Oleh:
Mishad
Khoiri
Ting … Ting ….Ting ….
pintu pagar besi itu kuketuk tiga kali menggunakan
ujung kuku. Tidak lama kemudian dari dalam, tampak pintu rumah berteralis itu terbuka. “Assalamu’alaikum” ucap saya serempak dengan
dua teman. Klak …. Terlihat seorang nenek mendongakkan kepalanya “Wa’alaikumsalam, Siapa
ya?“ jawab sang nenek sembari menyapa. “Kami dari mushola mau mengambil kaleng amal
mbah” jawab kami bertiga kompak. Sepertinya
sudah paham, Mbah Pandu, nama panggilan sang nenek kemudian membukakan pagar. Seperti
biasanya, beliau mempersilahkan kami masuk di teras rumah. Tidak lama kemudian,
beliau sudah muncul dari dalam rumah sambil menenteng kaleng amal berwarna
hijau tua dan langsung menyerahkan pada
kami.
Pak
Rofi, teman saya dengan sopan menerima dan membuka kaleng tersebut serta
memasukkan isinya ke kantung yang sudah
kami siapkan. “kropyak “ bunyi beberapa uang koin bercampur uang kertas yang
kelihatan berjatuhan ke kantung tersebut. “Terima kasih mbah, mudah-mudahan
barokah, diberi kesehatan, dan rezeki yang banyak” ucap Pak Mahali teman saya
yang lain sambil mendo’akan. “ Amiin,
sampeyan semua saya do’akan juga
demikian” ucap Mbah Pandu yang balik
mendo’akan kami. “ Amiin” sahut kami sambil pamit melanjutkan aktivitas rutinan
perbulan kami menghimpun dana untuk
pembangunan lantai dua mushola di komplek perumahan kami.
Walaupun
diamanahi sebagai ketua ta’mir, saya
tetap berusaha aktif di saat seksi pembangunan
sedang menggali dana. Kami juga menerapkan beberapa strategi lain dalam menghimpun
dana dan itu lebih besar hasilnya. Tapi menggali dana dengan menitipkan kaleng
amal ke rumah-rumah ternyata sarat akan makna. Selain bisa silaturrahim ke
rumah warga, ternyata banyak pelajaran berharga yang kami dapatkan dari
aktifitas ini. Mulai bagaimana menyapa, memotivasi, dan merasakan beragam
empati yang di tampakkan oleh warga. Intinya, semua akan menjadi indah jika
yang kita kedepankan adalah perasaan husnudhzon
kepada sesama dan menanamkan perasaan optimis pada teman-teman pengurus
ta’mir bahwa ini adalah tugas mulia. Lantaran kita mencari dana bukan untuk
diri kita tapi untuk mendirikan rumah Alloh.
Pengalaman lain ketika
menghimpun dana adalah adanya perbedaan respon dan besaran nilai sumbangan yang
kami terima. Ini tidak lain dipengaruhi oleh beragamnya tingkat kesadaran
dan status sosial warga yang tinggal di
blok perumahan kami. Profesi masyarakat yang tinggal di perumahan kami cukup
heterogen, mulai dari pegawai negeri, seperti guru, dosen, pegawai pajak,
pegawai pemkot/pemkab, dan lain-lain. Selain profesi tersebut ada juga pegawai
swasta dan wirausahawan. Alhamdulillah,
dari sekitar 80 kepala keluarga yang tingggal di blok kami, 95 persen beragama
Islam. Ada pengalaman menarik yang kami temukan di lapangan, yaitu tidak mesti
orang yang berstatus sosial menengah/rendah memiliki semangat dan kontribusi
yang menengah/rendah terhadap pembangunan mushola di blok kami. Buktinya, pernah
ada salah seorang warga yang rumahnya tidak mewah dan sekedar jualan kripik
serta makanan ringan menyumbang mushola kita sebesar 15 juta rupiah.
Pelajaran
berharga lain waktu mengggali dana adalah ketika melihat semangat beramal warga,
termasuk ketika melihat semangat Mbah Pandu. Keriput mukanya sama sekali tidak
menghalangi senyum bersahajanya kepada kami, setiap kali kami datang mengambil
kaleng amal. Janda tua yang harus repot mencukupi kebutuhannya sendiri itu masih sudi dengan rutin berinfaq melalui kaleng
amal. Bahkan kerapkali menanyakan ketika kami agak telat mengambil kaleng amalnya.
Ibadah sholatnya juga tekun, bahkan di rumahnya sering digunakan sebagai tempat
majelis pengajian dari jamaah dalam atau luar perumahan. Mungkin karena jiwa
kedermawanannya yang membuatnya tetap sehat walaupun umurnya sudah semakin
udzur. Sungguh…., kita patut iri jikalau
tidak memiliki semangat beramal seperti Mbah Pandu.
Apa yang dilakukan Mbah
Pandu tersebut menunjukkan sosok yang bersahaja dan dermawan. Walaupun usianya
sudah tua, ia tetap tekun beribadah. Di
sela-sela mencukupi kebutuhannya sehari-hari, janda yang hanya tinggal dengan
cucu laki-lakinya ini tetap menyisihkan uangnya untuk disumbangkan ke mushola. Aktivitas itu
dilakukan dengan keadaan dirinya yang sarat dengan keterbatasan. Mungkin ini
bisa dijadikan pengingat bagi kita untuk tetap selalu produktif beribadah dan
bekerja, termasuk menyisihkan uang dari hasil kerja kita untuk bersedekah dan supaya
kita juga punya jiwa dermawan. Terutama bagi kita yang masih muda dan memiliki
banyak kelonggaran.
Jika kita tulus
berupaya mengikuti ajaran agama maka secara otomatis kita akan memiliki jiwa
dermawan. Kita juga akan berusaha melakukan kebaikan kepada sesama dalam segala
kesempatan maupun keadaan. Ketika bersedekah, kita yakin, bahwa pemberian kita
tidak akan sia-sia, karena kita percaya kalau apa yang kita lakukan akan
dicatat oleh Alloh Ta’ala, sebagaimana termaktub dalam Al Qur’an surat Al
Baqarah ayat 273, Alloh Ta’ala berfirman “Dan
apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Alloh), maka
sesungguhnya Alloh Maha Mengetahui”
Kita juga percaya, bahwa ketika kita menyedekahkan uang
maka uang itu akan kembali kepada kita dalam bentuk yang bermacam-macam. Kita
juga yakin, bahwa Alloh akan melipatgandakan pahala kita di dunia dan di
akhirat kelak. Sebagaimana dalam surat Al Baqarah ayat 261, Alloh berfirman “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh)
orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Alloh adalah serupa dengan
sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji.
Alloh melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang dia kehendaki. dan Aloah Maha
luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui”
Ketika Sa’ad ibn Abi Waqqas sakit keras dan hampir
menemui ajalnya, Rasululloh Shollalohu ‘Alaihi
Wasallam mengunjunginya. Tahu bahwa Nabi Shollalohu ‘Alaihi Wasallam ada di sampingnya, Sa’ad bertanya kepada
beliau : “Wahai Rasululloh, aku memiliki banyak harta, dan aku hanya memiliki
dua anak perempuan untuk mewarisi hartaku. Haruskah aku memberikan dua pertiga
dari kekayaanku untuk disedekahkan?” Nabi Shollalohu
‘Alaihi Wasallam menjawab, “Tidak”. Dia bertanya “Haruskah aku menyedahkan
separoh?”. Nabi menjawab “Tidak”. Dia bertanya lagi, “Apakah sepertiga? Jawab
Nabi, “Berikanlah sepertiga, dan sepertiga itu sudah cukup banyak”. Kemudian
Rasululloh Shollalohu ‘Alaihi Wasallam
menegaskan, “Jika kamu meninggalkan anak keturunanmu sebagai orang kaya, itu
lebih baik daripada kamu menjadi orang miskin dan meminta-minta pada orang
lain. Kamu tidak memberikan sesuatu kecuali akan diberi pahala, sekalipun hanya
sepotong kue yang kau suapkan untuk istrimu.”
Maka
sudah jelas, bahwa bersikap dermawan adalah sangat mulia di hadapan Alloh
Ta’ala. Mbah Pandu yang hidup dengan penuh keterbatasan pun, berusaha dengan
keras untuk tetap bersedekah. Di tengah kehidupan ini, ternyata masih banyak
masyarakat miskin yang butuh uluran tangan kita, Jangan sampai ada kabar
saudara muslim kita menjual aqidahnya
dan pindah agama hanya lantaran dibayar dengan jatah sembako dan mie instant.
Naudzubillah! …… Mungkin saja itu terjadi karena kita sebagai teman se-aqidah
tidak turut membantu kesulitan mereka. Ada baiknya kita berguru ilmu lelaku
dari lelaku Mbah Pandu, yang masih rutin menyisihkan uang yang dimilikinya
untuk berjuang di jalan Alloh di tengah kehidupannya yang masih serba sulit.
Mudah-mudahan Alloh Ta’ala senantiasa memberikan rezeki berlimpah pada kita dan
mengkaruniakan pada kita untuk memiliki jiwa dermawan, amiin. Wallohua’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar