Oleh:
Mishad*
Ada diskusi menarik tentang sistem
pendidikan yang akhir-akhir ini sering diperbicangkan, yaitu tentang sekolah Knowing dan sekolah Being. Sekolah Knowing
sering diartikan
sebagai sistem pendidikan yang hanya menjadikan anak-anak kita menjadi mahluk
“Knowing” atau sekedar tahu saja. Sekolah Knowing hanya bisa mengajarkan banyak
hal untuk diketahui para siswa. Sekolah begitu tidak mampu membuat siswa mau
melakukan apa yang diketahui sebagai bagian dari kehidupannya. Anak-anak tumbuh
hanya menjadi “Mahluk Knowing”, sekedar "mengetahui" bahwa:
zebra cross adalah tempat menyeberang, tempat sampah adalah untuk menaruh
sampah .Tetapi mereka tetap menyeberang dan membuang sampah sembarangan.
Segala macam diajarkan dan banyak hal yang diujikan. Tetapi sedikit sekali
siswa yang menerapkannya setelah ujian. Ujiannya pun hanya sekedar tahu.
“Knowing”.
Sedangkan
sekolah Being adalah sistem pendidikan yang mencetak
anak-anak menjadi mahluk “Being”. Di sekolah Being, sistem pendidikan
benar-benar diarahkan untuk mencetak manusia-manusia yang tidak hanya tahu apa yang benar dan salah tetapi mau melakukan apa yang benar sebagai bagian
dari kehidupannya. Mata pelajaran dikembangkan melalui praktek langsung dan studi
kasus versus kejadian nyata di seputar kehidupan mereka. Sehingga mereka tidak
hanya tahu, tapi juga mau menerapkan ilmu yang diketahui dalam keseharian
hidupnya. Anak-anak ini juga tahu persis alasan mengapa mereka mau atau
tidak mau melakukan sesuatu.
Cara
ini mulai diajarkan pada anak sejak usia dini agar tersusun sebuah kebiasaan
yang kelak akan membentuk mereka menjadi mahluk “Being”. Yakni manusia-manusia
yang melakukan apa yang mereka tahu benar. Betapa sekolah begitu memegang peran
yang sangat penting bagi pembentukan perilaku dan mental anak-anak bangsa. Sekolah
being lebih mengarahkan pendidikan
untuk mencetak generasi yang tidak hanya sekedar tahu tentang hal-hal yang
benar, tapi mencetak anak-anak yang mau melakukan apa-apa yang mereka
anggap benar. Mencetak manusia-manusia yang “Being”. Sekolah Being mencerminkan konsep pendidikan
menurut Unesco yang mengajak pendidikan sampai jenjang ke 4 yakni to know, to be, to do and to live together.
Artinya “knowing” dan “being” adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam konsep
pendidikan menurut Unesco, tidak hanya berhenti di “know”.
Sekolah Being Dalam Prespektif Pendidikan Islam
Almarhum Prof. Muhaimin, pakar pendidikan Islam dari UIN Maliki Malang
menyampaikan, bahwa prespektif pendidikan Islam mencakup tiga hal utama, yaitu:
Pertama, pendidikan menurut Islam, yaitu pendidikan yang dipahami dan
dikembangkan serta disusun dari ajaran dan nilai-nilai fundamental yang
terkandung dalam al-quran dan hadis. Kedua, pendidikan ke-Islaman atau
pendidikan agama Islam, yaitu upaya mendidik agama Islam atau ajaran Islam dan
nilai-nilainya agar menjadi way of life (pandangan dan sikap
hidup seseorang). Ketiga, pendidikan dalam Islam yang berarti
proses tumbuh kembangnya pendidikan Islam dan umatnya.
Berdasarkan
rumusan tujuan pendidikan Islam dan Pendidikan Agama Islam yang dikemukakan
oleh ahli pendidikan Islam tersebut, dapat disimpulkan bahwa tujuan utama dalam
Pendidikan Agama Islam bukan hanya meliputi knowing (mengetahui
tentang ajaran atau nilai-nilai agama) ataupun doing (bisa
mempraktikkan) apa yang diketahui setelah diajark
an di sekolah,
tetapi justru lebih mengutamakan being-nya (beragama)
atau menjalani hidup atas dasar ajaran dan nilai agama.
Karena itu
bidang Pendidikan Agama Islam harus lebih diorientasikan pada tataran moral action,
yakni agar peserta didik tidak hanya berhenti pada tataran competence tetapi
sampai memiliki kemauan (will) dan kebiasaan (habit) dalam
mewujudkan ajaran dan nilai-nilai agama tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Selanjutnya
makna dan nilai yang terhayati tersebut dapat menjadi sumber motivasi bagi
peserta didik untuk bergerak, berbuat, berperilaku secara konkrit agamis dalam
kehidupan praksis sehari-hari. Kenyataan di
lapangan menunjukkan bahwa proses pembelajaran akhlak lebih banyak
menekankan pada akumulasi pengetahuan materi pelajaran semata dan kurang
memperhatikan kemampuan peserta didik untuk memperoleh pengetahuannya lewat
proses pembelajaran. Sehingga transformasi nilai-nilai akhlak hingga dapat
menjadi being bagi peserta didik menjadi tidak
maksimal.
Pendidikan
agama diajarkan sebagai kegiatan rutin agama dan kurang ditekankan sebagai
proses pembentukan kepribadian. Sebagai dampak yang menyertai situasi tersebut,
maka Guru pendidikan agama Islam kurang berupaya menggali berbagai metode yang
mungkin bisa dipakai dalam pendidikan agama sehingga pelaksanaan pembelajaran
cenderung monoton.
Menurut teori humanistik, agar belajar bermakna bagi peserta didik,
diperlukan keterlibatan penuh dari peserta didik sendiri. Pada praktiknya,
teori humanistik ini cenderung mengarahkan peserta didik untuk berfikir
induktif, mementingkan pengalaman, serta membutuhkan keterlibatan peserta didik
secara aktif dalam proses pembelajaran.
Sekolah
Being=Sekolah Mafahim
Dalam prespektif penulis sekolah being lebih identik dengan sekolah mafahim. Mafahim dalam pandangan islam
adalah paham untuk apa ia hidup di dunia ini, sehingga kehidupannya tidak
bebas tanpa batas seperti yang kita lihat dalam masyarakat Barat atau di negara
kita sendiri. Mereka biasa berhubungan seksual tanpa melewati pernikahan,
mengambil harta yang bukan haknya, membunuh, menipu, merampok, berpakaian
telanjang, makan dan minum yang haram.
Orang-orang
tersebut karena tidak memahami arti hidup. Bagaimana seseorang mampu memahami
arti hidup? Maka ia harus mampu memecahkan tiga persoalan mendasar
berikut: yaitu dari mana saya berasal? Untuk apa saya hidup di dunia ini? Ke mana
saya setelah mati? Sekolah Mafahim harus
memahamkan (untuk tahu dan melakukan) siswanya tentang tiga hal tersebut, dan
bukan sekedar maklumat (sekedar tahu
saja). Wallahua'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar