Pengikut

Selasa, 16 Oktober 2012

Semangat Berk(q)o(u)rban Pak Jay



Oleh:
Mishad Khoiri

“Becak-becak” teriak pak Jay dari pinggir jalan. Sontak pak Bejo yang sedang mengayuh becaknya sagera menghentikannya. “Mau diantar ke mana pak” tanya pak Bejo. “Jalan Mandalawangi” sahut pak Jay sambil segera naik ke jok becak warna kuning berpadu biru itu. Pak Bejo lalu mengayuh becaknya ke arah jalan Mandalawangi dengan santai. Maklum jarak ujung selatan jalan Jombang ke jalan Mandalawangi tidak terlalu jauh, hanya sekitar satu kilo meter.
Lantaran usia yang sudah senja, kayuan kaki pak Bejo sudah kelihatan berat. Mungkin karena tidak punya pilihan profesi lain, maka pekerjaan yang cukup menguras tenaga ini tetap saja ia lakoni hingga menginjak usia 60 tahunan.
“Berhenti di sini saja pak” pinta pak Jay. “Kriet…kriet” terdengar suara rem becak pak Bejo yang kampas ban-nya sudah aus. Becak itu berhenti tepat di depan sebuah masjid. Pak Bejo bergegas turun dari sadel becaknya. Bersamaan dengan itu, pak Jay juga turun dari jok becak sambil menghampiri pak Bejo.
“Berapa pak bayarnya?” tanya pak Jay. “se…sepuluh ribu pak” jawab pak Bejo yang terlihat gugup. Tanpa bertanya, pak Jay langsung merogoh sakunya kemudian memberi pak Bejo selembar uang sepuluh ribuan. “Terima kasih pak” sahut pak Bejo yang tampak berseri-seri. Sambil membalikkan arah becaknya dia mengulangi ucapannya lagi “terima kasih pak” kemudian melompat ke sadel becak dan mengayuh becaknya pergi. Memang tarif yang didapat pak Bejo dua kali lipat dari tarif biasanya yang hanya lima ribu rupiah saja. Kejadian seperti itu sudah berkali-kali dilakukan Pak Jay dengan tukang becak yang berbeda.
Sempat saya berbincang dengan pak Jay tentang kebiasaannya yang tidak bertanya lebih dulu tentang tarif ketika naik becak. Dia pernah menyampaikan bahwa kebiasaan itu dilakukan untuk menghargai profesi orang lain, sebagaimana orang lain menghargai profesinya. Pak Jay ini seorang dokter umum yang waktu itu sedang menempuh pendidikan spesialis mata di Malang.
Dia bercerita, ketika praktik dia selalu ditanya berapa biaya periksanya ketika selesai memeriksa pasiennya, bukan sebelum memeriksa. Perlakuan pasiennya yang demikian itu yang ingin diterapkan ke tukang becak tadi. “Masak orang lain mau berkorban biaya besar untuk periksa ke saya sedangkan saya tidak” ucap Pak Jay.
Ada pelajaran yang sangat berharga dari cerita di atas, yaitu agar memperlakukan orang lain sebagaimana kita memperlakukan diri kita sendiri, terutama untuk kebaikan. Bahkan lebih dari itu islam memerintahkan untuk memberikan sesuatu yang lebih kita cintai kepada orang lain. Sebagaimana Firman Alloh Subhanahu Wata’ala: “Tidak akan memperoleh suatu kebaikan, sehingga mereka tidak memberikan sesuatu yang mereka cintai”. Artinya kita disuruh berkorban untuk memberikan sesuatu yang terbaik, bukan memberikan sesuatu yang memang sudah tidak layak untuk orang lain, termasuk ketika kita berqurban pada saat hari raya idhul adha.
Salah satu rahasia dari peristiwa berqurban di hari raya idhul adha adalah untuk megorbankan sesuatu yang kita cintai, yaitu harta kita. Harta kita yang akan kita belikan unta, sapi, kambing adalah sebuah pengorbanan kecil kita dibandingkan dengan pengorbanan Nabi Ibrahim Alaihissalam yang rela diperintahkan Alloh menyembelih anaknya sendiri. Kita juga diperintahkan untuk memberikan hewan qurban yang baik, antara lain harus dewasa, tidak sakit/luka, tidak cacat, dan lain-lain. Ini menegaskan perintah, bahwa untuk sarana ibadah dan memberikan sesuatu kepada orang lain itu harus yang baik atau kalau bisa yang terbaik.
Lebih detilnya hikmah atau manfaat dari kita diperintahkan berqurban adalah Pertama pahala yang amat besar, yakni diumpamakan seperti banyaknya bulu binatang yang disembelih. Ini merupakan penggambaran betapa besarnya pahala ibadah qurban ini, sebagaimana disabdakan Rosululloh sollalloh alaihi wasallam,”Pada setiap bulunya itu kita memperoleh satu kebaikan.” (HR Imam Ahmad dan Ibnu Majah).
Kedua, terjadinya hubungan dengan Alloh Subhanahu Wa Ta’ala yang semakin dekat. Apalagi jika penyembelihan korban dilaksanakan sendiri oleh yang berkorban.Ibadah ini bertujuan mendekatkan diri kepada Alloh Subhanahu Wa Ta’ala.
Ketiga, memudahkan dan memantapkan rasa solidaritas sosial dengan sesama kaum muslimin dan muslimat, sehingga kesenjangan yang ada bisa terhapus terlebih lagi kondisi krisis ekonomi ditambah lagi dengan konflik kemasyarakatan yang mengganggu ketenangan hidup berbangsa bernegara. Hal ini memang sejalan dengan makna yang terkandung di dalam ajaran yang sangat hanif ini, yaitu adanya dimensi sosial dengan penyaluran daging kurban, di samping dimensi vertikal antara hamba dengan Tuhannya sebagai manifestasi ketaatan dalam menjalankan perintah Alloh Subhanahu Wa Ta’ala.
Keempat, mendidik manusia yang melaksanakan qurban menjadi orang yang pandai bersyukur atas segala kenikmatan yang telah diberikan oleh Alloh Subhanahu Wa Ta’ala sebagaimana termaktub dalam firman-Nya, “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus (berkah dan rahmat Allah).”
Kelima, Membuktikan bahwa kita termasuk orang-orang yang taat dalam menjalankan perintah Alloh Subhanahu Wa Ta’ala. Karena dengan melaksanakan perintah agama, maka hidup akan diridhai, diberkahi dan senantiasa dirahmati oleh Alloh Subhanahu Wa Ta’ala. Kebahagiaan hidup pun akan menjelma dan dirasakan membuktikan bahwa kita memiliki kesadaran sejarah, khususnya kehidupan serta perjuangan para Nabi dan Rosul Alloh Subhanahu Wa Ta’ala yang penuh tantangan dan ujian berat. Kesadaran sejarah ini tentu akan membuat kita berusaha semaksimal mungkin untuk mengorbankan apa saja yang kita miliki, demi rahmat dan keridhaan Alloh Subhanahu Wa Ta’ala bagi diri dan kehidupan kita. Dengan berqurban, diri kita semakin dekat dengan-Nya. Sementara hubungan sosial kita semakin indah kepada sesama.
Bentuk berqurban dengan menyembelih hewan ternak sebenarnya berlaku juga untuk berqurban dalam bentuk dimensi lain, seperti berkorban atas harta, waktu, tenaga, dan pikiran  kita untuk ketaatan kita pada Alloh dan Rosul-Nya. Seperti perilaku sederhana yang dilakukan Pak Jay yang mau berqurban dengan tidak  menanyakan tarif becak pak Bejo sebelum sampai tujuan dan membayar berapapun yang layak sesuai permintaan pak Bejo. Tentunya masih banyak sisi-sisi lain dari kehidupan kita yang butuh semangat berqurban dalam menjalaninya.
Sungguh, bangsa ini masih butuh banyak pengorbanan kita. Kemiskinan, keterbelakangan, pertikaian/konflik, kesenjangan ekonomi, tingginya angka kriminalitas, dan merajalelanya kemaksiatan membutuhkan pengorbanan kita untuk mencari solusinya. Tentunya untuk mencari jalan keluar dari permasalahan bangsa ini butuh banyak pengorbanan, baik berkorban harta, tenaga, waktu, dan pemikiran kita. Semangat berqurban pada idhul adha tahun ini adalah momentum berkorban kita untuk berusaha keluar dari permasalahan bangsa ini menuju baldatun thoyyibun wa robbun ghofur. Wallohua’alam.

Tidak ada komentar: