Pengikut

Selasa, 19 Oktober 2010

Tayangan Televisi dan Budaya Kekerasan

Oleh:

Mishad*

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menilai, hampir semua stasiun televisi sudah melanggar UU Penyiaran serta Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (PPP-SPS) ketika menayangkan unsur-unsur kekerasan melalui tayangan berita konflik kekerasan yang marak terjadi akhir-akhir ini. KPI melakukan pemantauan mulai akhir September hingga awal Oktober. Di rentang waktu itu, televisi banyak menyiarkan peristiwa kekerasan secara vulgar, seperti dalam tayangan penggerebekan gerombolan perampok Bank CIMB Niaga di Sumatera Utara, perburuan teroris di Sumatera Barat, dan konflik masyarakat di Tarakan, Kalimantan Timur. Secara terbuka televisi menyiarkan jalannya konflik, darah, aksi kekerasan, dan alat kekerasan yang dipakai pelaku dan korban. (Kompas, 6/10/2010)

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengingatkan media massa untuk mematuhi UU Penyiaran serta Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (PPP-SPS) dalam menayangkan pemberitaan-pemberitaan terkait peristiwa-peristiwa kriminal dan konflik. Pasalnya, media berpotensi tinggi untuk membuat konflik makin intensif. Menurut Ketua Umum KPI Pusat Dadang Rahmat Hidayat, informasinya tentang peristiwa di suatu tempat memang dibutuhkan,. Tapi, cara penyampaian kepada publiknya tampaknya sudah memunculkan peristiwa yang vulgar. Misalnya, ada darah yang masih berceceran, orang yang luka, atau ada beberapa hal yang bisa saja jika tidak tepat menyampaikannya, misalnya konflik daerah, lalu disiarkan, lalu ada harapan konflik itu selesai. Tapi jangan-jangan karena pemberitaan, konflik jadi melebar.

Makin berbahaya, lanjutnya, ketika hal-hal ini kemudian ditayangkan berulang-ulang hingga malah menimbulkan eskalasi tanpa mengedepankan prinsip-prinsip jurnalisme. Dadang mengacu pada pengakuan salah satu kontribusi televisi nasional kepadanya mengenai potensi media menimbulkan konflik. Jadi, ada peristiwa demonstrasi yang harus diliputnya. Dia sampaikan bahwa kalau berita demo yang teriak-teriak saja tidak akan naik tayang. Nah supaya masuk, agak ditambahin dengan bakar ban. Mereka menyuruh itu. Ya tambah dengan guncang-guncang pagar, atau bentrok dengan polisi. Itu yang katanya punya news value yang tinggi. Anggota Dewan Pers Agus Sudibyo merujuk contoh media radio yang berpihak kepada salah satu kelompok yang berkonflik di Rwanda, antara suku Hutu dan Tutsi. Radio ini punya kelompok mayoritas, akhirnya menjadi propaganda yang berikan informasi kepada suku Hutu tentang sedang apa suku Tutsi dan itu digunakan untuk membunuh Tutsi. Itu contoh peran miring media yang paling telanjang.

Potensi serupa juga terdeteksi dalam perilaku media ketika pecah kerusuhan antar kelompok di Ambon. Media terkesan mengompori masing-masing kelompok afiliasinya dan menjadi salah satu faktor yang mengintensifkan konflik. Setiap media, cetak, radio, televisi, ataupun online harus memegang teguh prinsip-prinsip jurnalisme dan merealisasikannya di lapangan. Media dapat melakukannya dengan tetap berfokus pada akar masalah dalam suatu peristiwa konflik, kriminal atau kerusuhan, tidak mereduksi atau malah membesar-besarkan masalah, memperhatikan korban, serta memperhatikan dampak yang bisa terjadi.

Mengkritisi Tayangan Televisi Kita

Tayangan televisi di Indonesia begitu beragam, mulai dari hiburan, olahraga, berita, investigasi, gosip, mistik, dan masih banyak lagi. Dari begitu banyaknya tayangan televisi yang disiarkan, begitu sedikitnya tayangan yang dinilai memberi manfaat bagi pemirsa. Tayangan gosip adalah salah satunya yang pada akhirnya mendapatkan ’sertifikasi’ haram dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Tayangan jenis ini menurut MUI dianggap hanya menceritakan hal-hal buruk tentang orang lain dan bisa memicu fitnah karena informasi yang tidak benar.

Belum lagi tayangan untuk konsumsi remaja yang pula dinilai tidak mendidik dan lebih mengajarkan tentang kebebasan dalam pergaulan, berfoya-foya, hedonis, dan materialistik. Tidak sedikit tayangan yang dikemas untuk pasar remaja ini hanya menampilkan kisah percintaan. Padahal, itu semua bukan produk budaya bangsa kita yang terkenal sebagai masyarakat religius, sopan dan sangat memerhatikan tata krama dalam pergaulan. Pengaruh budaya barat pun begitu mudah ditularkan lewat tayangan-tayangan jenis ini. Mulai dari cara berpakaian, pergaulan yang lebih mengutamakan kebebasan tanpa mengindahkan norma-norma yang ada dalam agama dan masyarakat. Bahkan dari sekian banyak tayangan yang tidak mendidik, muncul genre tayangan misteri penuh bernuansa pornografi.

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang selama ini diharapkan menjadi lembaga ‘penyaring’ tayangan televisi idealnya harus terus menunjukkan tajinya sebagai lembaga yang terhormat dan berwibawa. Karena pada gilirannya masyarakat pemirsalah yang dirugikan dengan gelontoran tayangan yang kurang mendidik. Selama ini KPI sebatas melakukan peringatan pada sejumlah tayangan televisi yang dinilai melanggar dan belum menerapkan sanksi secara khusus. Tidak mengherankan bila sejumlah tayangan yang sempat kena semprit kemudian berganti baju, namun dengan kemasan yang tidak jauh berbeda sebelum mendapat peringatan. Tentu tidak sedikit pemirsa yang berharap bisa memetik pelajaran dari tayangan televisi yang mendidik, menyuntikkan inspirasi, menularkan motivasi, sekaligus mencerahkan. Semisal tayangan ilmu pengetahuan yang tidak bisa dimungkiri mampu membuka wawasan dan cakrawala.

Atau tayangan sekelas talk show yang mendidik dalam kemasan yang bisa merangkul semua segmen. Sebuah produk lokal macam Kick Andy dan Save Our Nation di Metro TV adalah jenis tayangan yang bisa disebut mampu memberi pencerahan dan wawasan.

Sudah saatnya masyarakat pemirsa tak sekadar dicekoki dengan tayangan-tayangan komersil. Jenis tayangan menyegarkan yang bisa memberi pencerahan serta membangkitkan semangat hidup pun layak diterima penonton televisi. Peran serta pemerintah dan pihak-pihak terkait dengan dunia pertelevisian sangat dibutuhkan demi menyuguhkan kemasan yang mendidik.

Pemicu Budaya Kekerasan

Seolah-olah masyarakat sudah lupa dengan budaya-budaya luhur kita. Budaya nenek moyang kita, musyawarah mufakat untuk menyelesaikan semua permasalahan, budaya saling menghormati, budaya mengutamakan kepentingan bersama, nilai-nilai luhur ini seolah-olah telah lenyap dari keseharian kita. Keadilan sekarang menjadi barang yang langka. Masyarakat kita sudah terlalu banyak disuguhi "ketidakadilan" ini. Baik dari segi ekonomi, politik, hukum, maupun sosial. Bagaimana beban hidup tiap hari bertambah berat di sisi lain para pejabat kita mendapat fasilitas yang "wah" untuk ukuran masyarakat kita. Anggota legislatif bisa dengan mudah mendapat dana yang begitu besar untuk studi banding ke negeri orang berbanding terbalik dengan pembagian BLT yang berdesak-desakkan dan memakan korban.
Menurut Abi Zuhdi, pengamat sosial, ketidakpastian hukum yang sering menjadi konsumsi media menjadi hot topik bagi masyarakat sehingga kepercayaan terhadap hukum dan perangkatnya sudah mencapai titik nadir. Jadi, masyarakat lebih suka bermain sebagai hakim. Ini sebagian kecil saja dari banyak ketidakadilan lainnya. Secara tidak sadar sehari-hari masyarakat disuguhi adegan-adegan "kekerasan". Baik kekerasan fisik maupun non fisik. "Kekerasan" yang ditunjukan oleh pejabat-pejabat kita dengan melontarkan kata makian dan hinaan terhadap lawan bicara ketika bersidang. Mempermaikan hukum sehingga terjadinya ketidakadilan ini juga merupakan "kekerasan" secara tidak langsung.

Kita pun begitu. Coba kita lihat tiap hari di jalanan. Pengguna kendaraan saling serobot, ugal-ugalan, sehingga jamak saling umpat sampai adu fisik pun sering kita jumpai. Mengapa terjadi demikian? Karena. kita merasa lebih dari orang lain. Budaya menghargai orang lain pun sudah kalah dengan egoisme. Pejabat merasa lebih terhomat dari rakyat. Padahal kalau tidak ada rakyat tidak ada pejabat. Yang bermobil merasa lebih dari yang bermotor sehingga merasa harus didulukan di jalan. Yang bermotor merasa lebih dari yang berjalan. Maka trotoar pun menjadi arena balap. Yang berdemo merasa lebih baik dari yang didemo sehingga merasa pantas mengeluarkan kata-kata hinaan, cacian.

Anak-anak kita pun akrab dengan budaya kekerasan. Di sekolah ada pengajar yang memperlihatkan kekuatan otot dengan dalih disiplin, mendidik, dan lain-lain. Maka kita saksikan murid pulang ke rumah dengan luka memar. Di rumah anak kita disuguhi budaya otoriter orang tua. Tontonan kekerasan yang tiap hari disaksikan secara berulang. Untuk menyebarkankebaikan pun kita banyak menggunakan "kekerasan" dengan dalih mendidik seolah-olah sah-sah saja kekerasan fisik kepada siswa pun digunakan. Dengan dalih memberantas terorisme, memberantas kemaksiatan pun, seolah-olah sah saja kekerasan fisik digunakan. Atau ketika kelompok tertentu merasa keyakinannya paling benar pun bisa "memaksakan" keyakinannya. Seolah-olah pintu dialog musyawarah ditinggalkan dan sudah bukan zamannya lagi. Maka tidak ada jalan lain budaya "kekerasan" ini harus diminimalisir dengan menggali lagi nilai-nilai luhur bangsa kita. Pejabat harus memberikan contoh yang baik dan bekerja keras untuk melayani dan mensejahterakan rakyat. Hukum harus ditegakkan. Masyarakat pun harus sabar dalam menaati peraturan.

Pemerintah juga sudah mulai merespon gejala degradasi moralitas bangsa kita. Melalui jalur pendidikan pemerintah memasukkan indikator nilai-nilai karakter bangsa dalam rencana pelasanaan pembelajaran yang harus dibuat oleh guru. Indikator nilai-nilai yang diinginkan pada siswa pun cukup mengena, seperti toleransi, demokratis, peduli lingkungan, peduli sosial, kerja keras, menghargai, gemar membaca, bersahabat, tanggungjawab, dan lain-lain. Kendalanya, intrumen penilaian untuk mengevaluasi indikator-indikator tersebut di lapangan sangat beragam dan subyektif. Kendala itu semakin berat, ketika nilai-nilai itu sudah ditanamkan di sekolah. Namun ketika pulang dari sekolah, para siswa disuguhi oleh perilaku kekerasan di jalan-jalan, di keluarga mereka, terutama dari tayangan-tayangan siaran televisi. Tidak heran kalau ada yang berkelakar “siaran televisi” adalah saingan berat “Kementerian pendidikan Nasional” dalam mencerdaskan anak bangsa. Wallohua’lam

Tidak ada komentar: