Pengikut

Kamis, 02 Juni 2011

Belajar dari Pengalaman SJ

Oleh:

Mishad Khairi

Syukron Jamil (SJ) dan Akhmad Munib (AM) adalah adik kelas saya waktu kuliah di Malang. Mereka berdua adalah teman akrab, maklum mereka dulu berasal dari satu sekolah yang sama, yaitu di sebuah Madrasah Aliyah Negeri di Lamongan. Di perkuliahan mereka masuk dalam satu fakultas yang sama, yaitu FPMIPA, walaupun dengan jurusan yang berbeda yaitu SJ di pendidikan Fisika dan AM di pendidikan Biologi.

Ketika itu, sekitar tahun 1990-an, kegiatan kerohanian di kampus begitu semarak. Muncul beberapa halqoh-halqoh kajian ke-islaman yang menjamur bak cendawan di musim hujan. Konon, munculnya semangat gerakan dakwah Islam di kampus itu dipengaruhi oleh keberhasilan revolusi Islam di Iran yang menjatuhkan tirani kekuasaan rezim Monarki di bawah Shah Mohammad Reza Pahlavi, menjadi Republik Islam yang dipimpin oleh Ayatullah Agung Ruhollah Khomeini, pemimpin revolusi dan pendiri Republik Islam Iran. Sering disebut pula "revolusi besar ketiga dalam sejarah," setelah Revolusi Perancis dan Revolusi Bolshevik. Keberhasilan inilah yang menginspirasi kaum muda Islam, terutama mahasiswa untuk menegakkan supremasi hukum islam dalam institusi resmi, yaitu menjadi suatu negara atau khilafah Islam.

Beberapa kelompok jama’ah dakwah bermunculan di kampus saat itu. Mulai Ikwanul Muslim (Tarbiyah) yang melahirkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Hizbut Tahrir (HT) sekarang HTI, Jama’ah Tabligh (JT), Salafi (sering disebut Wahabi-nya Indonesia), Darul Arqam (kemudian dibekukan pemerintahan Malaysia), dan lain-lain. Alhasil, Lembaga Dakwah Kampus (LDK) saat itu begitu semarak. Dalam dakwah terjadi kompetisi sehat “fastabiqul khoirot” diantara mereka, walaupun kadang terjadi insiden kecil di antara mereka akibat pebedaan tafsir dalam “manhaj dakwah”. Anggap saja itu adalah riak-riak kecil dan penyakit mereka dalam menjalankan dakwah di lapangan. Hingga kini, perjalanan dakwah kelompok-kelompok tersebut masih eksis dan berkembang di LDK se-Indonesia dengan misi yang sama, yaitu“Izzul Islam wal Muslimin”.

Di samping kelompok dakwah tersebut di atas ada jama’ah lain yang juga muncul dan dapat memikat minat mahasiswa. Ahmad Munib (AM) , adik kelas saya entah bagaimana sejarahnya telah menjadi anggota kelompok yang menamakan dirinya sebagai Negara Islam Indonesia (NII). AM tidak hanya ingin sendiri mengikuti NII dia ingin mengajak teman akrabnya Syukron Jamil (SJ) untuk mengikuti jejaknya. Tidak seberapa lama setelah merayu dan mendoktrin gagasannya, SJ menyatakan tertarik untuk mengikuti aliran sang teman. Tidak bisa dipungkiri, di hati SJ yang paling dalam masih terdapat misteri keraguan. Tapi coba aja lah, kata SJ dalam hatinya.

Selang beberapa hari, sesuai rencana AM, SJ, dan beberapa teman lain pergi ke sebuah kota di Jawa Barat untuk melakukan bai’at (baca:ikrar anggota baru). Mereka naik kereta api jurusan Malang-Jakarta. Setelah sampai di sebuah stasiun kereta, mereka berhenti. Sebuah mobil tampak menunggu di parkiran. Satu per satu mereka masuk ke sebuah mobil Kijang lama. Mobil itu pun berjalan, tapi ada yang aneh, AM menyuruh SJ dan teman-temannya yang lain menutup mata mereka. Mungkin sengaja untuk merahasiakan mereka akan di bawa ke mana. Setelah sekitar satu jam perjalanan, mereka sampai di suatu tempat. Setelah turun dari mobil mereka diperkenankan untuk membuka penutup mata. Tampak pemandangan yang agak aneh, sebuah tempat yang memiliki gedung-gedung yang cukup mewah tapi kelihatan jauh dari kota. Setelah sesaat berdiri termangu, mereka diajak AM dan beberapa orang yang tidak dikenal lainnya untuk memasuki sebuah ruangan, yaitu sebuah aula kecil.

Setelah menunggu beberapa menit sambil duduk duduk di ruangan aula, terlihat seseorang yang agak perlente, sebut saja SP datang dan kemudian mengambil tempat duduk di depan mereka. Kemudian mereka disuruh mendekat untuk duduk mengelompok. AM membisikkan ke SJ kalau acara pem-baiat-an segera dimulai. Lalu mereka disuruh berdiri sambil diberi aba-aba untuk menirukan beberapa ucapan seperti layaknya bersumpah. Mereka di-baiat sebagai syarat untuk bergabung ke dalam jama’ah NII. Setelah acara baiat selesai mereka diberi wejangan oleh SP untuk loyal memperjuangkan berdirinya NII. Ada kejadian aneh yang dialami oleh SJ setelah acara baiat selesai. SJ yang saat itu masih mahasiswa dan jejaka ditawari pilihan untuk menikahi salah satu di antara wanita yang ada di depannya. Dengan alasan masih belum siap, SJ menolak tawaran SP secara diplomatis.

Singkat cerita, dengan rute perjalanan yang sama mereka kembali ke Malang. SJ dan teman-temannya yang lain sudah mulai beraktifitas seperti biasanya seperti hari-hari sebelumnya. Tapi mereka tetap mendapat target tugas untuk merekrut anggota baru dan menyetor sejumlah dana ke amir (baca: pimpinan mereka). SJ yang pada awalnya sudah ragu tampak ingin lepas dan menghindar dari jama’ah NII. Keberadaannya sulit ditemui oleh NII, bahkan ketika diundang di acara pertemuan rutin jama’ah dia tidak datang. Kewajibannya untuk merekrut anggota dan menyetor sejumlah dana juga tidak pernah dia lakukan.

Kondisi SJ yang sulit ditemui dan tidak konsisten itu membuat teman-temannya gregetan. Mereka memutuskan untuk “menyanggong” rumah kontrakan SJ. Ketika SJ keluar dari rumah mereka menghadang SJ. Dengan setengah mengancam mereka bertanya pada SJ, mengapa dia tidak aktif? SJ tidak menanggapi sambil terus lari menghindar. Teman-temannya tak mau melepas SJ begitu saja. Mereka mengejar hingga didahului oleh perkelahian kecil akhirnya SJ tertangkap. Karena ada orang yang melihat kejadian itu, mereka melepas SJ dan kabur. Kejadian itu terulang beberapa kali. SJ mulai tidak nyaman dengan teror yang dilakukan oleh teman-temannya di NII. Hingga dia memutuskan untuk mengancam mereka untuk dilaporkan ke polisi jika melakukan penghadangan lagi. Rupanya gertak sambal SJ cukup manjur, hingga SJ sudah tidak pernah diusik lagi oleh mereka.

Peristiwa yang mirip menimpa SJ sudah sering terjadi pada sebagian pemuda lain terutama mahasiswa. Kepandaian mereka merayu dan mendoktrin calon anggotanya merupakan senjata ampuh. Dengan cara-cara tersebut mereka berhasil merekrut anggota baru. Pengakuan mereka yang sudah ikut adalah karena terhipnotis untuk berjuang atas nama agama. Saya pernah membuktikan sendiri bagaimana tingkat keloyalan mereka terhadap jama’ahnya. Waktu saya singga di suatu tempat yang diduga sebagian masyarakat sebagai markas NII. Betapa kagetnya, saya bertemu dengan AM di sana. Waktu itu saya semakin yakin kalau AM memang sudah menjadi anggota NII dan isu kalau markasnya di tempat itu adalah benar.

Ada beberapa hal yang menjadikan kita, terutama pemuda terjebak ke dalam kelompok-kelompok yang menyesatkan. Di antaranya adalah pertama, pemahaman yang dangkal (sepotong-sepotong) terhadap ajaran agama Islam. AM adalah mahasiswa yang masih kurang baik pemahaman agamanya, sehingga ketika doktrin baru yang dianggapnya benar, maka itu dianggapnya paling benar dan yang lain salah. Kedangkalan ilmu ini membuat mereka menjadi fanatik dan gampang menyalahkan, bahkan mengkafirkan orang lain. Lahirnya terorisme juga berangkat dari masalah seperti ini. Kedua, Tidak memiliki guru yang mumpuni baik secara akhlak dan keilmuan. Mereka yang masuk kelompok ini adalah mereka yang punya semangat besar tapi kurang paham bagaimana cara belajar agama yang benar. Dari membaca kitab terjemahan dan hasil seminar dengan sebagian tokoh Islam dijadikan sumber hukum yang paling benar. Tidak heran jika para pengikut kelompok/aliran sesat adalah mereka yang tinggi semangatnya tapi dangkal keilmuannya dan parahnya mereka berguru pada buku, hasil diskusi dari seminar-seminar, dan orang dianggap ulama’ tapi tidak jelas “sanad” keilmuannya. Dua hal inilah yang menjadi pemantik munculnya beberapa aliran sesat dan terorisme. Gus Ali Mashuri, Tulangan Sidoarjo pernah berkelakar dalam ceramahnya, bahwa kalau kitab-kitab para ulama’ selalu diawali dengan bab tentang thahara (bersuci), maka kitab saudara muslim kita yang terlibat dalam terorisme itu diawali dengan bab tentang jihad (perang).

Terlepas dari apakah NII dan terorisme itu muncul sebagai hasil rekayasa/operasi intelejen? Buktinya di lapangan dua kelompok yang fenomenal itu ada di Indonesia. Jika kita membekali anggota keluarga kita dengan pemahaman Islam yang benar, maka insya Alloh keluarga kita tidak mudah ikut aliran dan perilaku yang sesat itu. Maka solusi untuk mengentisipasinya adalah pertama, belajar tentang islam secara menyeluruh dan utuh (kaffah). Bekal itu tidak cukup hanya dari pelajaran agama di sekolah dan pesantren kilat saat ramadhan. Tapi keluarga kita harus belajar terus tentang beberapa disiplin ilmu agama Islam. Ilmu yang dipelajari juga harus komprehensif, mulai Ilmu Tauhid, Fiqih, Al Qur’an, Hadits, dan lain-lain. Kedua, mencari dan memiliki guru/murobbi yang alim, berakhlak mulia dan jelas garis keilmuannya. Peranan utama guru/murobbi adalah pembimbing dalam menimba ilmu agama. Peran lain yang tak kalah pentingnya adalah tempat berkonsultasi dalam menghadapi perjalanan kehidupan. Jika kita memiliki guru/murobbi yang lurus, maka kita akan dibimbing ke jalan yang lurus pula. Jika kita berguru pada guru/murobbi yang sesat (ulama’ suu’), maka jalan kita akan tersesat juga. Simpulnya belajarlah yang utuh tentang islam dan carilah guru/murobbi yang tepat, insya Alloh kita dan keluarga kita tidak akan terjebak pada aliran sesat, seperti NII, termasuk terjebak dalam tindakan anarkhis ala aksi para terorisme. Maka belajarlah dari pengalam SJ. Wallohua’lam

Tidak ada komentar: