Pengikut

Rabu, 29 April 2009

Pesan Untuk wakil Rakyat

Oleh:
Mishad Khoiri


Tubuh pria hitam manis itu tiba-tiba lemas. Rona wajahnya tampak pucat pasih. Suaranya terdengar begitu lirih dan berat. “Sampai sekarang masih dapat 3800 suara mas”. Kalimat itu yang keluar dari mulut Wawan, adik ipar saya yang ikut “nyaleg” di DPRD Lamongan ketika saya hubungi lewat ponselnya dua hari setelah pemilu legislatif (pileg). Terlepas dari ketidaksetujuan saya ketika dia ikut nyaleg, tapi lantaran dia masih saudara, maka ketika dia bersikukuh tetap nyaleg, maka saya hanya berpesan “Wan kamu harus siap menang dan siap kalah”. Karena dia menyatakan “siap”, maka selanjutnya saya berharap dan mendo’akan agar dia meraih yang terbaik.
Kira-kira enam hari setelah pemilu legislatif, saya mencoba menghubungi dia lagi. “Alhamdulillah mas saya memperoleh lebih dari 5000 suara dan insya Alloh jadi di urutan ke dua”. Suaranya kedengaran sudah lebih bertenaga, beda dengan nada suaranya empat hari lalu. “Alhamdulillah mudah-mudahan berkah ya Wan”. Saya sengaja hanya menjawab dengan ucapan selamat yang singkat, karena saya yakin dia sekarang sedang sibuk bersama tim suksesnya mengawal keamanan suaranya. Karena pemilu kali ini memang rawan kecurangan lantaran perebutan suara tidak hanya terjadi antar partai akan tetapi juga antar caleg dalam satu partai.
Cerita seputar caleg pasca pileg memang cukup menarik. Baik yang jadi maupun tidak jadi terkadang sama-sama kurang simpatiknya. Sultan Batugena, salah seorang petinggi partai demokrat sering menyindir partai rivalnya dengan kalimat “Menang mabuk kalah ngamuk”. Dia juga terlalu percaya diri dengan menyebut partainya “menang bersyukur dan jika kalah bersabar”. Fenomena ini memang dua-duanya terbukti, ada caleg yang ketika menang dia tidak mabuk dengan kemenangannya alias biasa-biasa saja. Tapi ada yang ketika menang pileg terus pesta mabuk. Termasuk caleg yang kalah juga demikian, banyak di antara mereka yang ketika kalah dengan santun menerima kekalahannya. Tapi ada juga yang ketika kalah mereka lalu mengamuk, bunuh diri, meninggal mendadak, dan bersikap aneh-aneh. Tingkah aneh itu seperti menarik kembali sumbangan yang pernah dikasihkannya ketika kampanye, menyegel sekolah, menyegel pasar, bahkan mangkir tidak melunasi pembayaran baliho, spanduk, dan pamlet yang dipesannya ke percetakan. Banyak juga caleg kalah pileg yang stres hingga harus menjalani pengobatan di rumah sakit jiwa atau padepokan spiritual.
Para caleg yang gagal itu bersikap kurang simpatik atau stres mungkin karena malu, sudah habis uang banyak, terlilit hutang, atau kecewa dengan alasan dicurangi. Al hasil kebanyakan para caleg memang tidak siap kalah, sehingga dia belum bisa menerima fakta. Jangan heran kalau sering terjadi kericuhan ketika diadakan rekapitulasi penghitungan suara baik di KPU pusat maupun di beberapa KPU daerah. Kini muncul tuduhan, bahwa pemilu 2009 penuh dengan kecurangan, Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang semrawut, dan sebagainya. Saya setuju kalau dua hal itu terjadi, tapi sebenarnya yang menjadi masalah krusial dalam pemilu 2009 adalah rumitnya teknik pencontrengan karena banyaknya partai dan caleg serta tingginya angka golput. Hal-hal seperti ini yang sepatutnya menjadi catatan penting pemerintah dan KPU untuk diantisipasi dalam pilpres dan pileg mendatang.
Fakta yang ada seolah-olah mengarahkan penilaian, jika caleg yang lolos pileg adalah yang sukses sedangkan yang gagal adalah mereka yang terpuruk. Saya rasa pendapat seperti itu tidak sepenuhnya tepat. Bagi caleg yang kalah di pileg saya rasa masih ada pilihan jalan hidup lain yang jauh lebih baik. Termasuk bagi caleg yang lolos pileg, jangan lupa amanah yang berat sudah ada di depan mata anda. Kita tahu lembaga legeslatif adalah institusi yang rentan masalah. Jika mereka tidak kapabel, profesional, dan jujur maka akan sangat sulit untuk menjalankan tugasnya dengan baik. DPR adalah wahana yang mulia bagi legeslatif yang bisa menjalankan amanah, tapi bisa juga menjadi bumerang bagi mereka yang mudah sekali tergoda dunia dan tidak hati-hati.
Bukti nyata yang sudah terjadi adalah tidak sedikit mereka yang bisa memperjuangkan nasib rakyat melalui lembaga DPR. Akan tetapi banyak juga di antara mereka yang menyelewengkan amanah yang diembannya. Sudah sekian banyak anggota legeslatif yang terjebak kasus suap/korupsi dan harus mendekam di penjara. Aktifitas mereka yang seharusnya memperjuangkan nasib rakyat berbalik menjadi ikut makan uang rakyat. Istilah ”siap” ternyata juga seharusnya berlaku pada caleg yang menang. Anggota legeslatif yang menyeleweng adalah contoh caleg yang tidak siap menang. Mungkin mereka ”kaget” dengan fasilitas serba wah yang diterimanya. Mereka juga silau dengan celah-celah kesempatan yang bisa disalahgunakan untuk melakukan tindak korupsi. Rupanya kebanyakan dari mereka membutuhkan dana yang banyak untuk mengembalikan modal kampanyenya dulu termasuk mengumpulkan dana guna ”nyaleg” lagi pada pileg berikutnya.
Mengingat begitu kompleknya amanah yang harus dijalankan oleh anggota legeslatif, maka perlu modal spiritual, mental dan profesionalisme bagi mereka. Modal spiritual adalah pemahaman agama yang baik (mafahim). Artinya seorang caleg harus memiliki pengetahuan agama yang baik sekaligus menindaklanjutinya dalam segala tindakan. Hal ini sangat penting, karena jika agama bagi anggota legeslatif dianggap sebagai pengetahuan saja (ma’lumat), maka mereka akan mudah sekali menyeleweng. Sudah terbukti anggota legeslatif yang melakukan korupsi dan bertindak asusila banyak juga diantara mereka yang memiliki pengetahuan agama yang bagus tapi lemah dalam mengimplementasikannya dalam perbuatan.
Modal mental lebih dimaksudkan pada kesungguhan (mujahadah) dan keajegan (istiqomah) di jalan kebenaran. Prinsip mujahadah dan istiqomah harus dimiliki oleh anggota DPR. Gaji dan tunjangan fasilitas cukup besar yang diterima oleh mereka harus signifikan dengan kinerja mereka. Anggota DPR harus bersungguh-sungguh membela nasib rakyat kapan pun ketika dibutuhkan. Bukan ketika masih kampanye saja turun dan membantu konstituennya. Tapi kalau sudah jadi lalu raib lari dari konstituennya, sering mangkir ketika sidang, dan tidak istiqomah (mudah sekali tergoda korupsi dan tindakan amoral lainnya).
Modal profesionalisme juga tidak kalah pentingnya. Seorang anggota DPR harus ahli di bidangnya (profesional). Di DPR terdiri dari beberapa komisi yang membidangi keahlian tertentu. Seorang anggota legeslatif akan dikelompokkan di beberapa komisi tersebut. Jika mereka tidak memiliki keahlian di bidang sesuai komisi tersebut, maka bisa diasumsikan bagaimana kinerja mereka? Parahnya dari data yang ada ditemukan banyak anggota legeslatif yang duduk di komisi yang tidak sesuai dengan keahliannya. Hasilnya out put produk kerja mereka masih belum berkualitas.
Jika dikembalikan pada sifat kenabian, maka seorang wakil rakyat yang menjadi pemimpin rakyat di dapil-nya itu harus memiliki 4 kriteria, yaitu shidiq (jujur), amanah (bisa dipercaya), tabligh (menyampaikan kebenaran), dan fatonah (cerdas). Bila 4 sifat ini tercermin dalam tindak tanduk anggota legeslatif, maka insya Alloh misi DPR untuk memperjuangkan rakyat bisa terealisasi. Selain itu, perbaikan sistem kerja di DPR juga perlu dilakukan. Mekanisme kerja di DPR yang rawan gratifikasi (suap) harus senantiasa diperbaiki dan diawasi. Karena tindak kejahatan (korupsi) anggota legeslatif itu muncul bukan hanya karena ada niat tapi juga karena adanya kesempatan.
Banyaknya celah dalam sistem kerja dan lemahnya pengawasan di lembaga legeslatif merupakan pemicu penyelewengan anggota DPR. Tapi sejak aktifnya ICW dan KPK dalam pemberantasan korupsi membuat anggota DPR berpikir dua kali untuk melakukan korupsi. Perbaikan mekanisme kerja di DPR perlu dilakukan untuk menutup celah adanya gratifikasi dan korupsi. Harapan kita, mudah-mudahan anggota legeslatif yang terpilih dalam pileg 2009 ini bisa menjalankan tugasnya dengan penuh amanah, amiin. Wallaua’lam

Tidak ada komentar: