Pengikut

Rabu, 29 April 2009

Pesan Untuk wakil Rakyat

Oleh:
Mishad Khoiri


Tubuh pria hitam manis itu tiba-tiba lemas. Rona wajahnya tampak pucat pasih. Suaranya terdengar begitu lirih dan berat. “Sampai sekarang masih dapat 3800 suara mas”. Kalimat itu yang keluar dari mulut Wawan, adik ipar saya yang ikut “nyaleg” di DPRD Lamongan ketika saya hubungi lewat ponselnya dua hari setelah pemilu legislatif (pileg). Terlepas dari ketidaksetujuan saya ketika dia ikut nyaleg, tapi lantaran dia masih saudara, maka ketika dia bersikukuh tetap nyaleg, maka saya hanya berpesan “Wan kamu harus siap menang dan siap kalah”. Karena dia menyatakan “siap”, maka selanjutnya saya berharap dan mendo’akan agar dia meraih yang terbaik.
Kira-kira enam hari setelah pemilu legislatif, saya mencoba menghubungi dia lagi. “Alhamdulillah mas saya memperoleh lebih dari 5000 suara dan insya Alloh jadi di urutan ke dua”. Suaranya kedengaran sudah lebih bertenaga, beda dengan nada suaranya empat hari lalu. “Alhamdulillah mudah-mudahan berkah ya Wan”. Saya sengaja hanya menjawab dengan ucapan selamat yang singkat, karena saya yakin dia sekarang sedang sibuk bersama tim suksesnya mengawal keamanan suaranya. Karena pemilu kali ini memang rawan kecurangan lantaran perebutan suara tidak hanya terjadi antar partai akan tetapi juga antar caleg dalam satu partai.
Cerita seputar caleg pasca pileg memang cukup menarik. Baik yang jadi maupun tidak jadi terkadang sama-sama kurang simpatiknya. Sultan Batugena, salah seorang petinggi partai demokrat sering menyindir partai rivalnya dengan kalimat “Menang mabuk kalah ngamuk”. Dia juga terlalu percaya diri dengan menyebut partainya “menang bersyukur dan jika kalah bersabar”. Fenomena ini memang dua-duanya terbukti, ada caleg yang ketika menang dia tidak mabuk dengan kemenangannya alias biasa-biasa saja. Tapi ada yang ketika menang pileg terus pesta mabuk. Termasuk caleg yang kalah juga demikian, banyak di antara mereka yang ketika kalah dengan santun menerima kekalahannya. Tapi ada juga yang ketika kalah mereka lalu mengamuk, bunuh diri, meninggal mendadak, dan bersikap aneh-aneh. Tingkah aneh itu seperti menarik kembali sumbangan yang pernah dikasihkannya ketika kampanye, menyegel sekolah, menyegel pasar, bahkan mangkir tidak melunasi pembayaran baliho, spanduk, dan pamlet yang dipesannya ke percetakan. Banyak juga caleg kalah pileg yang stres hingga harus menjalani pengobatan di rumah sakit jiwa atau padepokan spiritual.
Para caleg yang gagal itu bersikap kurang simpatik atau stres mungkin karena malu, sudah habis uang banyak, terlilit hutang, atau kecewa dengan alasan dicurangi. Al hasil kebanyakan para caleg memang tidak siap kalah, sehingga dia belum bisa menerima fakta. Jangan heran kalau sering terjadi kericuhan ketika diadakan rekapitulasi penghitungan suara baik di KPU pusat maupun di beberapa KPU daerah. Kini muncul tuduhan, bahwa pemilu 2009 penuh dengan kecurangan, Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang semrawut, dan sebagainya. Saya setuju kalau dua hal itu terjadi, tapi sebenarnya yang menjadi masalah krusial dalam pemilu 2009 adalah rumitnya teknik pencontrengan karena banyaknya partai dan caleg serta tingginya angka golput. Hal-hal seperti ini yang sepatutnya menjadi catatan penting pemerintah dan KPU untuk diantisipasi dalam pilpres dan pileg mendatang.
Fakta yang ada seolah-olah mengarahkan penilaian, jika caleg yang lolos pileg adalah yang sukses sedangkan yang gagal adalah mereka yang terpuruk. Saya rasa pendapat seperti itu tidak sepenuhnya tepat. Bagi caleg yang kalah di pileg saya rasa masih ada pilihan jalan hidup lain yang jauh lebih baik. Termasuk bagi caleg yang lolos pileg, jangan lupa amanah yang berat sudah ada di depan mata anda. Kita tahu lembaga legeslatif adalah institusi yang rentan masalah. Jika mereka tidak kapabel, profesional, dan jujur maka akan sangat sulit untuk menjalankan tugasnya dengan baik. DPR adalah wahana yang mulia bagi legeslatif yang bisa menjalankan amanah, tapi bisa juga menjadi bumerang bagi mereka yang mudah sekali tergoda dunia dan tidak hati-hati.
Bukti nyata yang sudah terjadi adalah tidak sedikit mereka yang bisa memperjuangkan nasib rakyat melalui lembaga DPR. Akan tetapi banyak juga di antara mereka yang menyelewengkan amanah yang diembannya. Sudah sekian banyak anggota legeslatif yang terjebak kasus suap/korupsi dan harus mendekam di penjara. Aktifitas mereka yang seharusnya memperjuangkan nasib rakyat berbalik menjadi ikut makan uang rakyat. Istilah ”siap” ternyata juga seharusnya berlaku pada caleg yang menang. Anggota legeslatif yang menyeleweng adalah contoh caleg yang tidak siap menang. Mungkin mereka ”kaget” dengan fasilitas serba wah yang diterimanya. Mereka juga silau dengan celah-celah kesempatan yang bisa disalahgunakan untuk melakukan tindak korupsi. Rupanya kebanyakan dari mereka membutuhkan dana yang banyak untuk mengembalikan modal kampanyenya dulu termasuk mengumpulkan dana guna ”nyaleg” lagi pada pileg berikutnya.
Mengingat begitu kompleknya amanah yang harus dijalankan oleh anggota legeslatif, maka perlu modal spiritual, mental dan profesionalisme bagi mereka. Modal spiritual adalah pemahaman agama yang baik (mafahim). Artinya seorang caleg harus memiliki pengetahuan agama yang baik sekaligus menindaklanjutinya dalam segala tindakan. Hal ini sangat penting, karena jika agama bagi anggota legeslatif dianggap sebagai pengetahuan saja (ma’lumat), maka mereka akan mudah sekali menyeleweng. Sudah terbukti anggota legeslatif yang melakukan korupsi dan bertindak asusila banyak juga diantara mereka yang memiliki pengetahuan agama yang bagus tapi lemah dalam mengimplementasikannya dalam perbuatan.
Modal mental lebih dimaksudkan pada kesungguhan (mujahadah) dan keajegan (istiqomah) di jalan kebenaran. Prinsip mujahadah dan istiqomah harus dimiliki oleh anggota DPR. Gaji dan tunjangan fasilitas cukup besar yang diterima oleh mereka harus signifikan dengan kinerja mereka. Anggota DPR harus bersungguh-sungguh membela nasib rakyat kapan pun ketika dibutuhkan. Bukan ketika masih kampanye saja turun dan membantu konstituennya. Tapi kalau sudah jadi lalu raib lari dari konstituennya, sering mangkir ketika sidang, dan tidak istiqomah (mudah sekali tergoda korupsi dan tindakan amoral lainnya).
Modal profesionalisme juga tidak kalah pentingnya. Seorang anggota DPR harus ahli di bidangnya (profesional). Di DPR terdiri dari beberapa komisi yang membidangi keahlian tertentu. Seorang anggota legeslatif akan dikelompokkan di beberapa komisi tersebut. Jika mereka tidak memiliki keahlian di bidang sesuai komisi tersebut, maka bisa diasumsikan bagaimana kinerja mereka? Parahnya dari data yang ada ditemukan banyak anggota legeslatif yang duduk di komisi yang tidak sesuai dengan keahliannya. Hasilnya out put produk kerja mereka masih belum berkualitas.
Jika dikembalikan pada sifat kenabian, maka seorang wakil rakyat yang menjadi pemimpin rakyat di dapil-nya itu harus memiliki 4 kriteria, yaitu shidiq (jujur), amanah (bisa dipercaya), tabligh (menyampaikan kebenaran), dan fatonah (cerdas). Bila 4 sifat ini tercermin dalam tindak tanduk anggota legeslatif, maka insya Alloh misi DPR untuk memperjuangkan rakyat bisa terealisasi. Selain itu, perbaikan sistem kerja di DPR juga perlu dilakukan. Mekanisme kerja di DPR yang rawan gratifikasi (suap) harus senantiasa diperbaiki dan diawasi. Karena tindak kejahatan (korupsi) anggota legeslatif itu muncul bukan hanya karena ada niat tapi juga karena adanya kesempatan.
Banyaknya celah dalam sistem kerja dan lemahnya pengawasan di lembaga legeslatif merupakan pemicu penyelewengan anggota DPR. Tapi sejak aktifnya ICW dan KPK dalam pemberantasan korupsi membuat anggota DPR berpikir dua kali untuk melakukan korupsi. Perbaikan mekanisme kerja di DPR perlu dilakukan untuk menutup celah adanya gratifikasi dan korupsi. Harapan kita, mudah-mudahan anggota legeslatif yang terpilih dalam pileg 2009 ini bisa menjalankan tugasnya dengan penuh amanah, amiin. Wallaua’lam

Kamis, 16 April 2009

Benang Merah Feminisme

Oleh:
Mishad Khoiri

Masih ingat dengan ulah kontroversial Amina Wadud. Dia adalah asisten professor studi Islam di Departemen Filsafat dan Studi Islam Virginia Commontwelth University, Amerika Serikat. Amina menjadi khatibah dan memimpin sholat Jum’at yang makmumnya terdiri dari campuran lelaki dan perempuan. Alasan Aminah melakukan tindakan itu adalah karena tidak ada larangan pasti perempuan tidak boleh jadi imam. Sponsornya Muslim Wake Up dan Muslim Women’s Freedom Tour ingin bergerak lebih jauh lagi. Isu pembebasan perempuan dalam Islam seharusnya telah sampai ke praksis melampaui tataran wacana. Dan pelaksanaan shalat Jum’at ini adalah sebuah aksinya. Tindakan Amina yang kemudian dikenal dengan peristiwa “Historic Jum’ah” merupakan sebuah manuver di tingkat aksi yang akan berlanjut dengan aksi serupa pada Jumat berikutnya dengan menghadirkan seorang aktivis muslimah lainnya Asra Q. Nomani. Perempuan India-Amerika ini menulis buku “An Islamic Bill of Rights for Women the Bedroom”. Melalui buku ini dia mengadvokasikan “extramarital sexual intercourse, adultery, fornication (sex without marriage), "pleasurable sexual experience," zina and abortion for all Muslim and all non-Muslim women of the whole world.
Kronologi di atas adalah sebuah contoh dari gerakan perempuan yang menyatakan perang terhadap konservativisme dalam beragama. Dengan dalil kesetaraan Jender mereka merasa trend konservativisme agama terutama Islam sedang terjadi di belahan dunia manapun. Menurut mereka, terlepas dari apapun penyebabnya, dampak konservativisme itu paling nyata dirasakan kaum perempuan. Menurut Lies Marcoes (seorang aktivis gerakan feminisme Indonesia) , di beberapa negara di Eropa perdebatan dan bahkan ketegangan terjadi yang berkaitan dengan isu jilbab, perkawinan paksa atau pembatasan ruang gerak perempuan di ruang publik oleh keluarga. Negara dipaksa untuk tunduk pada keyakinan dan aturan agama yang seringkali sangat konservatif oleh komunitas muslim atas nama HAM dan demokrasi meskipun hasilnya seringkali melanggar hak hak kaum perempuan. Menurut Lies trend konservativisme ini juga melanda negara negara dengan penduduk Muslim terbesar yang selama ini dikenal cukup moderat seperti Indonesia dan Malaysia. Lies menambahkan, persuasi keagamaan yang bersifat memaksa seperti pemaksaan perempuan menggunakan jilbab, larangan perempuan menjadi pemimpin atau larangan perempuan bekerja akhir akhir ini secara sporadis muncul sebagai isu di Indonesia dan Malaysia. Dengan alasan melawan konservatisme agama terhadap kaum perempuan, maka menjamurlah gerakan-gerakan yang menamakan diri sebagai gerakan perempuan (feminisme).
Sejarah feminisme
Feminisme (tokohnya disebut Feminis) adalah sebuah gerakan perempuan yang menuntut emansipasi atau kesamaan dan keadilan hak dengan pria. Feminisme sebagai filsafat dan gerakan dapat dilacak dalam sejarah kelahirannya dengan kelahiran era Pencerahan di Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet. Perkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan pertama kali didirikan di Middelburg, sebuah kota di selatan Belanda pada tahun 1785. Menjelang abad 19 feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup mendapatkan perhatian dari para perempuan kulit putih di Eropa. Perempuan di negara-negara penjajah Eropa memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai universal sisterhood.
Kata feminisme dikreasikan pertama kali oleh aktivis sosialis utopis, Charles Fourier pada tahun 1837. Pergerakan center Eropa ini berpindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak publikasi John Stuart Mill, the Subjection of Women (1869). Perjuangan mereka menandai kelahiran feminisme Gelombang Pertama.
Pada awalnya gerakan ini memang diperlukan pada masa itu, dimana ada masa-masa pemasungan terhadap kebebasan perempuan. Sejarah dunia menunjukkan bahwa secara umum kaum perempuan (feminin) merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomor duakan oleh kaum laki-laki (maskulin) khususnya dalam masyarakat yang patriarki sifatnya. Dalam bidang-bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan lebih-lebih politik hak-hak kaum ini biasanya memang lebih inferior ketimbang apa yang dapat dinikmati oleh laki-laki, apalagi masyarakat tradisional yang berorientasi Agraris cenderung menempatkan kaum laki-laki didepan, di luar rumah dan kaum perempuan di rumah. Situasi ini mulai mengalami perubahan ketika datangnya era Liberalisme di Eropa dan terjadinya Revolusi Perancis di abad ke-XVIII yang gemanya kemudian melanda Amerika Serikat dan ke seluruh dunia.
Suasana demikian diperparah dengan adanya fundamentalisme agama yang cenderung melakukan opresi terhadap kaum perempuan. Di lingkungan agama Kristen pun ada praktek-praktek dan kotbah-kotbah yang menunjang situasi demikian, ini terlihat dalam fakta bahwa banyak gereja menolak adanya pendeta perempuan bahkan tua-tua jemaat pun hanya dapat dijabat oleh pria. Banyak kotbah-kotbah mimbar menempatkan perempuan sebagai mahluk yang harus ´tunduk kepada suami!´
Dari latar belakang demikianlah di Eropa berkembang gerakan untuk ´menaikkan derajat kaum perempuan´ tetapi gaungnya kurang keras, baru setelah di Amerika Serikat terjadi revolusi sosial dan politik, perhatian terhadap hak-hak kaum perempuan mulai mencuat. Di tahun 1792 Mary Wollstonecraft membuat karya tulis berjudul Vindication of the Right of Woman yang isinya dapat dikata meletakkan dasar prinsip-prinsip feminisme dikemudian hari. Pada tahun-tahun 1830-1840 sejalan terhadap pemberantasan praktek perbudakan, hak-hak kaum prempuan mulai diperhatikan, jam kerja dan gaji kaum ini mulai diperbaiki dan mereka diberi kesempatan ikut dalam pendidikan dan diberi hak pilih, sesuatu yang selama ini hanya dinikmati oleh kaum laki-laki.
Secara umum pada gelombang pertama dan kedua hal-hal berikut ini yang menjadi momentum perjuangannya: gender inequality, hak-hak perempuan, hak reproduksi, hak berpolitik, peran gender, identitas gender dan seksualitas. Gerakan feminisme adalah gerakan pembebasan perempuan dari: rasisme, stereotyping, seksisme, penindasan perempuan, dan phalogosentrisme.
Respon Terhadap Feminisme
Ide-ide feminisme menjadi isu global semenjak PBB mencanangkan Dasawarsa I untuk Perempuan pada tahun 1975–1985. Sejak itu, isu-isu keperempuanan mewabah dalam berbagai bentuk forum baik di tingkat internasional, nasional, regional, maupun lokal. PBB di bawah kendali Amerika Serikat jelas sangat berkepentingan dan berperan besar dalam penularan isu-isu tersebut, baik dalam forum yang khusus membahas perempuan —seperti forum di Mexico tahun 1975, Kopenhagen tahun 1980, Nairobi tahun 1985, dan di Beijing tahun 1995— maupun forum tingkat dunia lainnya, seperti Konferensi Hak Asasi Manusia (HAM), KTT Perkembangan Sosial, serta KTT Bumi dan Konferensi Kependudukan.
Hingar bingarnya isu-isu feminisme tersebut melahirkan beraneka respon dari berbagai pihak di dunia Islam, di antaranya ialah semakin banyaknya para propogandis feminisme baik secara individual maupun kelompok, dari lembaga pemerintah maupun LSM-LSM. Feminisme yang aslinya merupakan derivat ide sekularisme atau sosialisme itu, akhirnya menginfiltrasi ke dalam Dunia Islam. Maka tersohorlah kemudian nama-nama feminis muslim semisal Fatima Mernissi (Maroko), Taslima Nasreen (Bangladesh), Riffat Hassan (Pakistan), Ashgar Ali Engineer (India), Amina Wadud Muhsin (Malaysia), serta Didin Syafrudin, Wardah Hafizah, dan Myra Diarsi (Indonesia). Secara kelompok, di Indonesia khususnya dapat disebut beberapa gerakan perempuan penganjur feminisme, seperti Yayasan Kalyanamitra, Forum Indonesia untuk Perempuan dan Islam (FIPI), Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK), Yayasan Solidaritas Perempuan dan sebagainya.

Perjuangan keadilan dan kesetaraan jender di negeri ini sudah berlangsung lama, sejak sebelum Indonesia merdeka hingga era reformasi. Tokoh-tokoh dan isunya pun beragam. Mula-mula dirintis oleh individu-individu yang tak terlembaga dan terorganisasi secara sistemik. Mereka bergerak sendiri-sendiri. Mungkin karena hambatan dan keterbatasan, perempuan sekuler seperti RA Kartini, tak bersinergi dengan perempuan Muslim dalam memperjuangkan hak-hak perempuan. Karena pada masa ini, akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20, tokoh-tokoh Muslim perempuan Muslim banyak yang muncul. Diantaranya Rohana Kuddus (Minangkabau), Rahmah el-Yunusiyah, dan lain-lain. Mereka telah mendirikan pesantren khusus perempuan (ma’had li al-banat). Di pesantren, remaja-remaja putri diajari baca tulis. Telah disadari, belajar membaca dan menulis bukan hanya hak khusus lelaki. Lalu muncul fenomena institusionalisasi gerakan dengan munculnya organisasi-organisasi perempuan seperti Persaudaraan Isteri, Wanita Sejati, Persatuan Ibu, Puteri Indonesia, Aisyiyah Muhammadiyah, dan Muslimat NU.Kini, muncul berbagai nama seperti Siti Chamamah Soeratno, Sinta Nuriyah Wahid, Lies Marcoes-Natsir, Farha Cicik, Siti Musdah Mulia, Maria Ulfa Anshar, dan Ruhainy Dzuhatin. Bahkan muncul juga feminis laki-laki yang menyokong secara moral-intelektual, seperti (alm.) Mansoer Fakih, Nasarudin Umar, Budy Munawar-Rachman, dan KH Hussein Muhammad. Generasi inilah yang kini akan memperjuangkan emansipasi, dan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga yang bisa berupa fisik, psikis, seksual, atau penelantaran.
Senyatanya, ide-ide feminisme yang dilontarkan kelompok-kelompok tersebut nampaknya cukup berpotensi menitikkan air liur kaum muslimah yang lapar perjuangan, yakni mereka yang mempunyai semangat dan idealisme yang tinggi untuk menguah kenyataan yang ada menjadi lebih baik. Itu karena di samping didukung teknik penyuguhan yang “ilmiah”, ide-ide feminisme itu dikemas dengan retorika-retorika dan jargon-jargon emosional yang dapat menyentuh lubuk-lubuk perasaan mereka, seperti jargon “perjuangan hak-hak wanita”, “penindasan wanita”, “subordinasi wanita” dan lain-lain. Selain itu, realitas masyarakat yang berbicara terkadang memang menampilkan sosok kaum wanita yang memilukan : terpuruk di bidang kesehatan, pendidikan, pekerjaan, kesejahteraan, politik, sosial dan lain-lain. Walhasil, tak diingkari gerakan-gerakan perempuan itu berpotensi menyedot simpati para muslimah. Lalu, mesti bagaimana kaum muslimah bersikap?
Benang Merah Feminisme
Salah satu tema utama sekaligus prinsip pokok dalam ajaran Islam adalah persamaan antara manusia, baik antara lelaki dan perempuan maupun antar bangsa, suku dan keturunan. Perbedaan yang digarisbawahi dan yang kemudian meninggikan atau merendahkan seseorang hanyalah nilai pengabdian dan ketakwaannya kepada Alloh SWT. Hal ini sesuai dengan Firman-Nya:
Wahai seluruh manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (terdiri) dari lelaki dan perempuan dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal, sesungguhnya yang termulia di antara kamu adalah yang paling bertakwa (QS 49: 13).
Kedudukan perempuan dalam pandangan ajaran Islam tidak sebagaimana diduga atau dipraktekkan sementara masyarakat. Sebenarnya, kalau ditelaah dari tinjauan agama dan beberapa tradisi budaya lama, kedudukan wanita amat lah tinggi dan terhormat. Di dalam agama Islam diajarkan, bahwa orang yang harus dihormati disebut tiga kali adalah “ibu”, baru kemudian bapak, lalu suami, guru, dan seterusnya. Dalam Al Qur’an pun disitir, bahwa diharamkan bagi seorang suami yang sabar dan cinta kepada istrinya. Posisi mulia kaum wanita juga dijelaskan oleh Ibnu Hazm, seorang ulama’ besar Timur Tengah. Beliau menyatakan “Baik dan terpuji apabila seorang ibu atau istri melayani suaminya, membersihkan, dan mengatur rumah tempat tinggalnya, tetapi itu bukan merupakan kewajibannya. Makanan dan pakaian yang telah siap dan terjahit untuknya justru menjadi kewajiban ayah untuk menyediakannya”.
Dalam tinjauan Islam wanita sungguh di tempatkan pada peran dan memilki hak-hak yang istimewah. Wanita berhak mempunyai hartanya sendiri. Seperti mas kawin yang diberikan oleh suami, maka tidak boleh dijual/diminta lagi oleh sang suami tanpa seijin istri. Wanita berhak untuk menentukan pilihan terhadap suaminya yang diinginkannya, sehingga orangtua tidak boleh memaksakan jodoh atas anaknya. Wanita pun berhak menuntut cerai (khulu’), jikalau hak-hak mereka tidak dihiraukan oleh suami. Jadi tidak benar jika keinginan cerai (tala’) adalah harus muncul dari pihak suami.
Ternyata masih ada di tengah-tengah masyarakat kita yang belum mengerti, bahwa wanita adalah makhluk ciptaan sang khalik yang memiki peranan yang sangat mulya. Peran wanita adalah sebagai pekerja, partner kerja, mitra dialog, teman bertukar pikiran, disamping tugas utamanya “melayani” suami dan bersama suami “merawat” anak. Sementra suami bertanggungjawab mencari nafkah—mencukupi kebutuhan finansial keluarga termasuk menjadi bodyguard-nya istri dan anak. Jadi kurang tepat, jika tuntutan kaum perempuan dalam memperjuangkan kepentingannya adalah “persamaan” dan “kesetaraan”, karena perempuan dan laki-laki punya peran yang sedikit berbeda, karena sunnatullah (hukum alam). Akan lebih bijaksana, jika tuntutan kaum feminisme itu diarahkan pada tuntutan “Keadilan” yang lebih bermakna memperjuangkan wanita sesuai dengan perannya. Sampai kapan pun peran wanita tidaklah sama persis dengan laki-laki. Seperti kata Maurice Bardanche, dalam bukunya Histories des Fames yang mengingatkan kita “Janganlah hendak kaum ibu meniru kaum bapak, karena jika demikian, akan lahir bahkan telah lahir, jenis ketiga dari manusia”. Tentunya sebagai muslim kita berharap hendaknya ajaran Islam dijadikan benang merah dalam menyikapi fenomena feminisme. Wallahua’lam

Daftar Bacaan:
Wikipedia bahasa Indonesia, Feminisme, ensiklopedia bebas.htm Diakses 18 Maret 2009
Hamdan Nugroho, 2007, Sejarah Gerakan Feminisme. Ham's willing.htm. Diakses 18 Maret 2009
Dr. M. Quraish Shihab, 1996, kedudukan perempuan dalam islam. Penerbit Mizan, Cetakan 13, Rajab 1417/November 1996
Muhammad Shiddiq al-Jawi, 2007. Menyoal Feminisme Dan Gerakan Perempuan « Rumahku Surgaku.htm
Soenting Melajoe, 2008. Refleksi Gerakan Feminis « Soenting Melajoe.htm Diakses 18 Maret 2009
Nasaruddin Umar, 2000. Perspektif Jender Dalam Islam, Jurnal Pemikiran Islam PARAMADINA