Oleh:
Mishad
Kira-kira sudah 2 jam saya berkeliling
di sebuah sekolah yang lahannya cukup luas dan berasrama. Karena badan sudah capek
saya berteduh di area kantin sekolah unggulan SMKA Hamidiah Kajang, negeri Selangor
yang memiliki luas lahan sekitar 27 hektar itu. “Mas-mas saking pundi?” sapa
seorang petugas kebersihan kantin pada saya dan pak En Efendi, seorang teman. “Saking
Malang, Jawa Timur mas” sahut kami berdua. Terus terang saya agak kaget karena
saya tidak mengira kalau cleaning service
(CS) itu ternyata masih teman sebangsa.
Terus terang, antara salut dan kasihan, saya
melihat bapak muda ini harus merantau menjadi
TKI ke negeri jiran Malaysia, hanya untuk sebuah pekerjaan CS. Saya sempat
bertanya tentang berapa gajinya. “Sehari saya digaji 50 ringgit mas” kata Budi,
sebut saja TKI ini sambil menyuguhi kami 2 gelas minuman. Lumayan besar juga
kalau dirupiahkan, hampir sekitar 200 ribu rupiah perhari. Tapi biaya hidup di
sana juga mahal. Sekali makan dengan menu standar saja sekitar 10 ringgit atau
hampir 40 puluh ribu rupiah. Belum lagi mereka harus mencukupi kebutuhan
lainnya. Singkatnya, gaji Budi cukup besar tapi pengeluarannya juga tidak kalah
besar.
Ternyata TKI yang bekerja di sekolah itu
tidak hanya dia. Kami juga sempat dikenalkan Budi dengan juru masak kantin asal
Tuban dan sejumlah tukang bangunan dari beberapa daerah di Jawa Timur. Saya
lebih prihatin lagi ketika mereka menyebut dirinya “budak/belia”. “Budak/belia”
adalah sebutan TKI kasar yang bekerja di Malaysia. Ada juga orang Malaysia yang
menyebut para TKI itu dengan sebutan “Indon”. Kayaknya sebutan-sebutan itu
kurang layak bagi martabat dan kehormatan WNI, terutama TKI di sana.
Menurut saya, tantangan terberat bagi
mereka tidak hanya karena faktor harga diri dan ekonomi, tapi juga jaminan
keamanan dan faktor psikologis mereka yang jauh dari keluarga mereka di
Indonesia. Kisah singkat Budi ini adalah salah satu potret dari ratusan ribu
TKI yang bekerja di Malaysia. Atau
bahkan jutaan TKI yang bertebaran di seluruh dunia. Kita juga sering mendengar
dan melihat berita, banyak TKI yang diperlakukan tidak manusiawi oleh
majikannya, bahkan ada yang harus rela mati dihukum pancung.
Sebenarnya, menjadi tenaga kerja di luar
negeri tidak hanya tren bagi warga
negara Indonesia, tapi juga terjadi pada warga negara Malaysia. Ketika pagi
hari saya melintas dari perbatasan Malaysia (Johor Baharu) – Singapura, ada
pemandangan yang sangat menarik. Ribuan kendaraan, mayoritas sepeda motor padat
merayap memasuki wilayah Singapura. Mereka adalah pekerja asal Malaysia yang
setiap hari pergi ke tempat kerjanya di Singapura. Di jok belakang sepeda
mereka dipasang box yang ternyata isinya adalah makanan. Mereka membawa makanan
dari Malaysia karena makanan di Singapura cukup mahal, yaitu sekitar 6 dollar,
atau hampir 60 ribu rupiah sekali makan. Jika mereka berbekal dari rumah, maka
bisa sedikit berhemat.
Para pekerja harian asal Malaysia ini
mengejar dollar Singapura yang nilainya cukup fantastis, yaitu 1 dollar Singapura
hampir bernilai 3 ringgit Malaysia. Bagi warga Malaysia bekerja di Singapura
gajinya bisa 3 kali lipat dari gaji bekerja di Malaysia. Keuntungan pekerja
lintas perbatasan ini adalah karena mereka mendapatkan gaji Singapura tapi
tetap bertempat tinggal di Malaysia. Sehingga penghasilannya besar tapi
pengeluarannya bisa ditekan. Tapi, benarkah bekerja itu hanya semata-mata menghitung keuntungan materi
saja? Tentu saja tidak.
Ketika penerbangan pulang dari Kuala
Lumpur ke Surabaya, kebetulan saya duduk bersebelahan dengan TKI Malaysia asal
Surabaya. Sebut saja dia, Hasan. Hasan adalah TKI yang bekerja di perusahaan Plywood di Serawak, Malaysia Timur. Dia
sudah bekerja di Malaysia belasan tahun. Saya sempat bertanya tentang berapa
besar gajinya? Dia bilang 3000 ringgit sebulan atau sekitar 10 juta rupiah
lebih. Selain gaji, Hasan juga mendapatkan faslitas asrama/mess dan sekali
makan siang. Dia juga dapat jatah cuti setahun 12 hari plus pulang naik pesawat tapi baliknya perjalanan darat lewat
Kalimantan.
Ketika saya tanya tentang apakah nyaman
bekerja sebagai TKI di Malaysia? Dia hanya bilang “Ya harus nyaman, gimana
lagi”. Tapi dia tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Iya sadar kalau
tidak selamanya dia harus menjadi TKI, apalagi kalau usianya sudah senja.
“Sebenarnya saya diminta isteri untuk bekerja di Surabaya saja mas, tapi saya
jadi mikir kerja apa?” curhat dia. Hasan sempat cerita kalau khawatir dengan
masa depan keluarganya. Maklum, 2 anaknya semakin beranjak besar dan semakin
naik jenjang sekolahnya. Istrinya juga sempat menyarankan agar dia kerja apa
adanya saja di Surabaya, sehingga masih bisa mengawasi dan mengantar
anak-anaknya ke sekolah. Kali ini dia balik ke Surabaya dengan perasaan
bimbang, apakah harus balik lagi menjadi TKI di Malaysia?
Dua orang yang saya ceritakan di atas
adalah TKI laki-laki yang nasibnya masih mending. Saya tidak bisa membayangkan
lagi ketika harus mengorek cerita dari TKW, apalagi kalau TKW tersebut
bermasalah di luar negeri. Berapa banyak TKW kita yang menjadi korban trafficking, penyiksaan, pemerkosaan,
dan kejahatan lainnya? Tampaknya bekerja di luar negeri dengan resiko yang
tinggi , seperti yang terjadi pada TKI dan TKW ini patut untuk dijadikan
pelajaran berharga bagi kita. Jangan sampai mencari nafkah harus memporak porandakan
masa depan keluarga, terutama anak-anak kita.
Bagi
TKI laki-laki seperti Budi dan Hasan tentu saja sedih rasanya jauh dari
keluarga, meski hal itu disebabkan untuk
memberikan masa depan ekonomi yang lebih baik bagi keluarga. Karena jarak yang
jauh juga membuat peranan bapak sebagai suami dan ayah menjadi terbatas,
termasuk tak dapat menjalankan kewajiban dalam memberikan nafkah batin kepada
isteri tercinta dalam jangka waktu yang demikian lama.
Dalam
Islam memang dianjurkan bagi seorang suami, jika harus meninggalkan isterinya
maka waktu maksimal yang diperbolehkan adalah 4 bulan. Hal ini pernah terjadi
di zaman kekhalifahan Umar bin Khatab ketika dia mendengar keluhan seorang
wanita yang ditinggalkan suaminya berjihad, wanita itu mengatakan jika bukan
karena rasa takut kepada Allah maka niscaya ranjang ini akan bergoyang. Sejak
itu Umar tidak memperbolehkan lelaki meninggalkan isterinya, meski untuk
berjihad, lebih dari 4 bulan.
Sedangkan
waktu iddah bagi seorang wanita yang
dicerai oleh suaminya adalah 3x masa sucinya, artinya batasan yang aman bagi
seorang wanita tidak menerima nafkah batin mungkin selama jangka waktu
tersebut. Tentu saja amat dipertimbangkan kembali, jika kunjungan suami kepada
keluarga yang hanya dilakukan setahun sekali, seperti yang dilakukan oleh Hasan.
Terlepas dari kerelaan isteri atas kondisi tersebut, kondisi seperti ini memang
sangat rentan terhadap konflik serta godaan. Selain masalah hubungan
suami-isteri, tentu komunikasi dan hubungan dengan anak pun jadi terbatas. Hal
tersebut tentu juga mempengaruhi perkembangan buah hati tercinta.
Bagi
TKW, jika dia punya suami tapi dia tetap bekerja ke luar negeri, maka hukumnya
tidak diperkenankan. Dalam masalah ini Imam Ibnu Qudamah menyatakan siapa saja
perempuan yang tidak punya mahram dalam perjalanan haji, tidak wajib naik haji.
Dalam hadits riwayat Bukhari Rasulullah SAW bersabda,"Tidak halal
perempuan yang beriman kepada Allah dan hari akhir melakukan perjalanan selama
sehari semalam kecuali disertai mahramnya.". Jika wanita ingin menjadi TKW
maka ajaklah suami dan keluarga anda, maka hukumnya menjadi boleh.
Karena
umumnya TKW tidak disertai mahram atau suaminya dalam perjalanannya ke luar
negeri, maka hukumnya menjadi tidak halal. TKW itu pun tetap dianggap musafir
yang wajib disertai mahram atau suaminya, selama dia tinggal di luar negeri
hingga dia kembali ke negeri asalnya (Indonesia). Ketidak halalan menjadi TKW
juga bisa ditinjau dari segi lain, yaitu keberadaan TKW telah menjadi
perantaraan munculnya berbagai kejahatan. Misalnya, terjadinya pelecehan
seksual, perkosaan, kekerasan, pembunuhan, pemotongan upah, dan pungutan liar.
Maka, menjadi TKW yang seperti inilah yang hukumnya diharamkan berdasarkan
kaidah fiqih Al-Wasilah ila al-Haram
Muharramah (segala perantaraan yang mengakibatkan terjadinya
keharaman, maka hukumnya haram).
Maka
sudah saatnya pemerintah Indonesia harus lebih berpikir dan bekerja keras
memperjuangkan nasib rakyatnya. Negeri
kita yang “gemah ripah loh jinawi” tentunya sangat menjanjikan bagi
pemerintah dan rakyatnya untuk mengelolanya dengan sebaik-baiknya. Jangan
sampai terjadi negeri yang seharusnya bisa menjamin kesejahteraan dan pekerjaan
bagi rakyatnya menjadi tidak bisa. Pemerintah wajib membuka lapangan pekerjaan
seoptimal mungkin untuk menjamin kesejahteraan rakyatnya. Jangan sampai karena tidak
mendapatkan kesejahteraan dan pekerjaan yang layak di negeri sendiri, maka
mereka lalu berbondong-bondong menjadi TKI/TKW ke luar negeri. Dengan menjamin
kesejahteraan dan pekerjaan yang layak, maka saya yakin mereka lebih suka
bekerja di negeri sendiri. Bukankah Rasulullah pernah bersabda bahwasannya sebaik-baik
tempat mencari rizki adalah di negeri sendiri. Wallohua’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar