Pengikut

Rabu, 31 Januari 2018

Cerita Jeruk Bali dan Pembelajaran Kontekstual

Oleh:
Mishad*
Sebut saja Andik, murid kelas 2 dari sebuah Sekolah Dasar (SD) negeri di kota Malang  ini merengek ke orang tuanya. Dia minta dibelikan jeruk Bali untuk dijadikan bahan tugas dari gurunya untuk membuat alat permainan mobil-mobilan yang bahannya harus dari kulit jeruk Bali. Bahan kulit jeruk Bali tersebut harus dibawa Andik besok hari. Prapto, sebut saja ayah Andik mencari jeruk Bali ke sana kemari, termasuk ke pasar buah ternyata buah jeruk Bali tidak ditemukannya, karena belum masa panen. Oleh seorang pedagang buah di pasar, Prapto disarankan mencari buah jeruk Bali ke supermarket yang katanya kadang persediaannya masih ada. Akhirnya ketemu juga buah jeruk Bali di sebuah supermarket dengan harga per kilo-nya 25 ribu rupiah, yang biasanya di pasar per kilo-nya hanya 15 ribu rupiah. “Alhamdulillah” ucap Prapto legah sambil merogoh uang  di sakunya untuk membayar 1 kilo jeruk Bali yang di belinya. Sambil garuk-garuk kepala karena merasa kemahalan, Prapto yang berprofesi ojek itu bergegas pulang untuk memberikan buah jeruk tersebut untuk bahan tugas sekolah Andik, anaknya.
            Cerita tersebut adalah salah satu cerita betapa sibuknya murid SD dan orang tuanya sekarang menghadapi mata pelajaran tematik yang kadang masih diterapkan secara tekstual oleh sebagian guru SD. Tekstual maksudnya adalah menyampaikan materi dan tugas persis seperti yang ada di buku yang seluruh Indonesia isinya sama. Padahal kondisi di tiap-tiap daerah berbeda, artinya mestinya materi dan tugas untuk siswa disesuaikan dengan kondisi daerah. Semisal pada saat di buku tertulis praktek membuat mobil-mobilan dari bahan kulit jeruk Bali, maka bisa diganti dengan tugas membuat mobil-mobilan dari kulit buah-buahan. Artinya tidak harus dari buah tertentu, supaya bahannya mudah didapatkan dan tidak sampai membayar mahal. Tetapi dengan catatan kompetensi dasar (KD) siswa tetap tercapai.
Kita lihat, hampir tiap hari murid SD mendapat tugas untuk membawa bahan atau peralatan ini dan itu ke sekolah untuk mengikuti mata pelajaran tema tertentu. Lebih tragis lagi kalau tugas itu diberikan hari ini dan harus dibawa/dikumpulkan besok harinya. Alhasil si anak dan orang tuanya kelabakan mencarikan bahan dan perlatannya pada sore atau malam harinya. Tujuan guru untuk menugasi muridnya tentu saja benar dan mengacu sesuai KD, tapi jika tidak dikelola dengan mempertimbangkan waktu, situasi dan  kondisi tempat yang tepat, maka justru akan merepotkan dan kontra produktif, baik  ditinjau dari sudut waktu maupun finansial peserta didik, seperti cerita tugas dari kulit buah jeruk Bali di atas.
Kita sebagai seorang guru, tidak hanya guru SD, juga harus memahami materi di buku pedoman mengajar secara kontekstual tidak tekstual. Menyajikan materi secara tekstual, terutama dalam mencontohkan sebuah kondisi atau objek tertentu akan semakin menjauhkan siswa terhadap hal-hal nyata yang sebenarnya sudah ada di sekitarnya. Di Malang, berbicara tentang pencemaran sungai, tentunya lebih pas kalau bicara tentang pencemaran sungai Brantas dari pada cerita tentang pencemaran sungai Amazon di Brazil atau sungai Ciliwung di Jakarta. Karena sungai Brantas ada di sekitar warga atau siswa Malang. Siswa di Malang jelas lebih tahu “secara natural” tentang sungai Brantas dari pada sungai di negara atau kota lain, termasuk mungkin tentang tingkat pencemarannya.
Dalam memberikan tugas ke siswa juga harus mengutamakan pendekatan kontekstual. Menugaskan siswa untuk membuat laporan observasi tentang sejarah tari Topeng akan lebih kontekstual daripada menugasi siswa untuk membuat laporan observasi tentang tari Kecak atau tari Capoeira. Mereka bisa lebih dekat dan tahu sumber laporan yang ditulisnya karena tari Topeng memang berasal dari Malang. Saya yakin sumber laporan observasi siswa Malang tentang tari Topeng akan lebih primer daripada ketika ditugasi menyajikan hasil observasi tentang tari Kecak atau tari Capoeira.
Pendekatan kontekstual dalam menyajikan materi dan memberikan tugas ke siswa mestinya sudah menjadikan sebuah keharusan bagi guru. Jangan sampai siswa tidak paham tentang potensi lingkungan yang ada di sekitarnya, baik lingkungan alam maupun lingkungan sosial.  Sebagai sebuah temuan, saya pernah menjumpai siswa kelas XII MA atau SMA yang tidak tahu di kelurahan/ desa mana dia tinggal.  Dia juga tidak tahu, ketika ditanya siapa nama walikotanya? Padahal dua hal tersebut mestinya sudah umum untuk dimengerti.
Realitas tersebut merupakan bukti yang cukup tendensius bagi kita sebagai seorang guru yang kurang berhasil menerapkan pendekatan kontekstual dalam sebuah pembelajaran pada siswa kita. Oleh karena itu sebagai guru mari kita mengajarkan materi yang global dan standar internasional tetapi kita tetap harus menyajikan contoh atau fakta-fakta yang ada di sekitar kita. Obyek daerah dan bahan-bahan ajar yang kita praktekkan dengan murid kita juga harus mendahulukan yang ada di sekitar kita. Pendekatan kontekstual tidak cukup hanya diterapkan pada materi pelajaran muatan lokal, akan tetapi harus pada materi-materi lain yang memang relefan. Setelah mengakomodasi materi dan fakta/contoh yang ada di sekitar baru kita meluas pada materi dan fakta/contoh yang global. Mari kita coba! Wallohua’lam.
* Penulis adalah guru dan aktif di Litbang Penjaminan Mutu MAN 2 Kota Malang


Tidak ada komentar: