Oleh:
Mishad*
Kemendikbud masih mencium potensi
pelanggaran pada masa pendaftaran
siswa baru (PSB) tahun ajaran
2012 – 2013 . Untuk itu kemendikbud
sedang menyusun data base sekolah-sekolah nakal yang nanti bisa diakses
masyarakat. Proyek tersebut akan dikomandoi oleh jajaran inspektorat jenderal (Itjen) Kemendikbud yang
diketuai mantan pimpinan KPK Haryono Umar. Tim ini dibentuk atas intruksi
Mendikbud, Muhammad Nuh untuk mengawasi jalannya proses PSB. “Saya masih mendengar masih terus terjadi
pungutan-pungutan dalam penerimaan siswa baru”
kata Haryono Umar (Jawa Pos, 25/6/2012).
Juni sampai
awal bulan Juli ini adalah rentang waktu ramai-ramainya orang tua mendaftarkan
anaknya sekolah. Ketika mencari sekolah,
mayoritas orang tua memilihkan anaknya ke sekolah yang dianggapnya baik. Baik
menurut kebanyakan masyarakat sering dikatakan sebagai sekolah unggulan atau
favorit. Tentu saja kriteria yang
dipatok oleh sekolah-sekolah unggulan dalam menentukan calon siswa barunya sangat
elitis. Selain dengan NUN (Nilai Ujian Nasional) yang tinggi, mereka juga
mensyaratkan berkas lain, seperti nilai raport, piagam penghargaan dalam prestasi
akademik maupun non akademik. Bahkan ada
sekolah “favorit” yang mensyaratkan calon siswa barunya untuk mengikuti tes
seleksi akademik dan psikologis, tanpa mensyaratkant NUN.
Rentetan
alur penerimaan siswa baru belum berhenti sampai di sini. Setelah dinyatakan
diterima, maka orang tua calon siswa baru juga harus menyiapkan “sesuatu” yang
lain. “Sesuatu“ yang saya maksud adalah biaya seragam,
alat-alat penunjang pendidikan, dan dana sumbangan pendidikan (baca:uang
gedung). Memang, ada beberapa pemerintah daerah yang melarang adanya “pungutan “ yang dilakukan oleh
sekolah, terutama sekolah negeri kepada calon siswa barunya. Tetapi
kenyataannya, di lapangan dana sumbangan pendidikan itu tetap ada
(baca:dipungut). Istilah yang dipakai oleh sekolah untuk menghimpun dana
tersebut masing-masing satuan pendidikan berbeda, tapi pada intinya sama yaitu
menggalang dana swadaya masyarakat. Tapi anehnya, tingginya biaya yang dipatok
oleh beberapa sekolah “favorit”, tidak menyurutkan minat orang tua. Mereka rela
merogoh koceknya dalam-dalam demi
“kebutuhan pendidikan berkualitas” untuk anaknya. Pendidikan berkualitas yang
dimaksud adalah pendidikan di sekolah unggulan atau favorit.
Mengapa Ada Pungutan?
Sekarang, di Indonesia
istilah sekolah unggulan lagi ngetren, baik di jenjang pendidikan pra-sekolah,
dasar, dan menengah. Istilah yang digunakan sebagai sebutan sekolah unggul pun
bergam, mulai dari sekolah plus, full day school, sekolah satu
atap, sekolah terpadu atau boarding school. Maka, muncullah SD/MI Unggulan,
SMP/MTs Unggulan atau SMA/MA Uggulan, yang tidak hanya didominasi oleh
sekolah-sekolah negeri saja. Beberapa sekolah tersebut menawarkan
program-program pendidikan yang beragam, mulai plus agama, plus teknologi dan
keterampilan, plus penginapan, hingga plus penguasaan bahasa internasional.
Cara mempromosikan sekolah-sekolah mereka pun bervariasi, mulai dari pasang
iklan atau advertorial di media
cetak, hingga promosi ke sekolah-sekolah di jenjang bawahnya, seperti dari SMA/MA
turun ke SLTP/MTs, dari SLTP/MTs turun ke SD/MI atau dari SD/MI turun ke TK-TK. Promosi
tersebut tentu tidak semata-mata hanya untuk menjaring murid baru, akan tetapi untuk menjemput murid-murid
yang berkualitas, diharapkan mereka kelak makin mendongkrak nama
sekolah.Perkembangan sekolah unggulan (excelent schools) di Indonesia,
sekarang banyak dirintis oleh sekolah-sekolah swasta.
Sekolah unggulan atau
favorit yang sekarang merebak bak cendawan di musim hujan itu pun bercirikhas
hampir mirip, seperti ditandai dengan biaya yang tinggi, fasilitas yang serba
luks, elitis, eksklusif, dan dikelolah oleh tenaga yang dikondisikan profesional. Jadi biaya pendidikan yang
tinggi merupakan hal wajar yang
ditemukan di sekolah-sekolah favorit. Biaya itu digunakan untuk mencapai dua
variabel penting sekolah unggul, yaitu prestasi akademik dan non akademik yang
tinggi. Oleh karena itu sekolah membutuhkan banyak fasilitas penunjang.
Fasilitas tersebut seperti adanya kurikulum yang fungsional dan profesional.
Selain itu juga diperlukan fasilitas belajar yang memadai, desain pengajaran
modern, kompetisi dan komitmen guru yang tinggi, penyaluran bakat dan minat
secara individual yang bertujuan mengembangkan aspek sosial dan akademik murid.
Untuk
memenuhi kebutuhan sekolah unggul yang kompleks, maka sangat dimungkinkan
sekolah tersebut akan terus berbenah, tidak ada kata puas bagi mereka, yang ada
adalah bagaimana terus maju dan berinovasi. Jika sarana maupun pra sarana
tertentu sudah terpenuhi, maka harus melengkapi yang lain dan begitu seterusnya
untuk mengikuti perkembangan dunia pendidikan. Di sekolah unggul selalu muncul
inovasi pendidikan yang tiada henti. Pemenuhan dukungan sarana dan pra sarana
inilah yang membutuhkan dana yang tidak sedikit. Sehingga jangan heran kalau di
sekolah unggulan dibutuhkan biaya pendidikan yang cukup tinggi.
Mahalnya
dana pendidikan juga tidak lepas dari masih minimnya dana subsidi pemerintah
untuk sekolah. Dana DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran) yang diberikan pemerintah
untuk sekolah hanya mampu memenuhi standar pendidikan minimal bukan kebutuhan
untuk sekolah “unggulan”. Sehingga jika sekolah ingin mencapai pendidikan yang
lebih berkualitas (unggul), maka
diperlukan sumber dana penunjang lain, dan salah satunya adalah dana
swadaya masyarakat. Penghimpunan dana swadaya masyarakat ini yang menjadi
polemik di masyarakat dan berujung pada pelarangan oleh beberapa kepala pemerintah
daerah terhadap penarikan dana sumbangan oleh sekolah kepada orang tua calon siswa
barunya.
Win Win Solution
Kalau kita amati, sorotan masyarakat
terhadap permasalahan penerimaan siswa baru (PSB) mengerucut pada masalah dana
sumbangan pendidikan yang tinggi. Banyak
masyarakat, terutama kelas rendah (miskin) yang mengeluhkan tingginya biaya
pendidikan yang harus dibayarnya ketika memasuki sekolah favorit. Jangan heran
kalau konsumen sekolah favorit banyak didominasi oleh kalangan menengah ke
atas. Ini antara lain karena mahalnya biaya pendidikannya. Sehingga masyarakat
kelas rendah hanya mampu bersekolah di sekolah-sekolah yang kualitasnya apa
adanya. Jika fakta demikian yang terjadi, maka muncullah kasta-kasta dan
ketidak adilan dalam dunia pendidikan.
Untuk mengurai dan mencari jalan
keluar permasalahan tersebut diperlukan beberapa solusi yang saling
menguntungkan (win win solution),
baik bagi pihak sekolah, pemerintah maupun masyarakat atau wali murid
(miskin/kaya). Pertama, mengusahakan sumber dana alternatif. Sudah waktunya
kita berpikir untuk berorientasi ke depan dalam pendanaan sekolah. Sehingga
sebuah sekolah diharapkan tidak menitikberatkan pendanaan bantuan sumbangan
pendidikan dari wali/orang tua murid. Sumber dana tersebut bisa kita usahakan dari sponshor. Seperti melibatkan sponshor
dari perusahaan untuk kemajuan pendidikan. Dana dari sponshor itu diberikan
untuk bantuan beasiswa, tunjangan studi guru
ataupun bantuan infrastruktur pada sekolah-sekolah yang membutuhkan.
Adapun imbalan untuk sponshor mereka bisa memasang ikon ataupun simbol
perusahaannya di souvenir sekolah, bahkan merekrut lulusannnya untuk bekerja di
perusahaannya. Contoh, di SMAN 10 Malang, ada program kemitraan dengan PT.
Sampoerna dengan ikon Sampoerna Academy
Foundation.
Kedua, mengatur manajemen keuangan sekolah
secara lebih efektif dan efisien. Kita yakin tidak ada sekolah yang tidak ingin
punya sarana prasarana sekolah yang luks dan memadai. Kita juga yakin tidak ada
sekolah yang merasa cukup dan puas dengan fasilitas yang ada. Akan tetapi perlu
dipertimbangkan apabila keinginan untuk membuat proyek mercusuar sekolah yang
menyedot dana besar, kemudian kita hanya menggantungkan sepenuhnya pada bantuan
orang tua/wali siswa. Bagi orang tua siswa yang mampu mungkin tidak menjadi
masalah, tapi bagaimana bagi mereka yang kurang mampu walaupun dengan mencicil.
Kurang bijaksana jikalau pihak sekolah, apalagi sekolah negeri menerapkan
kebijakan yang setengah mendoktrin, seperti kalau tidak mampu membayar ya sudah
silahkan mencari sekolah lain. Lebih-lebih nilai tes anaknya memenuhi syarat
sedangkan ia secara ekonomi memang tidak mampu. Jelas bila terjadi hal yang
demikian, pihak sekolah perlu turut membantu mencarikan alternatif
pendanaannya. Atau paling tidak memberikan kebijakan yang lebih lunak dan
koordinatif dalam pembiayaan. Singkatnya perlu skala prioritas dalam pembiyaan
program dan batasan nilai dana seminimal mungkin yang dihimpun dari orang tua
siswa.
Ketiga,
Mengusahakan pendanaan melalui subsidi silang. Bagi masyarakat yang
berpendapatan lebih (kaya), dapat membantu yang berpendapatan rendah (miskin) melalui
mekanisme subsidi silang atau memberikan sumbangan cuma-cuma pada murid
yang betul-betul membutuhkan. Subsidi
silang merupakan solusi keadilan dalam pendanaan pendidikan. Tentunya tidak
adil jika siswa yang orang tuanya mampu harus membayar dengan nilai yang sama dengan
siswa yang orang tuanya tidak mampu/miskin. Adapun teknik subsidi silang dapat
dilaksanakan secara humanis di masing-masing sekolah.
Ke-empat, mengusahakan pendidikan negeri adalah
pendidikan yang berkualitas, tetapi terjangkau biayanya oleh masyarakat. Hal
ini bermakna, sudah saatnya pemerintah benar-benar membela kepentingan
pendidikan “wong cilik” . Pemerintah seharusnya mensubsidi penuh biaya
operasional dan pengembangan sekolah negeri, sehingga seluruh kebutuhan sekolah
negeri terpenuhi. Selain itu, ketika sekolah negeri yang berkualitas itu murah,
masyarakat bawah bisa menikmatinya. Sekolah negeri yang menghimpun dana dari
orang tua rata-rata karena ingin
meningkatkan kualitas lebih sekolah (lebih unggul). Sementara jika
mengandalkan dana dari pemerintah untuk
pengembangan sekolah, maka sangat
terbatas.
Lalu bagaimana dengan pendidikan anak
orang kaya? Munculnya lembaga pendidikan swasta unggulan, seperti Pelita
Harapan, Al-Azhar, Al Hikmah, Sabilillah, Al Falah, Petra, Cor Jesu, santa
Maria, dan lain-lain perlu untuk
ditumbuhkembangkan. Orang-orang kaya harus men-suport tumbuhnya lembaga-lembaga pendidikan swasta yang
berkualitas. Artinya, orang tua yang kaya tidak akan keberatan untuk
menyekolahkan anaknya ke sekolah swasta unggulan—walaupun dana pendidikannya
tinggi. Kesimpulannya, kita ciptakan kondisi pendidikan berkualitas untuk
semua. Masyarakat lapisan menengah ke bawah menikmati pendidikan berkualitas di
sekolah negeri—karena disubsidi penuh oleh pemerintah. Sementara, masyarakat
menengah ke atas menikmati pendidikan berkualitas di sekolah swasta
unggulan—karena mereka mampu memenuhi biaya pendidikannya. Adapun jika ada anak
orang kaya yang sekolah di sekolah negeri, maka bisa memberikan dana subsidi untuk
mensuport siswa miskin. Ini ide saya dalam
tataran wacana yang perlu dikritisi.
Pada akhirnya semua pihak harus bekerjasama untuk mencari
jalan keluar tentang fenomena penerimaan siswa baru (PSB) ini, terutama di
sekolah unggulan. Tentu saja solusi tersebut adalah solusi bijak dan saling
menguntungkan bagi pihak sekolah, pemerintah maupun wali murid. Ingat,
pendidikan di Indonesia bertujuan mencerdaskan anak bangsa, tidak membedakan
anak orang kaya atau miskin. Dalam pasal 31 ayat 1 UUD 1945 pun dijelaskan
semua warga negara berhak mendapatkan pengajaran. Di situ tidak dijelaskan,
bahwa pengajaran yang favorit untuk orang kaya dan pengajaran yang seadanya
untuk orang miskin. Mestinya pendidikan berkualitas adalah untuk semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar