Oleh:
Mishad*
Sebut saja Andik, murid kelas 2 dari
sebuah Sekolah Dasar (SD) negeri di kota Malang ini merengek ke orang tuanya. Dia minta
dibelikan jeruk Bali untuk dijadikan bahan tugas dari gurunya untuk membuat
alat permainan mobil-mobilan yang bahannya harus dari kulit jeruk Bali. Bahan
kulit jeruk Bali tersebut harus dibawa Andik besok hari. Prapto, sebut saja
ayah Andik mencari jeruk Bali ke sana kemari, termasuk ke pasar buah ternyata
buah jeruk Bali tidak ditemukannya, karena belum masa panen. Oleh seorang
pedagang buah di pasar, Prapto disarankan mencari buah jeruk Bali ke
supermarket yang katanya kadang persediaannya masih ada. Akhirnya ketemu juga
buah jeruk Bali di sebuah supermarket dengan harga per kilo-nya 25 ribu rupiah,
yang biasanya di pasar per kilo-nya hanya 15 ribu rupiah. “Alhamdulillah” ucap Prapto legah sambil merogoh uang di sakunya untuk membayar 1 kilo jeruk Bali
yang di belinya. Sambil garuk-garuk kepala karena merasa kemahalan, Prapto yang
berprofesi ojek itu bergegas pulang untuk memberikan buah jeruk tersebut untuk
bahan tugas sekolah Andik, anaknya.
Cerita tersebut adalah salah satu cerita
betapa sibuknya murid SD dan orang tuanya sekarang menghadapi mata pelajaran
tematik yang kadang masih diterapkan secara tekstual oleh sebagian guru SD. Tekstual
maksudnya adalah menyampaikan materi dan tugas persis seperti yang ada di buku
yang seluruh Indonesia isinya sama. Padahal kondisi di tiap-tiap daerah berbeda,
artinya mestinya materi dan tugas untuk siswa disesuaikan dengan kondisi
daerah. Semisal pada saat di buku tertulis praktek membuat mobil-mobilan dari
bahan kulit jeruk Bali, maka bisa diganti dengan tugas membuat mobil-mobilan
dari kulit buah-buahan. Artinya tidak harus dari buah tertentu, supaya bahannya
mudah didapatkan dan tidak sampai membayar mahal. Tetapi dengan catatan
kompetensi dasar (KD) siswa tetap tercapai.
Kita lihat, hampir tiap hari murid SD
mendapat tugas untuk membawa bahan atau peralatan ini dan itu ke sekolah untuk
mengikuti mata pelajaran tema tertentu. Lebih tragis lagi kalau tugas itu
diberikan hari ini dan harus dibawa/dikumpulkan besok harinya. Alhasil si anak
dan orang tuanya kelabakan mencarikan bahan dan perlatannya pada sore atau
malam harinya. Tujuan guru untuk menugasi muridnya tentu saja benar dan mengacu
sesuai KD, tapi jika tidak dikelola dengan mempertimbangkan waktu, situasi dan kondisi tempat yang tepat, maka justru akan
merepotkan dan kontra produktif, baik ditinjau
dari sudut waktu maupun finansial peserta didik, seperti cerita tugas dari
kulit buah jeruk Bali di atas.
Kita sebagai seorang guru, tidak hanya
guru SD, juga harus memahami materi di buku pedoman mengajar secara kontekstual
tidak tekstual. Menyajikan materi secara tekstual, terutama dalam mencontohkan
sebuah kondisi atau objek tertentu akan semakin menjauhkan siswa terhadap
hal-hal nyata yang sebenarnya sudah ada di sekitarnya. Di Malang, berbicara
tentang pencemaran sungai, tentunya lebih pas kalau bicara tentang pencemaran
sungai Brantas dari pada cerita tentang pencemaran sungai Amazon di Brazil atau
sungai Ciliwung di Jakarta. Karena sungai Brantas ada di sekitar warga atau
siswa Malang. Siswa di Malang jelas lebih tahu “secara natural” tentang sungai
Brantas dari pada sungai di negara atau kota lain, termasuk mungkin tentang tingkat
pencemarannya.
Dalam memberikan tugas ke siswa juga
harus mengutamakan pendekatan kontekstual. Menugaskan siswa untuk membuat
laporan observasi tentang sejarah tari Topeng akan lebih kontekstual daripada
menugasi siswa untuk membuat laporan observasi tentang tari Kecak atau tari
Capoeira. Mereka bisa lebih dekat dan tahu sumber laporan yang ditulisnya
karena tari Topeng memang berasal dari Malang. Saya yakin sumber laporan
observasi siswa Malang tentang tari Topeng akan lebih primer daripada ketika
ditugasi menyajikan hasil observasi tentang tari Kecak atau tari Capoeira.
Pendekatan kontekstual dalam menyajikan
materi dan memberikan tugas ke siswa mestinya sudah menjadikan sebuah keharusan
bagi guru. Jangan sampai siswa tidak paham tentang potensi lingkungan yang ada
di sekitarnya, baik lingkungan alam maupun lingkungan sosial. Sebagai sebuah temuan, saya pernah menjumpai
siswa kelas XII MA atau SMA yang tidak tahu di kelurahan/ desa mana dia tinggal.
Dia juga tidak tahu, ketika ditanya
siapa nama walikotanya? Padahal dua hal tersebut mestinya sudah umum untuk
dimengerti.
Realitas tersebut merupakan bukti yang
cukup tendensius bagi kita sebagai seorang guru yang kurang berhasil menerapkan
pendekatan kontekstual dalam sebuah pembelajaran pada siswa kita. Oleh karena
itu sebagai guru mari kita mengajarkan materi yang global dan standar
internasional tetapi kita tetap harus menyajikan contoh atau fakta-fakta yang
ada di sekitar kita. Obyek daerah dan bahan-bahan ajar yang kita praktekkan
dengan murid kita juga harus mendahulukan yang ada di sekitar kita. Pendekatan
kontekstual tidak cukup hanya diterapkan pada materi pelajaran muatan lokal,
akan tetapi harus pada materi-materi lain yang memang relefan. Setelah
mengakomodasi materi dan fakta/contoh yang ada di sekitar baru kita meluas pada
materi dan fakta/contoh yang global. Mari kita coba! Wallohua’lam.
*
Penulis adalah guru dan aktif di Litbang Penjaminan Mutu MAN 2 Kota Malang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar