Pengikut

Kamis, 06 Agustus 2009

AGUSTUSAN

Oleh:
Mishad Khoiri


Butiran bening keringat mulai keluar dari pori-pori kulit wajah pria yang sudah berumur itu. Desahan nafas panjang mulai keluar sesekali dari mulut dan hidungnya. Ketegangan tidak bisa disembunyikan dari raut wajahnya yang semakin berkerut. Pak Doso sebut saja sopir truk itu tampak kesal karena terjebak dalam kemacetan lalu lintas. Di pikirannya sudah terbayang, satu kontainer barang bawaannya bakal telat nyampai di tempat tujuan. Kerugian waktu, pikiran, dan tenaga sudah terpampang di depan mata. Sebenarnya yang membuat prihatin Pak Doso adalah mengenai penyebab kemacetan lalu lintas waktu itu. Penyebabnya bukan perbaikan jalan, kecelakaan, atau faktor teknis lainnya. Akan tetapi kemacetan itu disebabkan oleh acara pawai agustusan yang diadakan oleh warga setempat.

Saya yakin kita juga sering mengalami hal yang sama, seperti yang dirasakan Pak Doso. Ketika agustusan tidak jarang gang-gang atau jalan-jalan ditutup oleh warga dengan alasan ada kegiatan pentas atau lomba-lomba agustusan. Kita yang saat itu ada keperluan penting terpaksa seringkali tidak bisa melewati jalan/gang tersebut. Saya tidak mempermasalahkan tentang partisipasi kita untuk memperingati hari kemerdekaan. Tetapi tidak adakah cara lain yang lebih baik dalam rangkah memperingati proklamasi kemerdekaan itu.
Sebagai contoh kegiatan pawai agustusan yang menyebabkan terjebaknya truk pak Doso dan kendaraan lainnya. Saya lihat kegiatan tersebut tidak hanya memacetkan, akan tetapi juga tidak atau kurang manfaat. Peserta pawai yang terdiri dari utusan beberapa desa mengikuti kegiatan tersebut. Satu desa mengirim satu delegasi tim/kelompok barisan dengan tema yang rata-rata kurang memaknai kemerdekaan. Dari pengamatan saya, rata-rata mereka membawakan tema yang sekedar lucu dan “eksploitasi gender” (baca: wanita memerankan pria sedangkan yang pria memerankan wanita). Dengan dandanan tak lazim dan sensual mereka pawai berarak-arakan di jalan dan memacetkan lalu lintas dengan alasan atas nama memperingati kemerdekaan.
Tidak hanya itu, di kampung-kampung agustusan sering diperingati dengan cara-cara yang kontroversial, kurang makna, bahkan merusak. Ada kecenderungan antar kampung seringkali bersaing seru ketika memperingati kemerdekaan. Alhamdulillah, sebagian kegiatan juga cukup bahkan sarat makna, seperti kerja bakti, lomba kebersihan, mengecat pagar, trotoar, dan poskamling, tasyakuran dan lain-lain. Hanya saja kita juga menjumpai kegiatan yang kurang baik, seperti adu petasan, adu kencang-kencangan sound system, kegiatan lomba yang tidak mendidik, mabuk-mabukan di malam kemerdekaan, dan lain-lain.
Keprihatinan kita yang cukup mendalam adalah ketika masyarakat menganggap kegiatan yang kurang baik itu dianggap sebagai sesuatu yang biasa dan rutinitas. Bahkan ada justifikasi “La wong satu tahun sekali ya ndak apa-apa”, “Demi memperingati kemerdekaan begini saja ya ndak apa-apa”, “Agustusan yang penting meriah” dan lain-lain. Suatu saat agaknya kita perlu merenung dan membayangkan apa kata para pahlawan kita yang gugur di medan perang demi kemerdekaan ketika melihat kegiatan peringatan agustusan yang melenceng itu? Apakah mereka tidak menangis jika kucuran darah mereka diperingati dengan adu petasan? Apakah mereka tetap tersenyum ketika melihat pemuda yang asyik pesta miras di malam peringatan kemerdekaan?
Sebenarnya ada beberapa pertanyaan yang cukup mendasar tentang kemerdekaan yang hakiki bagi bangsa ini. Yaitu, apakah kita sekarang ini sudah benar-benar terbebas dari berbagai belenggu penjajahan? Apakah dengan dibacanya teks proklamasi dan hengkangnya pasukan Belanda dari negeri ini menandakan telah berakhirnya masa penjajahan itu? Kalau belum berakhir penjajahan itu, lalu penjajahan macam apa yang terjadi sekarang ini?
Jawabnya adalah penjajahan itu masih ada, tetapi model dan bentuknya muncul dengan wajah baru. Dia bukan berupa pendudukan negara atas sebuah negara atau ia bukan hanya menguasai satu atau dua negara. Imperialisme modern itu berupa sosialisasi pola atau sistem tertentu dalam hal ideologi, politik, ekonomi, budaya, dan agama yang dimiliki oleh suatu negara atau lebih luasnya peradaban barat hingga menembus ke seantero jagad (mendunia). Menurut Dr. Yusuf Al-Qaradhawi dalam buku yang bertajuk “Islam dan Globalisasi Dunia” dikatakan oleh beliau bahwa globalisasi (‘Aulamah) menghilangkan batas-batas kenasionalan dalam bidang ekonomi (perdagangan) dan membiarkan segala sesuatu bebas melintas dunia dan menembus level internasional sehingga terancamlah nasib suatu bangsa atau negara yang dianggap belum bisa bersaing, termasuk Indonesia.
Bentuk riilnya penjajahan modern yang bertopeng globalisai adalah dalam penjajahan di bidang ekonomi, politik, dan sosial budaya. Di bidang ekonomi kita sudah melihat bagaimana investasi asing sudah mengusai bumi kita. Privatisasi BUMN yang menyebabkan terjualnya aset bangsa ke pihak asing dan eksploitasi sebagian besar barang tambang kita oleh asing adalah contoh imperealisme di bidang ekonomi. Di bidang politik kita juga sering ditekan oleh asing. Sebagai contoh tekanan politik asing adalah memberi hak diplomatik pada tentara Amerika untuk program NAMRU yang digelindingkan USA. Tekanan politik asing juga sangat tampak pada penanganan pemerintah terhadap isu terorisme.
Dalam bidang sosial-budaya kita mengenal misi imperialisme itu dengan istilah 3 F, yaitu Food, Funny, dan Fashion. Pertama, Food atau makanan. Kita lihat, berapa banyak gerai makanan, kafe-kafe, dan restoran asing yang menjamur di Indonesia. Parahnya, kebanyakan di antara kita sangat bangga untuk mengkonsumsi makanan beresep import. Kita lebih punya gengsi jika makan atau minum di gerai Kentucky Fried Chiken atau Pizza Hut dari pada di Warung Pecel Madiun atau Soto Ayam Lamongan. Kita tidak sadar telah memberi keuntungan yang besar pada pengusaha makanan asing yang mungkin saja keuntungan itu digunakan untuk gerakan misionaris dan kemaksiatan.
Kedua, Funny, permainan dan hiburan. Dunia permainan dan hiburan menempati rating yang tinggi dikonsumsi oleh masyarakat kita. Model-model permainan dan hiburan yang mengarah pada pemborosan, perjudian dan kemaksiatan cukup marak di Indonesia. Play Station (PS) sangat digemari anak-anak dan pelajar di Indonesia. Dampaknya, uang saku mereka yang seharusnya lebih produktif digunakan untuk membeli buku bacaan digunakan untuk menyewa PS. Belum lagi waktu yang seharusnya digunakan belajar, terbuang percuma hanya digunakan main PS. Di kalangan remaja dan dewasa, juga sangat gemar mengunjungi tempat permainan dan hiburan. Bahkan untuk melihat pertandingan sepak bola piala dunia saja harus nonton bareng di kafe-kafe. Bahkan tidak jarang diselingi dengan acara judi taruhan.
Sekarang, mulai marak perjudian terselubung melalui kuis sms. Caranya, konsumen berlomba-lomba mengirim sms dengan memilih atau menjawab sesuatu ke penyelenggara judi terselubung itu. Karena harga per sms itu tarifnya lebih mahal dari tarif normal, maka mereka meraup keuntungan dari selisih tarif sms tersebut. Sebagian keuntungan dari selisih tarif tersebut digunakan untuk memberi hadiah pemenang dan sisanya sebagai keuntungan. Unsur judi ini terlihat dari konsumen yang harus mengeluarkan uang untuk menjawab kuis tersebut dan mereka mengharap hadiah. Sedangkan dari pihak penyelenggara unsur judi terlihat dari usaha untuk mencari keuntungan dalam penyelengaraan kuis tersebut di samping memberi hadiah yang uangnya diambil dari hasil selisih tarif sms konsumen.
Dengan maraknya permainan dan hiburan, masyarakat kita menjadi lalai dan hidupnya menjadi tidak produktif. Waktunya yang seharusnya digunakan untuk bekerja habis digunakan di arena hiburan dan permainan. Kebutuhan hidupnya yang seharusnya dicukupi dengan hasil kerja menjadi tidak jelas karena kita menggantungkan diri dari mengharap hadiah. Permainan dan hiburan yang menjurus pada perjudian, kemaksiatan, dan berlebihan menyebabkan kita malas dan terjerumus pada lembah kehancuran.
Ketiga, Fashion atau Mode dan pakaian. Salah satu pemicu kemaksiatan di tengah-tengah masyarakat kita disebabkan mode dan pakaian. Salah satu buktinya adalah pernah terjadi seorang bocah SMP yang memperkosa siswa SD. Menurut pengakuannya, dia melakukan itu karena terangsang ketika melihat tarian film India dengan pakaian yang terlihat pusarnya. Dunia mode dan pakaian begitu menggejala di masyarakat kita. Ujung-ujungnya mode dan pakaian Barat yang dijadikan rujukan oleh muda-mudi kita. Kita masih ingat, betapa mode rambut artis Demi moore bintang utama film Ghost pernah mendunia di eranya. Begitu juga dengan pakaian, model pakaian you can see, yang dipakai artis-artis barat betapa sangat digemari remaja kita.
Alhasil penjajahan dalam bentuk yang riil, yaitu ekonomi, politik, dan sosial budaya dengan kendaraan globalisasi sebenarnya ada di depan mata kita. Jangan menganggap penjajahan itu hanya pendudukan negara atas negara lain yang bisa dibebaskan dengan proklamasi kemerdekaan. Sadarlah jika penjajahan melalui topeng globalisasi lebih halus tetapi dampaknya sangat kronis. Oleh karena itu mari kita isi kegiatan agustusan tahun ini dan tahun-tahun mendatang dengan penuh introspeksi diri dan mengadakan kegiatan yang positif serta mencerdaskan umat. Jika umat ini memili IPTEKS dan IMTAQ yang baik, maka kita bisa melawan dan melepaskan diri dari penjajahan asing dalam bentuk dan model apapun. Wallahua’lam

Tidak ada komentar: