis. Siapa yang kuat modalnya, maka dia yang akan menguasai ekonomi Indonesia.
Ketidakadilan ekonomi Indonesia diperparah dengan mewabahnya penyakit korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dana yang dikorupsi tidak hanya dana APBN, tapi juga dana pinjamana luar negeri, bahkan dana bantuan bencana. Fakta yang saya temui sendiri adalah ketika saya bekerja di perusahaan konsultan relasi pemerintah pada tahun 1999 silam. Nilai kontrak yang tercatat dengan realisasinya tidak sama, itu pun masih di potong lagi. Pengalaman itu terulang lagi ketika saya kerja kontrak di konsultan pengawasan dana bank dunia untuk sekolah-sekolah pada tahun 2003. Rata-rata sekolah yang menerima bantuan nilainya disunat, termasuk gaji saya. Tidak hanya itu, untuk membelanjakan dana bantuan pun sekolah sudah diarahkan untuk membeli barang yang sudah disediakan oleh relasi pimpronya. Jika kini saya mendengar kasus Wisma Atlet, Hambalang, Simulator SIM, dan lain-lain,  maka saya sudah tidak heran lagi kalau memang terjadi penyimpangan dana pemerintah.
Hal lain yang menjadi masalah ekonomi di Indonesia semakin berat adalah tekanan politik asing. Sampai detik ini saya tidak habis pikir tentang langkahnya BBM di Indonesia. Menurut beberapa sumber konsumsi BBM kita perharinya kekurangan 300 ribu barel dan itu harus kita impor. Kesimpulannya kita masih mengimpor BBM. Tapi fakta menunjukkan ladang-ladang minyak bumi kita masih banyak yang dikontrak oleh perusahaan-perusahaan asing, termasuk Blok Cepu yang monumental itu jatuh kontrak eksplorasinya ke Epson Mobile. Sampai kapan Free Port menguasai tambang emas dan tembaga di Tembaga Pura? Kita semua tahu, bahwa kekayaan yang dikeruk oleh perusahaan asing tersebut sangat besar dari bumi Papua. Fenomena di atas menunjukkan tekanan politik masih menghantui negeri ini yang pada akhirnya menggerogoti ekonomi Indonesia.
Fakta-fakta tersebut menunjukkan sistem ekonomi Indonesia dalam praktiknya masih jauh dari ekonomi Pancasila yang memiliki ciri keadilan sosial.  Hal ini terjadi dimungkinkan karena piranti ekonomi Pancasila belum terjabarkan secara rinci dalam undang-undang maupun peraturan pemerintah. Kelemahan tersebut juga tidak lepas dari piranti ekonomi Pancasila yang merupakan buatan manusia yang tidak lepas akan khilaf. Selain itu, pengaruh kapitalisme dunia menjadikan implementasi ekonomi Pancasila di Indonesia menjadi semakin bias. Ditambah lagi kesadaran warga tentang ekonomi kerakyatan dalam implementasinya yang masih rendah.
Oleh karena itu diperlukan sistem ekonomi alternatif yang illahiyah, yaitu sistem ekonomi Islam.  Keadilan sosial yang diemban oleh sistem ekonomi Islam mempunyai nilai lebih karena bersumber dari Al Qur’an yang merupakan produk samawi. Alloh Subhanahu Wata’ala sebagai pencipta manusia tentunya lebih tahu tentang bagaimana aturan hidup yang harus dilakukan oleh manusia, termasuk dalam kehidupan ber-ekonomi. Dalam rangka mewujudkan cita-cita keadilan sosial ekonomi, Islam secara tegas mengecam konsentrasi aset kekayaan pada sekelompok tertentu dan menawarkan konsep zakat, infaq, shodaqoh, waqaf dan institusi lainnya, seperti pajak, jizyah, dharibah, dan sebagainya.
Sebagaimana Alloh berfirman dalam Al-Qur’an surat Al Hasyr ayat 7: “Supaya harta itu tidak beredar di kalangan orang kaya saja di antara kamu” dan surat Al Ma’arij ayat 24 “Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu (hak fakir miskin, baik peminta-minta maupun yang orang miskin malu meminta-minta)”. Berdasarkan dua ayat tersebut, maka Islam telah mengajarkan prinsip-prinsip keadilan dan pemerataan dalam system ekonominya.
Menurut Agustianto, seorang ekonom menyatakan, bahwa konsep pertumbuhan ekonomi dalam Islam berbeda dengan konsep pertumbuhan ekonomi kepitalisme yang selalu menggunakan indikator PDB (Produk Dosmetik Bruto) dan perkapita. Dalam Islam, pertumbuhan harus seiring dengan pemerataan. Tujuan kegiatan ekonomi, bukanlah meningkatkan pertumbuhan sebagaimana dalam konsep ekonomi kapitalisme. Tujuan ekonomi Islam lebih memprioritaskan pengentasan kemiskinan dan pengurangan pengangguran.
Karena itu, Islam menekankan keseimbangan antara petumbuhan dan pemerataan. Pertumbuhan bukan menjadi tujuan utama, kecuali dibarengi dengan pemerataan. Dalam konsep Islam, pertumbuhan dan pemerataan merupakan dua sisi dari sebuah entitas yang tak terpisahkan, karena itu keduanya tak boleh dipisahkan. Berdasarkan prinsip ini, maka paradigma tricle down effect, yang dikembangkan kapitalisme dan pernah diterapkan di Indonesia selama rezim orde baru, bertentangan dengan konsep keadilan ekonomi menurut Islam.
Selanjutnya, sistem ekonomi kapitalis dicirikan oleh menonjolnya peran perusahaan swasta (private ownership) dengan motivasi mencari keuntungan maksimum, harga pasar akan mengatur alokasi sumberdaya, dan efisiensi. Namun sistem ini selalu gagal dalam membuat pertumbuhan dan pemerataan berjalan dengan seiring. Gejala-gejala seperti ini yang kini tampak mewarnai sistem ekonomi Indonesia.
Sistem ekonomi kapitalis telah menggoyahkan fondasi moral manusia, karena sistem ini telah menghasilkan manusia yang tamak, boros dan angkuh. Sistem kapitalis juga telah melahirkan sejumlah bankir hebat, beberapa industriawan yang kaya raya, sejumlah pengusaha yang sukses. Namun di pihak lain, telah muncul banyak konsumen yang tidak mampu memenuhi kebutuhan minimumnya. Kesenjangan terjadi secara tajam. Perusahaan-perusahaan yang lemah akan tersingkir dan tersungkur.
Perlu ditegaskan, bahwa melekatnya hak orang lain pada harta seseorang, bukanlah dimaksudkan untuk mematahkan semangat kaya pada setiap individu atau menimbulkan rasa malas bagi sebagian orang. Juga tidak dimaksudkan untuk menciptakan pemerataan pemilikan kekayaan secara kaku. Dalam perspektif ekonomi Islam, proporsi pemerataan yang betul-betul sama rata, sebagaimana dalam sosialisme, bukanlah keadilan, malah justru dipandang sebagai ketidakadilan. Sebab Islam menghargai prestasi, etos kerja dan kemampuan seseorang dibanding orang yang malas.
Dasar dari sikap yang koperatif ini tidak terlepas dari prinsip Islam yang menilai perbedaan pendapatan sebagai sebuah sunnatullah. Landasannya, antara lain bahwa etos kerja dan kemampuan seseorang harus dihargai dibanding seorang pemalas atau yang tidak mampu berusaha. Bentuk penghargaannya adalah sikap Islam yang memperkenankan pendapatan seseorang berbeda dengan orang lain, karena usaha dan ikhtiarnya. Firman Alloh, “Sesungguhnya Alloh melebihkan rezeki sebagian kamu atas sebagian lain”. (An Nahl:71).
Namun, orang yang diberi kelebihan rezeki, harus mengeluarkan sebagian hartanya untuk kelompok masyarakat yang tidak mampu (dhu’afa). Sehingga seluruh masyarakat terlepas dari kemisikinan absolut.
Konsep keadilan sosio-ekonomi yang diajarkan Islam menginginkan adanya pemerataan pendapatan secara proporsional. Dalam tataran ini, dapat pula dikatakan bahwa ekonomi Islam adalah ekonomi yang dilandaskan pada kebersamaan. Penegakkan keadilan sosio-ekonomi Islam dilandasi oleh rasa persaudaraan (ukhuwah), saling mencintai (mahabbah), bahu membahu (takaful) dan saling tolong menolong (ta’awun), baik antara si kaya dan si miskin maupun antara penguasa dan rakyat.
 Berangkat dari fenomena di atas, maka sudah saatnya sistem ekonomi Indonesia sedikit demi sedikit mengadopsi sistem ekonomi Islam yang memang sudah mulai teruji ketahanannya. Sistem perbankan syari’ah yang bertahan didera krisis moneter merupakan salah satu bukti idealnya sistem ekonomi Islam. Mudah-mudahan menjamurnya Baitul Maal Wat Tamwil, Bank Syariah, Pegadaian Syari’ah, jurusan-jurusan ekonomi syari’ah di perguruan tinggi, dan lain-lain yang berlabel syari’ah bukan merupakan topeng bisnis semata, akan tetapi merupakan awal dari cikal bakal kebangkitan ekonomi Islam di Indonesia dan seluruh dunia. Amiin,  Wallohua’lam.

Tidak ada komentar: