Oleh:
Mishad*
Satuan
Tugas Perlindungan Anak mencatat dalam dua bulan terakhir paling tidak ada lima
siswa yang tewas tawuran. Menurut Ketua Satgas Anak, M. Ihsan, insiden
kekerasan SMA 6 dan SMA 70 di Bulungan, Jakarta Selatan, yang menewaskan Alawy
Yusianto, siswa SMA 6, pada Senin lalu bukan yang pertama kalinya terjadi.
Alawy juga bukan merupakan korban pertama.
Beberapa tawuran antarpelajar yang memakan korban adalah pada 6 Agustus 2012
Tawuran pelajar menewaskan Jeremy Hasibuan, siswa SMA Kartika di Bintaro. Pada 29 Agustus 2012 tawuran pelajar yang menyebabkan Jatsuli, siswa SMP 6 Buaran, Klender, tewas. Pada 30 Agustus 2012 ada dua peristiwa tawuran. Di Bogor, tawuran menyebabkan Rudi Noval Ashari, siswa SMKM Bogor, tewas. Di hari yang sama, Ahmad Yani, siswa SMK 39 di Klender, juga mengalami nasib serupa. Pada 12 September 2012, Dedi Triyuda, siswa SMK Baskara Depok, meninggal seusai bentrok antarpelajar.
Tawuran pelajar menewaskan Jeremy Hasibuan, siswa SMA Kartika di Bintaro. Pada 29 Agustus 2012 tawuran pelajar yang menyebabkan Jatsuli, siswa SMP 6 Buaran, Klender, tewas. Pada 30 Agustus 2012 ada dua peristiwa tawuran. Di Bogor, tawuran menyebabkan Rudi Noval Ashari, siswa SMKM Bogor, tewas. Di hari yang sama, Ahmad Yani, siswa SMK 39 di Klender, juga mengalami nasib serupa. Pada 12 September 2012, Dedi Triyuda, siswa SMK Baskara Depok, meninggal seusai bentrok antarpelajar.
Pada
hari senin, tanggal 24 September 2012 terjadi tawuran antara SMA 6 dan SMA 70.
Beberapa murid SMA 6 tiba-tiba diserang puluhan siswa SMA 70. Kelima murid yang
diserang kocar-kacir di kawasan bundaran Bulungan. Ada dua guru SMA 6 yang
melihat kejadian tersebut dan membubarkan mereka. Tawuran berlangsung singkat,
sekitar 15 menit. Namun, tawuran ini menyebabkan dua korban terluka dan satu
korban terkena luka bacok di bagian dada. Dia adalah Alawi, siswa kelas X SMA
6, yang kemudian sempat dilarikan ke rumah sakit, tapi nyawanya tak tertolong. Komnas Perlindungan Anak juga mencatat pada
2011 tawuran pelajar mencapai 139 kasus dan korban tewas 82 orang. Jumlah ini
meningkat 165 persen dari 128 kasus tahun sebelumnya. Berdasarkan data dari
Komisi Nasional Perlindungan Anak, sedikitnya ada 16 siswa lain yang tewas
akibat kasus serupa sepanjang tahun ini. Mereka berasal dari 86 kasus tawuran
antarpelajar yang terjadi di Jakarta dan sekitarnya. (http://www.tempo.co/read/news/2012)
Pemicu
Terjadinya Tawuran Pelajar
Menurut
Sander Diki Zulkarnaen, M.Psi, dalam pandangan psikologi, setiap
perilaku merupakan interaksi antara kecenderungan di dalam diri individu
(sering disebut kepribadian, walau tidak selalu tepat) dan kondisi eksternal.
Begitu pula dalam hal perkelahian pelajar. Bila dijabarkan, terdapat sedikitnya
4 faktor psikologis mengapa seorang remaja terlibat perkelahian pelajar.
Pertama,
faktor internal. Remaja yang terlibat perkelahian biasanya kurang mampu
melakukan adaptasi pada situasi lingkungan yang kompleks. Kompleks di sini
berarti adanya keanekaragaman pandangan, budaya, tingkat ekonomi, dan semua
rangsang dari lingkungan yang makin lama makin beragam dan banyak. Situasi ini
biasanya menimbulkan tekanan pada setiap orang. Tapi pada remaja yang terlibat
perkelahian, mereka kurang mampu untuk mengatasi, apalagi memanfaatkan situasi
itu untuk pengembangan dirinya. Mereka biasanya mudah putus asa, cepat
melarikan diri dari masalah, menyalahkan orang/pihak lain pada setiap
masalahnya, dan memilih menggunakan cara tersingkat untuk memecahkan masalah. Pada
remaja yang sering berkelahi, ditemukan bahwa mereka mengalami konflik batin,
mudah frustrasi, memiliki emosi yang labil, tidak peka terhadap perasaan orang
lain, dan memiliki perasaan rendah diri yang kuat. Mereka biasanya sangat
membutuhkan pengakuan.
Kedua,
Faktor keluarga. Rumah tangga yang
dipenuhi kekerasan (entah antar orang tua atau pada anaknya) jelas berdampak
pada anak. Anak, ketika meningkat remaja, belajar bahwa kekerasan adalah bagian
dari dirinya, sehingga adalah hal yang wajar kalau ia melakukan kekerasan pula.
Sebaliknya, orang tua yang terlalu melindungi anaknya, ketika remaja akan
tumbuh sebagai individu yang tidak mandiri dan tidak berani mengembangkan
identitasnya yang unik. Begitu bergabung dengan teman-temannya, ia akan
menyerahkan dirinya secara total terhadap kelompoknya sebagai bagian dari
identitas yang dibangunnya.
Ketiga,
Faktor sekolah. Sekolah
pertama-tama bukan dipandang sebagai lembaga yang harus mendidik siswanya
menjadi sesuatu. Tetapi sekolah terlebih dahulu harus dinilai dari kualitas
pengajarannya. Karena itu, lingkungan sekolah yang tidak merangsang siswanya
untuk belajar (misalnya suasana kelas yang monoton, peraturan yang tidak
relevan dengan pengajaran, tidak adanya fasilitas praktikum, dan sebagainya.)
akan menyebabkan siswa lebih senang melakukan kegiatan di luar sekolah bersama
teman-temannya. Baru setelah itu masalah pendidikan, di mana guru jelas
memainkan peranan paling penting. Sayangnya guru lebih berperan sebagai
penghukum dan pelaksana aturan, serta sebagai tokoh otoriter yang sebenarnya
juga menggunakan cara kekerasan (walau dalam bentuk berbeda) dalam “mendidik”
siswanya.
Ke-empat.
Faktor lingkungan. Lingkungan di antara rumah dan sekolah yang sehari-hari
remaja alami, juga membawa dampak terhadap munculnya perkelahian. Misalnya
lingkungan rumah yang sempit dan kumuh, dan anggota lingkungan yang berperilaku
buruk (misalnya narkoba). Begitu pula sarana transportasi umum yang sering
menomor-sekiankan pelajar. Juga lingkungan kota (bisa negara) yang penuh kekerasan.
Semuanya itu dapat merangsang remaja untuk belajar sesuatu dari lingkungannya,
dan kemudian reaksi emosional yang berkembang mendukung untuk munculnya
perilaku berkelahi.
Mengurai Benang Kusut
Saya yakin semua pihak yang terkait
degan pelajar, baik sekolah, kelurga, maupun masyarakat menginginkan agar
tawuran pelajar antar sekolah segera diatasi. Akan lebih efektif jika usaha
yang dilakukan adalah upaya preventif (pencegahan). Langkah penanganan atau
penindakan (kuratif) juga masih perlu untuk terapi dan menimbulkan efek jerah
pada para pelaku dan bagi para pelajar yang ingin coba-coba meniru melakukan tawuran.
Upaya
preventif tersebut dapat dilakukan dengan cara Pertama, penanaman
akhlak mulia pada para pelajar melalui program mengaji. Fakta menunjukkan bahwa
para pelajar yang terlibat tawuran adalah rata-rata berpendidikan SMP sampai
SMA. Masa-masa tersebut adalah masa yang labil di mana mereka dalam tahap
mencari jati diri. Faktanya, kebanyakan masa-masa usia itu dia tidak lagi ikut mengaji di
TPQ/Madarasah Diniyah (MAdin). Santri-santri TPQ atau Madin rata-rata usia TK
sampai SD, mereka yang sudah lulus SD sudah enggan mengaji lagi. Alasannya
sudah tamat Al Qur’an, malu berteman dengan anak kecil, atau sibuk dengan tugas
sekolah mereka. Padahal faktanya, tidak semua seperti itu. Masih banyak
anak-anak usia SMP/SMA yang belum bisa mengaji dan banyak juga mereka yang
tidak mengaji bukan karena mengerjakan tugas sekolah, tapi mereka pergi ke mal,
bioskop, maupun keluyuran yang tidak jelas ke mana.
Oleh
karena itu, gerakan remaja Indonesia mengaji harus digalakkan lagi, terutama
setelah maghrib. Jangan sampai jedah waktu antara maghrib sampai isya’
digunakan para remaja kita untuk ke mal, bioskop, atau di rumah melihat
tayangan sinetron horor, porno, hedonis yang jelas kontra produktif bagi
remaja. Sudah saatnya kita galakkan warisan mulia nenek moyang kita, yaitu
setelah maghrib mengaji. Dengan mengaji di antara waktu maghrib dan isya’ maka
insya Alloh setelah isya’ berlanjut dengan kegiatan belajar untuk persiapan
sekolah besoknya. Melalui ngaji setelah maghrib kita juga bisa menanamkan pesan
mulia tentang akhlak karimah pada remaja. Harapannya, selain tawuran, konsumsi
narkoba, pornografi, pornoaksi atau perilaku negatif lainnya, dapat dicegah.
Kedua, mengajarkan pada siswa bahwa
tidak ada masalah bisa selesai dengan menggunakan kekerasan. Kita tahu bahwa rata-rata usia
pelajar adalah masa labil. Mereka berpikirnya instan dan potong kompas. Mereka
juga mudah tersinggung dan putus asa. Maka jangan heran mereka bisa berkelahi
hanya gara-gara tatapan mata atau rebutan pacar. Oleh karena itu perlu penanaman sikap, bahwa
kekerasan bukan merupakan solusi, akan tetapi kekerasan pasti akan dibalas
dengan kekerasan juga. Maka tanamkan sikap saling menghargai antar sesama,
mengasihi yang lebih muda, dan menghormati yang lebih tua.
Ketiga, Melakukanan komunikasi dan
pendekatan secara khusus kepada para remaja/pelajar. Bisa jadi remaja yang
terlibat tawuran berangkat dari keluarga yang bermasalah (broken home) .
Mereka sudah kehilangan sosok ayah atau ibu yang dianggapnya ideal. Kemudian
mereka membawa masalah yang di rumah itu ke sekolah, di sekolah ketemu masalah
juga, maka dibawanya masalah itu di jalanan dengan tawuran. Dialog yang terbuka
antara orang tua/guru dan anak/pelajar sangat penting. Piranti dialogis
informal di keluarga dan di sekolah lewat wali kelas atau BK merupakan
kebutuhan untuk mencari jalan keluar
atas “kebuntuan” masalah pelajar/remaja.
Ke-empat. Mengajarkan, bahwa belajar ilmu
beladiri itu untuk menyelamatkan orang dan bukan untuk menyakiti orang lain.
Kita sering mendengar di beberapa daerah, kekerasan antar pelajar, bahkan antar
warga berawal dari perseteruan antar kelompok bela diri atau satgas ormas. Ada
kecenderungan dis-orientasi (penyimpangan) bahwa belajar beladiri itu untuk
gagah-gagahan, menang-menangan, atau untuk menjadi jagoan. Mereka lupa, bahwa
ilmu bela diri, sesuai namnya adalah berfungsi untuk membela diri dan
menyelamatkan orang lain. Misi bela diri yang seperti ini yang harus kita
tanamkan ke para remaja/pelajar kita.
Ke-lima.
Mengajarkan anti-kekerasan dengan prinsip keteladanan. Prinsip
keteladanan merupakan strategi pengajaran yang sangat mengena pada
pelajar/anak. Menyuruh anak untuk sholat sangat beda dengan mengajak anak untuk
sholat. Mengajak anak sholat merupakan sebuah contoh sederhana dari prinsip
keteladanan. Memberi contoh untuk tidak melakukan kekerasan di rumah atau di
sekolah bagi guru atau orang tua adalah sebuah pengajaran yang jitu daripada
kita menyuruh anak tidak tawuran, sementara adegan kekerasan kita pertontonkan
di depan anak/pelajar kita. Sesungguhnya keteladanan ini cukup berat, tapi
mudah-mudahan menjadi ringan kalau kita mau terus mencoba.
Ke-enam. Memberikan
reward dan punishment. Penghargaan dan sangsi adalah dua kata
yang saling melekat walaupun fungsinya beda. Reward adalah penghargaan
bagi remaja/pelajar kita yang berprestasi sementara punishment adalah
pemberian sangsi bagi mereka yang melanggar. Di lingkungan keluarga, masyarakat,
dan sekolah perlu memprogramkan reward dan punishment bagi
anak/pelajar dengan semangat mendidik. Seperti di keluarga, orang tua
memberikan hadiah tas dan sepatu baru kalau anaknya hafal juz amma atau
sebaliknya anak di beri sangsi menyapu sendiri jika mereka mengotori lantai
rumah. Hadiah tas dan sepatu baru dimaksudkan memotivasi semangat berpretasi
mereka sedangkan sangsi menyapu lantai yang dikotorinya sendiri bermakna
beratanggungjawab atas kesalahannya. Keduanya Memiliki nilai mendidik. Rata-rata
remaja/pelajar yang terlibat tawuran
adalah remaja yang miskin kegiatan yang pada khirnya berujung miskin prestasi.
Jika kita mau melibatkan remaja/pelajar
kita untuk mengikuti kegiatan/acara yang
positif di tengah keluarga, masyarakat, dan sekolah kita, maka akan
meminimalkan mereka melakukan tindakan yang negatif. Apalagi dalam momen tersebut dibuatkan kegiatan
yang disukai para remaja, seperti olah raga, atau kegiatan atraktif lainnya dan
diberi hadiah, berawal dari situ mereka akan termotivasi. Di samping itu
pemberian sangsi yang tegas bagi para remaja/siswa yang melanggar harus juga
ditegakkan. Sangsi/hukuman yang mendidik lebih berarti pada pertanggungjawaban
atas kesalahannya dan menimbulkan efek jerah untuk tidak mengulangi kesalahannya
lagi, termasuk bagi mereka yang ingin coba-coba ikut terlibat dalam tawuran.
Kita do’akan, mudah-mudahan generasi remaja kita menjadi generasi emas yang
jauh dari kekerasan dan menjadi generasi muda yang kreatif dan prestatif,
Amiin, Wallohua’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar