Pengikut

Selasa, 27 Maret 2018

Sekolah Being =Sekolah Mafahim


Oleh:
Mishad*
           
            Ada diskusi menarik tentang sistem pendidikan yang akhir-akhir ini sering diperbicangkan, yaitu tentang sekolah Knowing dan sekolah Being.  Sekolah Knowing 
sering diartikan sebagai sistem pendidikan yang hanya menjadikan anak-anak kita menjadi mahluk “Knowing” atau sekedar tahu saja. Sekolah Knowing hanya bisa mengajarkan banyak hal untuk diketahui para siswa. Sekolah begitu tidak mampu membuat siswa mau melakukan apa yang diketahui sebagai bagian dari kehidupannya. Anak-anak tumbuh hanya menjadi “Mahluk Knowing”, sekedar "mengetahui" bahwa: zebra cross adalah tempat menyeberang, tempat sampah adalah untuk menaruh sampah .Tetapi mereka tetap menyeberang dan membuang sampah sembarangan. Segala macam diajarkan dan banyak hal yang diujikan. Tetapi sedikit sekali siswa yang menerapkannya setelah ujian. Ujiannya pun hanya sekedar tahu. “Knowing”.     
Sedangkan sekolah Being  adalah sistem pendidikan yang mencetak anak-anak menjadi mahluk “Being”. Di sekolah Being, sistem pendidikan benar-benar diarahkan untuk mencetak manusia-manusia yang   tidak hanya tahu  apa yang benar dan salah tetapi  mau melakukan apa yang benar sebagai bagian dari kehidupannya.  Mata pelajaran  dikembangkan melalui praktek langsung dan studi kasus versus kejadian nyata di seputar kehidupan mereka. Sehingga mereka tidak hanya tahu, tapi juga mau menerapkan ilmu yang diketahui dalam keseharian hidupnya.  Anak-anak ini juga tahu persis alasan mengapa mereka mau atau tidak mau melakukan sesuatu. 
Cara ini mulai diajarkan pada anak sejak usia dini agar tersusun sebuah kebiasaan yang kelak akan membentuk mereka menjadi mahluk “Being”. Yakni manusia-manusia yang melakukan apa yang mereka tahu benar. Betapa sekolah begitu memegang peran yang sangat penting bagi pembentukan perilaku dan mental anak-anak bangsa. Sekolah being lebih mengarahkan pendidikan untuk mencetak generasi yang tidak hanya sekedar tahu tentang hal-hal yang benar, tapi mencetak anak-anak yang mau melakukan apa-apa yang  mereka anggap benar. Mencetak manusia-manusia yang “Being”.  Sekolah Being mencerminkan konsep pendidikan menurut Unesco yang mengajak pendidikan sampai jenjang ke 4 yakni to know, to be, to do and to live together. Artinya “knowing” dan “being” adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam konsep pendidikan menurut Unesco, tidak hanya berhenti di “know”.
Sekolah  Being Dalam Prespektif  Pendidikan Islam
Almarhum Prof. Muhaimin, pakar pendidikan Islam dari UIN Maliki Malang menyampaikan, bahwa prespektif pendidikan Islam mencakup tiga hal utama, yaitu: Pertama, pendidikan menurut Islam, yaitu pendidikan yang dipahami dan dikembangkan serta disusun dari ajaran dan nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam al-quran dan hadis. Kedua, pendidikan ke-Islaman atau pendidikan agama Islam, yaitu upaya mendidik agama Islam atau ajaran Islam dan nilai-nilainya agar menjadi way of life (pandangan dan sikap hidup seseorang). Ketiga, pendidikan dalam Islam yang berarti proses tumbuh kembangnya pendidikan Islam dan umatnya.
Berdasarkan rumusan tujuan pendidikan Islam dan Pendidikan Agama Islam yang dikemukakan oleh ahli pendidikan Islam tersebut, dapat disimpulkan bahwa tujuan utama dalam Pendidikan Agama Islam bukan hanya meliputi knowing (mengetahui tentang ajaran atau nilai-nilai agama) ataupun doing (bisa mempraktikkan) apa yang diketahui setelah diajark
an di sekolah, tetapi justru lebih mengutamakan being-nya (beragama) atau menjalani hidup atas dasar ajaran dan nilai agama. 
Karena itu bidang Pendidikan Agama Islam harus lebih diorientasikan pada tataran moral action, yakni agar peserta didik tidak hanya berhenti pada tataran competence tetapi sampai memiliki kemauan (will) dan kebiasaan (habit) dalam mewujudkan ajaran dan nilai-nilai agama tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Selanjutnya makna dan nilai yang terhayati tersebut dapat menjadi sumber motivasi bagi peserta didik untuk bergerak, berbuat, berperilaku secara konkrit agamis dalam kehidupan praksis sehari-hari. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa proses pembelajaran  akhlak lebih banyak menekankan pada akumulasi pengetahuan materi pelajaran semata dan kurang memperhatikan kemampuan peserta didik untuk memperoleh pengetahuannya lewat proses pembelajaran. Sehingga transformasi nilai-nilai  akhlak hingga dapat menjadi being bagi peserta didik menjadi tidak maksimal.
Pendidikan agama diajarkan sebagai kegiatan rutin agama dan kurang ditekankan sebagai proses pembentukan kepribadian. Sebagai dampak yang menyertai situasi tersebut, maka Guru pendidikan agama Islam kurang berupaya menggali berbagai metode yang mungkin bisa dipakai dalam pendidikan agama sehingga pelaksanaan pembelajaran cenderung monoton. Menurut teori humanistik, agar belajar bermakna bagi peserta didik, diperlukan keterlibatan penuh dari peserta didik sendiri. Pada praktiknya, teori humanistik ini cenderung mengarahkan peserta didik untuk berfikir induktif, mementingkan pengalaman, serta membutuhkan keterlibatan peserta didik secara aktif dalam proses pembelajaran.

Sekolah Being=Sekolah Mafahim
Dalam prespektif penulis sekolah being lebih identik dengan sekolah mafahim. Mafahim dalam pandangan islam adalah paham untuk apa ia hidup di dunia ini, sehingga kehidupannya tidak bebas tanpa batas seperti yang kita lihat dalam masyarakat Barat atau di negara kita sendiri. Mereka biasa berhubungan seksual tanpa melewati pernikahan, mengambil harta yang bukan haknya, membunuh, menipu, merampok, berpakaian telanjang, makan dan minum yang haram. 
Orang-orang tersebut karena tidak memahami arti hidup. Bagaimana seseorang mampu memahami arti hidup? Maka ia harus mampu memecahkan tiga persoalan mendasar berikut:  yaitu dari mana saya berasal?  Untuk apa saya hidup di dunia ini?   Ke mana saya setelah mati?  Sekolah Mafahim harus memahamkan (untuk tahu dan melakukan) siswanya tentang tiga hal tersebut, dan bukan sekedar maklumat (sekedar tahu saja). Wallahua'lam.

Tidak ada komentar: