Pengikut

Selasa, 22 Juni 2010

BIRRUL WALIDAIN

Oleh:
Mishad Khoiri

Malam kian larut, udara dingin seperti menusuk masuk ke tulang. Kerumunan orang masih terlihat di depan ruangan bercat serba putih. Dari dalam tampak seseorang berkomunikasi menggunakan HP sambil sesekali geleng-geleng kepala. Sebagian yang lain tampak hilir mudik keluar masuk ruangan. Sepertinya ada sesuatu yang terjadi di ruang paviliun A-10 di sebuah rumah sakit swasta terkenal di kota itu.
Ternyata yang sakit dan dirawat di ruang paviliun VIP itu adalah bu Badri, orang yang cukup terpandang di kampungnya. Tapi kini penyakit stroke bu Badri makin akut. Bahkan sudah beberapa hari mengalami “koma” dan harus menjalani terapi khusus. Tetapi bu Badri tidak kunjung sadar. Tidak satu pun dari tujuh anaknya yang mendampinginya di rumah sakit. Tetangga pak Badri lah yang selama ini merawat beliau dan mengantarnya periksa ke dokter atau ke klinik rumah sakit . Karena saking parahnya sakit bu Badri, sampai-sampai dokter menyarankan ke tetangga bu Badri untuk mendatangkan anak-anaknya. Maklum, ketujuh anaknya seluruhnya bekerja atau bertugas di luar kota, bahkan ada yang di luar negeri.
Satu per satu anak-anak bu Badri di kontak oleh pak Soleh tetangganya. Hasilnya semua anak-anak bu Badri belum bersedia untuk pulang. Mereka tidak bisa pulang untuk menjenguk ibunya dengan mengatakan “Maaf ya pak, tolong kalau ibu sudah sadar sampaikan ke beliau, bahwa kami masih sibuk dan terikat dengan pekerjaan kami, terimakasih”. Kalimat itu yang sebagian besar terucap dari anak-anak mereka.
Setelah lima hari mengalami koma, nyawa bu Badri tidak tertolong lagi lantaran pembuluh darah ke otak bu Badri dinyatakan beku dan tidak berfungsi lagi. “Menyedihkan” dalam kondisi menghembuskan nafas terakhir, tujuh orang anaknya tidak ada yang mendampingi. Baru ketika akan di kubur tampak dua dari tujuh anaknya datang. Peristiwa tragis seperti ini tidak hanya terjadi kini. Dua tahun lalu pak Badri (bapak mereka) juga meninggal tanpa ditemani anak-anaknya sama sekali.
Ada pepatah yang mungkin sesuai dengan peristiwa di atas, yaitu “kasih ibu (orang tua) sepanjang masa, kasih anak sepanjang penggalan”. Kasih sayang orang tua, terutama ibu begitu luar biasa kepada anak-anaknya. Mulai mengandung kurang lebih 9 bulan 10 hari dengan penuh perjuangan. Melahirkan anaknya dengan taruhan hidup atau mati. Merawat anak-anak-nya dengan kasih sayang dan kesabaran. Bagaimana tidak?, orang tua rela tidak tidur apabila anaknya sakit atau rewel. Jika anaknya sakit maka orang tua rela jika harus cuti bekerja. Orang tua akan bekerja apa saja yang penting halal demi memenuhi kebutuhan anaknya. Itu belum yang lain-lain.
Memperlakukan orang tua dengan hormat dan baik meruapakan salah satu ajaran teragung dalam Islam. Islam menempatkan kebaikan dan sikap hormat kepada orang tua berada hanya satu tingkat di bawah keimanan kepada Alloh dan ibadah yang benar kepada-Nya. Sebagaimana firman Alloh dalam Al Qur’an surat Annisa’ ayat 36:
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa”
Al Qur’an juga menunjukkan gambaran yang tegas mengenai tingginya kedudukan orang tua, dan menerangkan cara yang baik bagi seorang muslim dalam memperlakukan mereka, jika salah satu atau keduanya hidup pada usia senja dan mencapai masa udzur dan lemah. Firman Alloh dalam Al Qur’an surat Al- Isra’ ayat 23 – 24:
23. Dan Tuhanmu Telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia[*].
24. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua Telah mendidik Aku waktu kecil".
[*] mengucapkan kata ah kepada orang tua tidak dlbolehkan oleh agama apalagi mengucapkan kata-kata atau memperlakukan mereka dengan lebih kasar daripada itu.
Kisah tentang seorang ahli ibadah bernama Juraij yang disampaikan oleh Nabi, merupakan ilustrasi tegas mengenai pentingnya menghormati orang tua dan mematuhi mereka. Suatu hari, ibu Juraij memanggilnya ketika dia sedang sholat. Dia bingung,“Wahai Tuhan, ibuku atau shalatku?” Dia memilih melanjutkan sholat (daripada menjawab panggilan ibunya). Ibunya memanggil untuk yang kedua kalinya, tetapi dia melanjutkan sholat dan tidak menjawabnya. Ibunya memanggil untuk ketiga kali, tetapi dia masih tidak menjawabnya. Ibunya kemudian berdoa agar Alloh tidak mencabut nyawanya sampai dia melihat wajah seorang pelacur.
Suatu ketika ada seorang pelacur di kota itu yang melakukan zina dengan seorang gembala, lalu hamil. Ketika dia menyampaikan kepada gembala kalau dia hamil, gembala itu berkata kepadanya “Jika kamu ditanya tentang bapak si anak, katakan bahwa bapaknya adalah Juraij, seorang ahli ibadah”. Inilah yang kemudian dikatakan oleh wanita pelacur itu ketika ditanya oleh penduduk kota. Akibatnya orang-orang datang merusak tempat ibadah yang biasa digunakan Juraij untuk melakukan sholat. Penguasa kemudian membawa Juraij, wanita pelacur dan bayinya ke hadapan public. Ketika itu Juraij ingat doa ibunya lalu tersenyum. Ketika dia akan dihukum, dia minta izin untuk sholat dua rakaat lalu dia bertanya kepada si bayi dan berbisik di telinganya: “Siapa bapakmu?” Si bayi menjawab: “Ayahku adalah seorang gembala” Orang-orang pun meneriakkan, “La Ilaaha Illalah” dan “Allahu Akbar”. Kemudian mereka berkata kepada Juraij “Kami akan membangun kembali tempat ibadahmu dengan perak dan emas”. Juraij menjawab, “Tidak, bangunlah tempat ibadah itu seperti dulu dengan batu”.
Berkaitan dengan cerita yang diriwayatkan oleh Bukhori ini, Nabi Muhammad SAW bersabda “Kalau saja Juraij memilih pengetahuan yang dalam, ia akan tahu bahwa menjawab panggilan ibunya lebih penting daripada melanjutkan sholatnya. “Karena itulah, para fuqaha menyarankan, jika seorang sholat sunat dan ibunya memanggilnya, maka dia wajib menghentikan sholatnya untuk menjawab panggilan ibunya.
Ada pelajaran berharga juga bagi kita sebagai seorang anak untuk selalu berbakti pada orang tua. Jangan sampai lantaran pekerjaan yang sebenarnya bisa kita tinggalkan, tapi kita tidak bisa menyempatkan diri untuk menjenguk orang tua yang sedang kritis apalagi sudah meninggal. Bukankah kisah Juraij orang yang ahli ibadah bisa menjadi inspirasi bagi kita tentang pentingnya mendahulukan birrrul walidain (berbakti/berbuat baik pada orang tua) daripada pekerjaaan lain. Mudah-mudahan kita diberi kekuatan oleh Alloh untuk bisa berbuat baik pada orang tua kita, Amiin. Wallahua’lam.

Rabu, 09 Juni 2010

SMS Untuk Fulanah

Oleh:
Mishad Khoiri

Wajah Fulanah tampak muram, sepertinya ada sesuatu yang dipikirkannya. Hari yang mestinya diliputi rasa bahagia berubah menjadi duka. Seperti tak terbendung, butiran air terus menetes dari mata nanar Fulanah. Tampak sebagian tamu undangan dalam “momen sakral” itu buru-buru pamitan pulang. Mereka seolah tahu telah terjadi “sesuatu” diantara mempelai berdua. Hujan deras yang mengguyur lokasi perhelatan resepsi pernikahan Fulan dan Fulanah menambah suasana acara menjadi semakin “hampa”.
Malam sudah tiba, setelah seluruh tamu sudah pulang hanya kerabat dekat yang tampak meramaikan suasana. Sepasang pengantin sudah turun dari pelaminan menuju ruang peraduan untuk istirahat. Aneh, Fulanah yang mestinya menuju ke kamar pengantin mendadak membelokkan arah jalannya ke ruang keluarga. Sembari berkaca-kaca, Fulanah langsung bersimpuh di pangkuan Maimunah ibundanya. “Ada apa nak?” tanya ibundanya ke Fulanah. Pertanyaan Maimunah hanya dijawab dengan isak tangis oleh Fulanah.
Maimunah tidak tinggal diam, malam itu dia berusaha mengorek keterangan tentang apa yang terjadi pada Fulanah. Tidak seberapa lama terkuaklah sudah apa yang menjadi pemicu kegalauan Fulanah. Ternyata hanya karena sebuah kalimat SMS. “Fulan suamimu itu sudah tidak perjaka lagi”. Begitu bunyi kalimat sms yang tidak jelas pemilik nomor pengirimnya. Maimunah dan Abdullah suaminya sontak punya ide untuk melacak sejatinya siapa sebenarnya pengirim sms itu? Malam itu juga dikontak lah nomor HP pengirim tersebut. Setelah beberapa saat menunggu, kontak ke pemilik nomor HP itu pun sudah terhubung, sebut saja si A. Setelah ditanya perihal sms itu, dia bilang jika sms itu adalah pesanan temannya, sebut saja si B.
Sepertinya keluarga Fulanah ingin tahu siapa sebenarnya otak pengirim sms tersebut. Dikontaklah lagi nomor si B yang memesan pengirim sms itu. Setelah terhubung, dia juga mengatakan hal yang sama, bahwa dia juga dipesan temannya (sebut saja si C) untuk mengirim pesan itu. Setelah tahu nomor HP si C, Maimunah mengontaknya lagi, tidak lama kemudian kontak sudah terhubung. Setelah mengucapkan salam, Maimunah langsung menanyakan apakah benar dia yang memesan agar si B mengirim sms itu ke Fulanah? Sambil terbata-bata Si C menjawab ii..ii…iiya. Apa benar informasi tentang Fulan yang kamu beritakan lewat sms itu? Pertanyaan ke dua dari Maimunah dijawab panjang lebar oleh Si C. Intinya si C merasa bersalah dan mau menjelaskan bahwa berita lewat sms yang dikirimnya itu tidak benar. Si C juga berterus terang kalau ia mengirimkan pesan bohong itu lantaran iri hati pada Fulanah yang memenangkan perebutan untuk mendapatkan Fulan sebagai suami tercinta mereka.
Alhamdulillah, tersingkaplah sudah tabir gelap yang hampir saja menghancurkan bahtera keluarga yang baru saja diarungi oleh keluarga Fulanah. Maimunah menjelaskan delik asal muasal terkait dengan bunyi sms si C kepada kepada Fulanah. Untuk meyakinkan kebenaran informasi ibunya, Fulanah langsung mengkontak Si C. Setelah kontak terhubung dia terlibat dalam pembicaraan serius dengan Si C. Ternyata benar jika Si C yang menyebar pesan bohong lewat sms ke Fulanah. Si C juga mengaku jika dia dengki pada Fulanah yang menjadikan Fulan berpaling darinya. Fulanah tidak sanggup menahan marah sehingga dia sempat memaki Si C yang juga menjadi teman akrabnya itu. Makian Fulanah yang pedas hanya dijawab si C dengan permohonan maaf.
Seperti orang haus yang sudah meminum air, wajah Fulanah tampak segar kembali. Pikirannnya yang sudah ingin minta cerai berubah menjadi permintaan maaf pada Fulan suaminya yang sempat dikecewakan dengan sikap dinginnya. Bahtera keluarga dua pengantin itu pun dapat diselamatkan dari gangguan riak-riak gelombang , berupa iri dan dengki seorang teman yang hampir saja menenggelamkan biduk rumah tangganya. Ternyata rasa iri dan dengki menjadi pemicu keberanian si C untuk memfitnah dan menghancurkan masa depan teman akrabnya sendiri.
Rasulullah memberikan peringatan keras terhadap orang yang punya sifat iri hati (hasad). Beliau menegaskan, bahwa keimanan dan kedengkian tidak bisa berjalan bersama-sama. Sabda beliau “Keimanan dan kedengkian tidak bisa menyatu bersama dalam hati seorang hamba”. Damurah bin Tsa’labah berkata Rasulullah bersabda “Seorang akan menjadi baik selama dia tidak iri hati kepada orang lain”. Salah satu jiwa seorang muslim adalah, bahwa jiwanya bebas dari sikap curang, iri hati, khianat, dan benci. Kesucian hati ini akan mengantarkannya kepada kesuksesan baik di dunia maupun di akhirat.
Hati yang bersih dari sifat iri, dengki, dan perbuatan buruk lainnya dapat mengangkat derajat kita dalam pandangan Alloh Ta’ala. Karena kesucian hati akan menjadikan orang lain selamat dari sikap kita. Meski ibadah kita sedikit tapi kita seperti batu bata yang utuh dan kuat dalam struktur masyarakat islam. Sementara orang yang hatinya dipenuhi kebencian, iri hati, curang dan khianat kepada orang lain, dia tidak akan sukses sekalipun ibadahnya banyak. Seorang muslim harus mengkombinasikan antara ibadah, kesucian hati, dan perlakuan yang baik terhadap orang lain, sehingga karakter batinnya sesuai dengan penampilan luarnya dan perbuatannya sesuai dengan kata-katanya. Dengan keadaan seperti ini, maka struktur masyarakat Islam akan kuat dan kokoh.
Apa yang dilakukan si C pada Fulanah adalah contoh nyata perbuatan iri dan dengki. Andaikan si C berhasil menghancurkan rumah tangga Fulanah, Niscaya bukan berarti menjadikan hidup si C akan sukses. Tapi yang terjadi adalah si C akan dihinggapi rasa kegalauan dan dihantui perasaan bersalah. Adapun kepuasan untuk membalas dendam karena rasa iri hati hanya akan menjadikan kita kian terpuruk lantaran hidup kita tidak produktif. Aktifitas dan pikiran kita akan habis hanya untuk menjatuhkan dan mengalahkan orang yang kita iri. Alhasil hidup kita akan semakin jauh dari kebaikan dan kesuksesan, na’udzubillah. Wallahu’a’lam.