Pengikut

Selasa, 16 Oktober 2012

Mengurai Benang Kusut Kekerasan Pelajar



Oleh:
Mishad*

Satuan Tugas Perlindungan Anak mencatat dalam dua bulan terakhir paling tidak ada lima siswa yang tewas tawuran. Menurut Ketua Satgas Anak, M. Ihsan, insiden kekerasan SMA 6 dan SMA 70 di Bulungan, Jakarta Selatan, yang menewaskan Alawy Yusianto, siswa SMA 6, pada Senin lalu bukan yang pertama kalinya terjadi. Alawy juga bukan merupakan korban pertama.  Beberapa tawuran antarpelajar yang memakan korban adalah pada  6 Agustus 2012
Tawuran pelajar menewaskan Jeremy Hasibuan, siswa SMA Kartika di Bintaro.  Pada 29 Agustus 2012  tawuran pelajar yang menyebabkan Jatsuli, siswa SMP 6 Buaran, Klender, tewas. Pada 30 Agustus 2012 ada dua peristiwa tawuran. Di Bogor, tawuran menyebabkan Rudi Noval Ashari, siswa SMKM Bogor, tewas. Di hari yang sama, Ahmad Yani, siswa SMK 39 di Klender, juga mengalami nasib serupa. Pada 12 September 2012, Dedi Triyuda, siswa SMK Baskara Depok, meninggal seusai bentrok antarpelajar.
Pada hari senin, tanggal 24 September 2012 terjadi tawuran antara SMA 6 dan SMA 70. Beberapa murid SMA 6 tiba-tiba diserang puluhan siswa SMA 70. Kelima murid yang diserang kocar-kacir di kawasan bundaran Bulungan. Ada dua guru SMA 6 yang melihat kejadian tersebut dan membubarkan mereka. Tawuran berlangsung singkat, sekitar 15 menit. Namun, tawuran ini menyebabkan dua korban terluka dan satu korban terkena luka bacok di bagian dada. Dia adalah Alawi, siswa kelas X SMA 6, yang kemudian sempat dilarikan ke rumah sakit, tapi nyawanya tak tertolong.   Komnas Perlindungan Anak juga mencatat pada 2011 tawuran pelajar mencapai 139 kasus dan korban tewas 82 orang. Jumlah ini meningkat 165 persen dari 128 kasus tahun sebelumnya. Berdasarkan data dari Komisi Nasional Perlindungan Anak, sedikitnya ada 16 siswa lain yang tewas akibat kasus serupa sepanjang tahun ini. Mereka berasal dari 86 kasus tawuran antarpelajar yang terjadi di Jakarta dan sekitarnya. (http://www.tempo.co/read/news/2012)

Pemicu Terjadinya Tawuran Pelajar
Menurut Sander Diki Zulkarnaen, M.Psi, dalam pandangan psikologi, setiap perilaku merupakan interaksi antara kecenderungan di dalam diri individu (sering disebut kepribadian, walau tidak selalu tepat) dan kondisi eksternal. Begitu pula dalam hal perkelahian pelajar. Bila dijabarkan, terdapat sedikitnya 4 faktor psikologis mengapa seorang remaja terlibat perkelahian pelajar.
Pertama, faktor internal. Remaja yang terlibat perkelahian biasanya kurang mampu melakukan adaptasi pada situasi lingkungan yang kompleks. Kompleks di sini berarti adanya keanekaragaman pandangan, budaya, tingkat ekonomi, dan semua rangsang dari lingkungan yang makin lama makin beragam dan banyak. Situasi ini biasanya menimbulkan tekanan pada setiap orang. Tapi pada remaja yang terlibat perkelahian, mereka kurang mampu untuk mengatasi, apalagi memanfaatkan situasi itu untuk pengembangan dirinya. Mereka biasanya mudah putus asa, cepat melarikan diri dari masalah, menyalahkan orang/pihak lain pada setiap masalahnya, dan memilih menggunakan cara tersingkat untuk memecahkan masalah. Pada remaja yang sering berkelahi, ditemukan bahwa mereka mengalami konflik batin, mudah frustrasi, memiliki emosi yang labil, tidak peka terhadap perasaan orang lain, dan memiliki perasaan rendah diri yang kuat. Mereka biasanya sangat membutuhkan pengakuan.
Kedua, Faktor keluarga.  Rumah tangga yang dipenuhi kekerasan (entah antar orang tua atau pada anaknya) jelas berdampak pada anak. Anak, ketika meningkat remaja, belajar bahwa kekerasan adalah bagian dari dirinya, sehingga adalah hal yang wajar kalau ia melakukan kekerasan pula. Sebaliknya, orang tua yang terlalu melindungi anaknya, ketika remaja akan tumbuh sebagai individu yang tidak mandiri dan tidak berani mengembangkan identitasnya yang unik. Begitu bergabung dengan teman-temannya, ia akan menyerahkan dirinya secara total terhadap kelompoknya sebagai bagian dari identitas yang dibangunnya.
Ketiga, Faktor sekolah.  Sekolah pertama-tama bukan dipandang sebagai lembaga yang harus mendidik siswanya menjadi sesuatu. Tetapi sekolah terlebih dahulu harus dinilai dari kualitas pengajarannya. Karena itu, lingkungan sekolah yang tidak merangsang siswanya untuk belajar (misalnya suasana kelas yang monoton, peraturan yang tidak relevan dengan pengajaran, tidak adanya fasilitas praktikum, dan sebagainya.) akan menyebabkan siswa lebih senang melakukan kegiatan di luar sekolah bersama teman-temannya. Baru setelah itu masalah pendidikan, di mana guru jelas memainkan peranan paling penting. Sayangnya guru lebih berperan sebagai penghukum dan pelaksana aturan, serta sebagai tokoh otoriter yang sebenarnya juga menggunakan cara kekerasan (walau dalam bentuk berbeda) dalam “mendidik” siswanya.
Ke-empat. Faktor lingkungan. Lingkungan di antara rumah dan sekolah yang sehari-hari remaja alami, juga membawa dampak terhadap munculnya perkelahian. Misalnya lingkungan rumah yang sempit dan kumuh, dan anggota lingkungan yang berperilaku buruk (misalnya narkoba). Begitu pula sarana transportasi umum yang sering menomor-sekiankan pelajar. Juga lingkungan kota (bisa negara) yang penuh kekerasan. Semuanya itu dapat merangsang remaja untuk belajar sesuatu dari lingkungannya, dan kemudian reaksi emosional yang berkembang mendukung untuk munculnya perilaku berkelahi.

Mengurai Benang Kusut
       Saya yakin semua pihak yang terkait degan pelajar, baik sekolah, kelurga, maupun masyarakat menginginkan agar tawuran pelajar antar sekolah segera diatasi. Akan lebih efektif jika usaha yang dilakukan adalah upaya preventif (pencegahan). Langkah penanganan atau penindakan (kuratif) juga masih perlu untuk terapi dan menimbulkan efek jerah pada para pelaku dan bagi para pelajar yang ingin coba-coba meniru melakukan tawuran.
Upaya preventif tersebut dapat dilakukan dengan cara Pertama, penanaman akhlak mulia pada para pelajar melalui program mengaji. Fakta menunjukkan bahwa para pelajar yang terlibat tawuran adalah rata-rata berpendidikan SMP sampai SMA. Masa-masa tersebut adalah masa yang labil di mana mereka dalam tahap mencari jati diri. Faktanya, kebanyakan masa-masa usia  itu dia tidak lagi ikut mengaji di TPQ/Madarasah Diniyah (MAdin). Santri-santri TPQ atau Madin rata-rata usia TK sampai SD, mereka yang sudah lulus SD sudah enggan mengaji lagi. Alasannya sudah tamat Al Qur’an, malu berteman dengan anak kecil, atau sibuk dengan tugas sekolah mereka. Padahal faktanya, tidak semua seperti itu. Masih banyak anak-anak usia SMP/SMA yang belum bisa mengaji dan banyak juga mereka yang tidak mengaji bukan karena mengerjakan tugas sekolah, tapi mereka pergi ke mal, bioskop, maupun keluyuran yang tidak jelas ke mana.
Oleh karena itu, gerakan remaja Indonesia mengaji harus digalakkan lagi, terutama setelah maghrib. Jangan sampai jedah waktu antara maghrib sampai isya’ digunakan para remaja kita untuk ke mal, bioskop, atau di rumah melihat tayangan sinetron horor, porno, hedonis yang jelas kontra produktif bagi remaja. Sudah saatnya kita galakkan warisan mulia nenek moyang kita, yaitu setelah maghrib mengaji. Dengan mengaji di antara waktu maghrib dan isya’ maka insya Alloh setelah isya’ berlanjut dengan kegiatan belajar untuk persiapan sekolah besoknya. Melalui ngaji setelah maghrib kita juga bisa menanamkan pesan mulia tentang akhlak karimah pada remaja. Harapannya, selain tawuran, konsumsi narkoba, pornografi, pornoaksi atau perilaku negatif lainnya, dapat dicegah.
Kedua, mengajarkan pada siswa bahwa tidak ada masalah bisa selesai dengan menggunakan kekerasan. Kita tahu bahwa rata-rata usia pelajar adalah masa labil. Mereka berpikirnya instan dan potong kompas. Mereka juga mudah tersinggung dan putus asa. Maka jangan heran mereka bisa berkelahi hanya gara-gara tatapan mata atau rebutan pacar.  Oleh karena itu perlu penanaman sikap, bahwa kekerasan bukan merupakan solusi, akan tetapi kekerasan pasti akan dibalas dengan kekerasan juga. Maka tanamkan sikap saling menghargai antar sesama, mengasihi yang lebih muda, dan menghormati yang lebih tua.
Ketiga, Melakukanan komunikasi dan pendekatan secara khusus kepada para remaja/pelajar. Bisa jadi remaja yang terlibat tawuran berangkat dari keluarga yang bermasalah (broken home) . Mereka sudah kehilangan sosok ayah atau ibu yang dianggapnya ideal. Kemudian mereka membawa masalah yang di rumah itu ke sekolah, di sekolah ketemu masalah juga, maka dibawanya masalah itu di jalanan dengan tawuran. Dialog yang terbuka antara orang tua/guru dan anak/pelajar sangat penting. Piranti dialogis informal di keluarga dan di sekolah lewat wali kelas atau BK merupakan kebutuhan untuk  mencari jalan keluar atas “kebuntuan” masalah pelajar/remaja.
       Ke-empat. Mengajarkan, bahwa belajar ilmu beladiri itu untuk menyelamatkan orang dan bukan untuk menyakiti orang lain. Kita sering mendengar di beberapa daerah, kekerasan antar pelajar, bahkan antar warga berawal dari perseteruan antar kelompok bela diri atau satgas ormas. Ada kecenderungan dis-orientasi (penyimpangan) bahwa belajar beladiri itu untuk gagah-gagahan, menang-menangan, atau untuk menjadi jagoan. Mereka lupa, bahwa ilmu bela diri, sesuai namnya adalah berfungsi untuk membela diri dan menyelamatkan orang lain. Misi bela diri yang seperti ini yang harus kita tanamkan ke para remaja/pelajar kita.
            Ke-lima. Mengajarkan anti-kekerasan dengan prinsip keteladanan. Prinsip keteladanan merupakan strategi pengajaran yang sangat mengena pada pelajar/anak. Menyuruh anak untuk sholat sangat beda dengan mengajak anak untuk sholat. Mengajak anak sholat merupakan sebuah contoh sederhana dari prinsip keteladanan. Memberi contoh untuk tidak melakukan kekerasan di rumah atau di sekolah bagi guru atau orang tua adalah sebuah pengajaran yang jitu daripada kita menyuruh anak tidak tawuran, sementara adegan kekerasan kita pertontonkan di depan anak/pelajar kita. Sesungguhnya keteladanan ini cukup berat, tapi mudah-mudahan menjadi ringan kalau kita mau terus mencoba.
Ke-enam. Memberikan reward dan punishment. Penghargaan dan sangsi adalah dua kata yang saling melekat walaupun fungsinya beda. Reward adalah penghargaan bagi remaja/pelajar kita yang berprestasi sementara punishment adalah pemberian sangsi bagi mereka yang melanggar. Di lingkungan keluarga, masyarakat, dan sekolah perlu memprogramkan reward dan punishment bagi anak/pelajar dengan semangat mendidik. Seperti di keluarga, orang tua memberikan hadiah tas dan sepatu baru kalau anaknya hafal juz amma atau sebaliknya anak di beri sangsi menyapu sendiri jika mereka mengotori lantai rumah. Hadiah tas dan sepatu baru dimaksudkan memotivasi semangat berpretasi mereka sedangkan sangsi menyapu lantai yang dikotorinya sendiri bermakna beratanggungjawab atas kesalahannya. Keduanya Memiliki nilai mendidik. Rata-rata remaja/pelajar yang terlibat  tawuran adalah remaja yang miskin kegiatan yang pada khirnya berujung miskin prestasi.
Jika kita mau melibatkan remaja/pelajar kita untuk mengikuti  kegiatan/acara yang positif di tengah keluarga, masyarakat, dan sekolah kita, maka akan meminimalkan mereka melakukan tindakan yang negatif.  Apalagi dalam momen tersebut dibuatkan kegiatan yang disukai para remaja, seperti olah raga, atau kegiatan atraktif lainnya dan diberi hadiah, berawal dari situ mereka akan termotivasi. Di samping itu pemberian sangsi yang tegas bagi para remaja/siswa yang melanggar harus juga ditegakkan. Sangsi/hukuman yang mendidik lebih berarti pada pertanggungjawaban atas kesalahannya dan menimbulkan efek jerah untuk tidak mengulangi kesalahannya lagi, termasuk bagi mereka yang ingin coba-coba ikut terlibat dalam tawuran. Kita do’akan, mudah-mudahan generasi remaja kita menjadi generasi emas yang jauh dari kekerasan dan menjadi generasi muda yang kreatif dan prestatif, Amiin, Wallohua’lam.

Tidak ada komentar: