Oleh:
Mishad Khoiri
“Becak-becak”
teriak pak Jay dari pinggir jalan. Sontak pak Bejo yang sedang mengayuh
becaknya sagera menghentikannya. “Mau diantar ke mana pak” tanya pak Bejo. “Jalan
Mandalawangi” sahut pak Jay sambil segera naik ke jok becak warna kuning
berpadu biru itu. Pak Bejo lalu mengayuh becaknya ke arah jalan Mandalawangi
dengan santai. Maklum jarak ujung selatan jalan Jombang ke jalan Mandalawangi
tidak terlalu jauh, hanya sekitar satu kilo meter.
Lantaran
usia yang sudah senja, kayuan kaki pak Bejo sudah kelihatan berat. Mungkin
karena tidak punya pilihan profesi lain, maka pekerjaan yang cukup menguras
tenaga ini tetap saja ia lakoni hingga menginjak usia 60 tahunan.
“Berhenti
di sini saja pak” pinta pak Jay. “Kriet…kriet” terdengar suara rem becak pak
Bejo yang kampas ban-nya sudah aus. Becak itu berhenti tepat di depan sebuah
masjid. Pak Bejo bergegas turun dari sadel becaknya. Bersamaan dengan itu, pak
Jay juga turun dari jok becak sambil menghampiri pak Bejo.
“Berapa
pak bayarnya?” tanya pak Jay. “se…sepuluh ribu pak” jawab pak Bejo yang
terlihat gugup. Tanpa bertanya, pak Jay langsung merogoh sakunya kemudian
memberi pak Bejo selembar uang sepuluh ribuan. “Terima kasih pak” sahut pak
Bejo yang tampak berseri-seri. Sambil membalikkan arah becaknya dia mengulangi
ucapannya lagi “terima kasih pak” kemudian melompat ke sadel becak dan mengayuh
becaknya pergi. Memang tarif yang didapat pak Bejo dua kali lipat dari tarif
biasanya yang hanya lima ribu rupiah saja. Kejadian seperti itu sudah
berkali-kali dilakukan Pak Jay dengan tukang becak yang berbeda.
Sempat
saya berbincang dengan pak Jay tentang kebiasaannya yang tidak bertanya lebih
dulu tentang tarif ketika naik becak. Dia pernah menyampaikan bahwa kebiasaan
itu dilakukan untuk menghargai profesi orang lain, sebagaimana orang lain
menghargai profesinya. Pak Jay ini seorang dokter umum yang waktu itu sedang
menempuh pendidikan spesialis mata di Malang.
Dia
bercerita, ketika praktik dia selalu ditanya berapa biaya periksanya ketika
selesai memeriksa pasiennya, bukan sebelum memeriksa. Perlakuan pasiennya yang
demikian itu yang ingin diterapkan ke tukang becak tadi. “Masak orang lain mau
berkorban biaya besar untuk periksa ke saya sedangkan saya tidak” ucap Pak Jay.
Ada
pelajaran yang sangat berharga dari cerita di atas, yaitu agar memperlakukan
orang lain sebagaimana kita memperlakukan diri kita sendiri, terutama untuk
kebaikan. Bahkan lebih dari itu islam memerintahkan untuk memberikan sesuatu
yang lebih kita cintai kepada orang lain. Sebagaimana Firman Alloh Subhanahu
Wata’ala: “Tidak akan memperoleh suatu
kebaikan, sehingga mereka tidak memberikan sesuatu yang mereka cintai”.
Artinya kita disuruh berkorban untuk memberikan sesuatu yang terbaik, bukan
memberikan sesuatu yang memang sudah tidak layak untuk orang lain, termasuk
ketika kita berqurban pada saat hari raya idhul adha.
Salah
satu rahasia dari peristiwa berqurban di hari raya idhul adha adalah untuk megorbankan
sesuatu yang kita cintai, yaitu harta kita. Harta kita yang akan kita belikan
unta, sapi, kambing adalah sebuah pengorbanan kecil kita dibandingkan dengan
pengorbanan Nabi Ibrahim Alaihissalam
yang rela diperintahkan Alloh menyembelih anaknya sendiri. Kita juga
diperintahkan untuk memberikan hewan qurban yang baik, antara lain harus
dewasa, tidak sakit/luka, tidak cacat, dan lain-lain. Ini menegaskan perintah,
bahwa untuk sarana ibadah dan memberikan sesuatu kepada orang lain itu harus yang
baik atau kalau bisa yang terbaik.
Lebih detilnya
hikmah atau manfaat dari kita diperintahkan berqurban adalah Pertama
pahala yang amat besar, yakni
diumpamakan seperti banyaknya bulu binatang yang disembelih. Ini merupakan
penggambaran betapa besarnya pahala ibadah qurban ini, sebagaimana disabdakan
Rosululloh sollalloh alaihi wasallam,”Pada setiap bulunya itu kita memperoleh
satu kebaikan.” (HR Imam Ahmad dan Ibnu Majah).
Kedua,
terjadinya hubungan dengan Alloh Subhanahu Wa Ta’ala yang semakin dekat.
Apalagi jika penyembelihan korban dilaksanakan sendiri oleh yang
berkorban.Ibadah ini bertujuan mendekatkan diri kepada Alloh Subhanahu Wa
Ta’ala.
Ketiga,
memudahkan dan memantapkan rasa solidaritas sosial dengan sesama kaum muslimin
dan muslimat, sehingga kesenjangan yang ada bisa terhapus terlebih lagi kondisi
krisis ekonomi ditambah lagi dengan konflik kemasyarakatan yang mengganggu
ketenangan hidup berbangsa bernegara. Hal ini memang sejalan dengan makna yang
terkandung di dalam ajaran yang sangat hanif ini, yaitu adanya dimensi sosial
dengan penyaluran daging kurban, di samping dimensi vertikal antara hamba
dengan Tuhannya sebagai manifestasi ketaatan dalam menjalankan perintah Alloh Subhanahu
Wa Ta’ala.
Keempat,
mendidik manusia yang melaksanakan qurban menjadi orang yang pandai bersyukur
atas segala kenikmatan yang telah diberikan oleh Alloh Subhanahu Wa Ta’ala sebagaimana
termaktub dalam firman-Nya, “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat
yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah.
Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus (berkah dan
rahmat Allah).”
Kelima,
Membuktikan bahwa kita termasuk orang-orang yang taat dalam menjalankan
perintah Alloh Subhanahu Wa Ta’ala. Karena dengan melaksanakan perintah agama,
maka hidup akan diridhai, diberkahi dan senantiasa dirahmati oleh Alloh Subhanahu
Wa Ta’ala. Kebahagiaan hidup pun akan menjelma dan dirasakan membuktikan bahwa
kita memiliki kesadaran sejarah, khususnya kehidupan serta perjuangan para Nabi
dan Rosul Alloh Subhanahu Wa Ta’ala yang penuh tantangan dan ujian berat.
Kesadaran sejarah ini tentu akan membuat kita berusaha semaksimal mungkin untuk
mengorbankan apa saja yang kita miliki, demi rahmat dan keridhaan Alloh Subhanahu
Wa Ta’ala bagi diri dan kehidupan kita. Dengan berqurban, diri kita semakin
dekat dengan-Nya. Sementara hubungan sosial kita semakin indah kepada sesama.
Bentuk berqurban
dengan menyembelih hewan ternak sebenarnya berlaku juga untuk berqurban dalam
bentuk dimensi lain, seperti berkorban atas harta, waktu, tenaga, dan
pikiran kita untuk ketaatan kita pada
Alloh dan Rosul-Nya. Seperti perilaku sederhana yang dilakukan Pak Jay yang mau
berqurban dengan tidak menanyakan tarif
becak pak Bejo sebelum sampai tujuan dan membayar berapapun yang layak sesuai
permintaan pak Bejo. Tentunya masih banyak sisi-sisi lain dari kehidupan kita
yang butuh semangat berqurban dalam menjalaninya.
Sungguh, bangsa
ini masih butuh banyak pengorbanan kita. Kemiskinan, keterbelakangan,
pertikaian/konflik, kesenjangan ekonomi, tingginya angka kriminalitas, dan
merajalelanya kemaksiatan membutuhkan pengorbanan kita untuk mencari solusinya.
Tentunya untuk mencari jalan keluar dari permasalahan bangsa ini butuh banyak
pengorbanan, baik berkorban harta, tenaga, waktu, dan pemikiran kita. Semangat
berqurban pada idhul adha tahun ini adalah momentum berkorban kita untuk
berusaha keluar dari permasalahan bangsa ini menuju baldatun thoyyibun wa robbun ghofur. Wallohua’alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar