Pengikut

Jumat, 19 September 2008

SEPUTAR LEBARAN

Mudik

Oleh:
Mishad Khairi

Malam itu suasana kota Malang tampak semarak sekali. Suara takbir bersahut-sahutan dari beberapa mushola dan masjid. Bahkan ada beberapa kendaraan, mulai sepeda motor, pick up hingga truk membawa rombongan takbir keliling. Semua kegiatan tersebut dilakukan dalam rangka takbiran untuk mengagungkan asma Allah SWT. Allahu Akbar ... Allahu Akbar .... Allahu Akbar.

Di saat yang sama, Azis dan Ali kelihatan masih sibuk menyiapkan agenda pelaksanaan sholat Idhul Fitri besok hari. Mereka memasang tenda dan menggelar karpet tambahan untuk persiapan jika jamaah sholat Ied besok meluber sampai keluar masjid. Dua pemuda perantau ini harus bersabar untuk tidak mudik ke kampungnya sebelum distribusi zakat fitrah/Maal dan pelaksanaan sholat Ied di masjidnya tuntas. Azis dan Ali adalah dua mahasiswa sebuah PTN di Malang yang kuliah sambil ber-khidmah- di sebuah masjid perumahan.
Nasib Azis dan Ali masih mending jika di bandingkan dengan nasib Mukhlas. Mukhlas adalah seoarang TKI yang bekerja di luar negeri. Dia berpisah dengan anak istri yang ada di tanah air. Saat hari raya seperti ini, dia belum tentu bisa pulang. Hal ini lantaran ikatan pekerjaan yang belum bisa ditinggalkan. Di samping itu, jika pulang tiap tahun, maka akan menambah pengeluaran. Mukhlas harus bersabar untuk menunda kepulangannya pada lebaran tahun depan agar bisa membawa uang lebih. Mungkin masih banyak cerita lain tentang mereka yang harus sabar untuk menunda keinginan mudiknya. Walaupun agak tertunda momen mudik pada hari raya adalah kebutuhan yang tak bisa digantikan dengan telpon, sms, apalagi dengan mengirim kartu lebaran kepada sanak famili di kampung.
Arus Mudik Tahun Ini
Menteri Perhubungan Jusman Syafii Djamal menyatakan jumlah pemudik Hari raya Idhul Fitri 2008 diperkirakan mencapai sekitar 15,8 juta jiwa. "Dari perkiraan jumlah pemudik tersebut yang menggunakan angkutan darat sekitar 9.888.000 jiwa, terdiri dari angkutan jalan 6.922.000 jiwa, angkutan sungai danau dan penyeberangan 2.966.000 jiwa. Rata-rata tumbuh sekitar 5,2 persen dari tahun lalu," kata Menhub di Semarang, Jumat (29/8). Kemudian yang menggunakan angkutan kereta api (KA) sekitar 2.377.000 jiwa atau naik 5,38 persen dari tahun lalu. Pemudik yang memanfaatkan angkutan laut sekitar 1.018.000 jiwa, angkutan udara 1.885.000 jiwa atau naik 9,32 persen dari tahun lalu. "Penumpang angkutan laut diperkirakan naik paling tinggi sekitar 10 persen yang tahun lalu hanya mencapai 926.000 jiwa. Kondisi ini diperkirakan berlangsung pada H-7 hingga H+7 Hari raya Idhul Fitri 2008," katanya. Ia mengatakan, jumlah kendaraan motor tanpa sepeda motor diperkirakan meningkat 4,61 persen yakni 1.808.150 kendaraan tahun 2007 menjadi 1.891.523 kendaraan tahun 2008. Sejumlah kendaraan tersebut terdiri dari mobil pribadi sebanyak 1.284.488 kendaraan, bus besar 1999.451 kendaraan, bus sedang 43.994 kendaraan, nonbus 64.468 kendaraan, dan truk 263.000.Selain itu, katanya, sekitar 2.506.572 sepeda motor diperkirakan akan hilir mudik selama Hari raya Idhul Fitri. Kesiapan sarana, katanya, untuk angkutan jalan sebanyak 34.395 bus, dengan kapasitas 16,5 juta orang, angkutan sungai danau dan penyeberangan 127 kapal dengan kapasitas 11,4 juta orang, 223 KA dengan kapasitas 3,25 juta orang, angutan laut 593 kapal kapasitas 3,3 juta orang, dan angkutan udara 183 pesawat kapasitas 2,11 juta orang."Jumlah sarana yang ada melebihi permintaan. Sarana dan kebutuhan cukup memadai untuk mengangkut 15,79 juta jiwa arus mudik," katanya. (KOMPAS, 30/8/2008)
Mengapa Harus Mudik?
Mudik, sebuah istilah yang akan sangat hangat menjadi pembicaraan pada bulan ramadhan terutama menjelang Idhul Fitri tiba. Puluhan tahun istilah ini telah dikenal masyarakat luas di Indonesia dari berbagai kalangan. Menurut Krismanto (2007), mudik berasal dari kata udik, yang bisa diartikan pedalaman atau bisa juga pinggiran, namun dalam hal ini pedalaman dikonotasikan multidimensi. Secara harfiah berarti kembali dari sebuah titik pusat kehidupan masyarakat ke pedalaman atau pinggiran daerah mereka berasal, sedangkan secara simbolik mudik merupakan budaya masyarakat Indonesia yang berdimensi religius, dimensi demografi, ekonomi, dan lain lain.
Setiap tahun tepatnya di hari raya Idhul Fitri masyarakat yang sehari-harinya hiruk pikuk mencari penghidupan di kota akan mudik pulang kampung. Dari kota manapun mereka akan ramai-ramai pulang ke keluarganya masing-masing untuk merayakan hari raya Idhul Fitri bersama-sama. Namun karena kota Jakartalah yang terbesar dalam urusan mudik ini maka sorotan mudik akan terpusat di kota Jakarta. Mereka akan mudik menuju berbagai penjuru tanah air dari Sabang bahkan sampai Merauke.
Hiruk pikuk mudik manusia sebanyak itu tak ayal membuat pemerintah sibuk untuk mengurusinya terutama dalam hal transportasi. Berbagai macam transportasi baik darat, udara dan laut disiagakan. Bahkan untuk transportasi tertentu sudah sibuk sejak sebulan yang lalu atau awal Ramadhan. Tak heran jika tiket Kereta api dan pesawat sudah jadi barang langka dan mahal justru ketika Idhul Fitri semakin dekat. Kelangkaan dan mahal itulah yang membuat sebagian masyarakat rela menggunakan sepeda motor walaupun dengan jarak yang sangat jauh dan berisiko tinggi akan kecelakaan. Bahkan jumlahnyapun setiap tahun terus meningkat.
Memang untuk urusan mudik ini masyarakat akan rela melakukan apa saja demi tercapainya tujuan mereka ber-Hari raya Idhul Fitri bersama keluarga di kampung. Mereka rela antri tiket berjam-jam bahkan bisa seharian. Tiket semahal apapun akan mereka beli bahkan melalui calo tiket sekalipun. Bahkan tiket tanpa tempat duduk pun merek tetap beli asalkan terangkut. Bermudik dengan sepeda motor juga banyak mereka tempuh, padahal dengan sepeda motor itu mereka akan kepanasan, kehujanan, bahkan menjadi armada yang paling rawan kecelakaan di jalan raya.
Hikmah Mudik
Memang inilah uniknya budaya mudik, tak dapat diingkari banyak hikmah yang bisa diambil dari budaya ini. Hikmah secara religi jelas bahwa mudik merupakan sebuah silaturahmi masal dari umat Islam yang sehari-hari hidup di kota kepada keluarga dan familinya di desa. Keyakinan bahwa silaturahmi merupakan perbuatan amaliyah yang berpahala besar, membuka pintu rezeki dan menambah usia harapan hidup bertambah seakan-akan membakar tekad dan semangat umat untuk ramai-ramai mudik di Idhul Fitri. Sebenarnya mudik juga banyak dilakukan pada waktu-waktu tertentu, namun Idhul Fitri lah momen yang paling sakral. Hikmah lainnya adalah secara kebangsaan, mudik jelas akan semakin memperkuat tali persaudaraan dan persatuan bangsa. Akan nampak jelas ikatan kekeluargaan yang kuat dan kental masyarakat yang tinggal di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di momen mudik Idhul Fitri itu. Belum lagi mereka yang mudik antar kota lain di seluruh wilayah tanah air selain Jakarta. Mereka yang menyebar dari berbagai penjuru kota akan saling bertemu di kampung dan berbagi cerita dan kisah hidup.
Hikmah secara sosial ekonomi, mudik merupakan sebuah gambaran kepulangan masal dari masyarakat daerah yang telah bertekad melakukan sebuah mobilitas sosial di kota. Secara umum mobilitas sosial dapat digambarkan sebagai sebuah proses perpindahan atau kesempatan untuk berpindah pada kelompok-kelompok sosial yang berada di masyarakat, terutama sekali proses perpindahan dari kelompok masyarakat yang kurang beruntung menjadi masyarakat yang lebih beruntung secara sosial ekonomi. Kota adalah menjadi tempat tujuan mereka untuk bermobilitas sosial tersebut, walaupun pada kenyataannya mereka belum tentu berhasil melakukannya. Berhasil dalam arti pindah dari kurang beruntung menjadi beruntung secara ekonomi. Dari proses tersebut tentu banyak materi, cerita dan pengalaman yang mereka bagikan kepada sanak saudara ketika mudik. Alhasil hikmah ini membawa dampak baik positif maupun negatif.
Positifnya adalah mereka yang berhasil melakukan proses mobilitas dari kurang beruntung menjadi beruntung secara ekonomi yang kemudian dikenal dengan istilah ”orang sukses” akan membawa keberhasilannya secara materi itu ke desanya. Milayaran bahkan trilyunan rupiah akan masyarakat bawa ketika bermudik. Mereka akan belanjakan rupiah mereka baik di sepanjang perjalanan maupun di desanya. Dampak ini sungguh luar biasa. Pemerataan ekonomi yang tidak usah repot-repot direncanakan pemerintah, tapi sudah pasti terjadi setiap tahunnya. Dari hal yang paling sepele seperti membeli makan di jalan-jalan ketika macet, warung makan di sepanjang perjalanan, memberi angpao kepada sanak famili, belanja keperluan Hari raya Idhul Fitri di desa, servis motor dan mobil di bengkel-bengkel daerahnya, bahkan bisa jadi sampai membangun atau renovasi rumah di desa. Tapi dengan adanya mudik nilai kebermaknaan Idhul Fitri akan menjadi semakin mengena dan mendalam baik untuk diri pribadi setiap muslim, keluarganya, masyarakat desanya bahkan sampai pada negara ini. Wallahua’lam

Selasa, 09 September 2008

SEPUTAR RAMADHAN

Ramadhan Bil Hikmah: Meniti Ibadah dan Mengais Berkah

Marhaban ya Ramadhan, Marhaban Ya Ramadhan, Marhaban Ya Ramadhan Jud Lana Bil Ghufron


Alhamdulillah, bulan suci Ramadhan 1429 H sudah hadir di tengah-tengah kita. Datangnya bulan ramadhan disambut dengan beragam aktifitas kaum muslim. Aktifitas itu mulai dari renovasi masjid atau musholla, tradisi megengan (baca:sedekah saling kirim makanan), ziarah kubur, hingga saling memberi ucapan selamat menunaikan ibadah puasa lewat milis atau sms. Sambutan ramadhan berupa publikasi pun tidak kalah ramainya. Lihat saja spanduk penyambutan ramadhan bertebaran diberbagai jalan protokol, kantor-kantor, hingga perusahaan-perusahaan. Tidak kalah santernya iklan di media massa, seperti di surat kabar, majalah, radio, televisi, bahkan di internet mayoritas membawa pesan ramadhan. Bukan hanya iklan, kini rubrik acara di radio dan TV juga didominasi oleh tema-tema yang bernuansa ramadhan.

Terlepas dari beberapa perusahaan yang mengiklankan tema ramadhan dengan tujuan melariskan produknya atau hanya untuk meraup keuntungan ekonomi semata. Mudah-mudahan apa saja yang dilakukan oleh kaum muslim dalam menyongsong bulan Ramadhan, dengan ragam kegiatan, merupakan bentuk rasa senang atas kehadirannya. Sabda nabi Muhammad SAW dalam sebuah Haditsnya: “Man fariha biduhûli ramadhâna harrama Allahu jasadahu ‘alanniron”. Barang siapa yang bergembira dengan datangnya bulan Ramadhan, maka Allah mengharamkan jasadnya atas api neraka.
Dalam sebuah riwayat disebutkan, bahwa Rasulullah SAW di akhir bulan Sya’ban mempersiapkan kaum muslimin untuk menyambut datangnya bulan Ramadhan. Dalam kesempatan itu, Rasulullah menyampaikan sebuah nasehat yang amat indah sebagai berikut: “Wahai kaum muslimin, bulan Allah telah datang dengan membawa berkah, rahmat, dan ampunan bagi kita semua. Bulan ini merupakan bulan yang paling baik di sisi Allah. Hari-hari di bulan ini merupakan hari-hari terbaik, malam-malamnya merupakan malam-malam yang terbaik, serta detik-detiknya merupakan detik-detik terbaik. Dalam bulan Ramadhan, Allah mengundang tamu-tamu-Nya dan Allah menganugerahi mereka kasih sayang dan rahmat-Nya. Di bulan ini, setiap tarikan nafas memiliki pahala yang setara dengan dzikir kepada Allah dan tidur pun dinilai sebagai ibadah. Di bulan ini, setiap kali kalian bermunajat kepada Allah, maka Allah akan mengabulkan doa-doa kalian. Oleh karena itu, dengan kejujuran, ketenangan, dan hati yang bersih, mintalah kepada Allah agar memberikan taufik kepada kalian untuk berpuasa dan membaca Al-Quran. Orang yang celaka adalah orang yang di bulan agung dan penuh berkah ini, tidak mendapatkan rahmat dari Allah.”
Ketika menyaksikan hilal atau terbitnya bulan Ramadhan, Rasulullah SAW berdiri menghadap kiblat dan berdoa kepada Allah, meminta keamanan dan keselamatan serta memohon agar Allah menemaninya dalam sholat, puasa, dan membaca Al Quran. Dalam bulan Ramadhan, Rasulullah sangat banyak melakukan amal sholeh, di antaranya memberi makanan berbuka kepada orang yang berpuasa. Diriwayatkan, ketika bulan Ramadhan tiba, Rasulullah menunjukkan kasih sayang secara lebih besar kepada kaum fakir miskin. Rasulullah juga berpesan kepada kaum muslimin agar di dalam bulan ini, mereka banyak membaca Al Quran. Suatu hari beliau ditanyai oleh seseorang, “Apakah amal terbaik di bulan ini?” Rasulullah menjawab, “Pekerjaan terbaik yang dilakukan pada bulan Ramadhan adalah tidak melakukan segala sesuatu yang dilarang oleh Allah SWT.”
Umur manusia merupakan kumpulan dari detik-detik. Manusia yang beruntung adalah manusia yang berhasil memanfaatkan setiap detik dalam kehidupannya dengan cara yang bermanfaat. Langkah awal untuk memanfaatkan umur adalah mengenal kesempatan-kesempatan yang tiada bandingannya yang diberikan Allah kepada manusia. Suatu hari Allah berfirman kepada Nabi Daud A.S., “Dalam hari-hari kehidupan, ada saat-saat yang tiada bandingannya, berusahalah agar berada dalam naungan saat-saat tersebut.”
Bulan Ramadhan adalah salah satu momen penting yang memberikan semangat baru kepada jiwa manusia. Bulan suci Ramadhan bagaikan sebuah pesantren yang memiliki jam pelajaran padat, yang menyatukan seluruh bulan dalam setahun. Pelajaran-pelajaran yang disampaikan dalam pesantren ini sangatlah bermanfaat dan membangun. Manusia meskipun dengan seluruh uang yang dimilikinya, tidak akan mampu mendirikan pesantren semacam ini. Firman Allah dalam jiwa kaum muslimin sedemikian dalam dan memberikan pengaruh, sehingga kini setelah berlalu lebih dari 14 abad sejak diturunkannya hukum puasa melalui Rasulullah Muhammad SAW, pesantren ini terus berdiri dengan diikuti oleh jutaan santri dari berbagai penjuru dunia.
Kita tidak dapat membayangkan hikmah yang dimilikinya, selain kewajiban puasa. Sebut saja, rasa senang atas kehadirannya saja telah menjadi perhatian serius nabi atas keutamaannya, apa lagi yang lainnya, meskipun pada hakekatnya rasa senang tidak akan berarti apa-apa, jika tidak ada proses kelanjutan bagi peningkatan ibadah, yang berujung terciptanya peningkatan ketaqwaan.
Bulan Ramadhan, bulan Allah (syahr Allah). Penyebutan ini sesuai dengan ragamnya ibadah dan hikmahnya, dengan Allah sebagai penentu bagi lipatan hikmahnya (ganjaran). Yang hal ini tidak ditemukan pada bulan-bulan lainnya, sehingga sebagai bulan Allah, maka peneguhan diri menyambutnya menjadi keharusan bagi setiap individu, yaitu merespon anjuran-anjuran yang diajarkan agama baik dari al Qur’an, hadits maupun perilaku orang-orang shalih terdahulu (salaf al shalihîn).

Meniti Ibadah
Kewajiban puasa, bagi yang beriman, merupakan pokok dari rentetan ibadah ada dalam bulan Ramadhan, sebagaimana disinggung dalam al Qur’an, surat al Baqarah:183

artinya: Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan kepadamu puasa, sebagaimana diwajibkan kepada orang sebelum kamu, agar kamu menjadi orang yang bertaqwa”.
Predikat puncak pelaksanaan nilai puasa Ramadhan adalah sebagai insan yang bertaqwa (al Muttaqin). Namun, untuk mencapai ketaqwaan itu tidak semudah membalikkan tangan, sehingga pada kesempatan yang berbeda nabi Muhammad SAW memperingatkan dalam sebuah hadithnya “kam mi shâimin laysa lahu min siyâmihi illa al ju’a wa al athsa”, banyak orang berpuasa, tidak ada yang didapatnya, kecuali rasa lapar dan haus.
Pencapaian ketaqwaan harus diupayakan dengan keras oleh pelaku puasa dengan meningkatkan ibadahnya, baik siang maupun malam hari, lebih-lebih di akhir-akhir bulan Ramadhan. Di samping pada siang bolong ia harus menjaga keabsahan puasa itu, dengan tidak mengerjakan sesuatu yang membatalkan secara syar’i, misalnya minum, makan, berhubungan suami istri dan lan-lain.
Peningkatan ibadah itu dapat dilakukan dengan mengerjakan amalan-amalan yang menjadi anjuran agama, bukan kewajiban, misalnya shalat tarawih, tadarrus al Qur’an, shalat malam, i’tikaf dan beberapa amalan lainnya. Artinya, pada intinya pelaku puasa seyogyanya mengisi hari-harinya dengan kegiatan apapun yang dapat menghadir dirinya untuk mendekatkan diri pada Allah SWT.
Dari sekian amalan-amalan itu, peringatan nabi tentang “banyaknya pelaku puasa yang hanya dapat haus dan lapar” merupakan cambuk bagi pelaku puasa agar berhati-hati dalam mengerjakan puasanya, sekalipun secara syar’i puasa yang dilakukan hanya sekedar menggugurkan kewajiban.
Sebagai kelanjutannya, maka bagi pelaku puasa diharapkan juga berpuasa secara batin, di samping puasa dhahir. Artinya ia harus menjaga beberapa perbuatan dan sikap yang “merusak” nilai-nilai puasa, yaitu hikmah yang dikandungnya.
Terkait dengan hal ini, Imam al Ghazali menyebutkan, diantara perbuatan yang harus dihindarkan adalah mengerjakan dosa-dosa yang dilarang agama dari seluruh anggota tubuh, misalnya telinga, mata, mulut, tangan, kaki dan anggota lainnya. Dan pelaku puasa model inilah, sebagaimana ditegaskan al Ghazali adalah puasa bagi orang yang khusus (shaum al Khusus), bukan puasanya kebanyakan orang (al umum), yang hanya cukup puasa dengan rasa lapar dan haus.
Terkait dengan hal ini juga, ditemukan dalam hadits lain: “man lam yada’ qawla al zûri wal ‘amal bihi wal jahla fa laysa lillahi hâjatun fi ayyada’a tha’âmanu wa syarâbahu”, artinya: Barang siapa yang tidak meninggalkan ucapan dan perbuatan bohong serta merasa bodoh, maka Allah tidak ada hajat (membalas) pada orang yang meninggalkan makan dan minum (HR. Bukhori).
Meniti ibadah dengan ragamnya amalan-amalan yang dianjurkan pada bulan Ramadhan menjadi nilai tersendiri, selain kewajiban puasa, agar dapat merasakan kemanfaatannya yang hakiki. Di samping itu harus komitmen untuk tidak mengerjakan perbuatan yang membatalkannya baik secara dhahir, misalnya minum dan lain-lain, atau secara batin, misalnya perbuatan bohong, adu domba dan sejenisnya.
Mengais Berkah
Puncak dari hikmah Ramadhan sebagaimana dijanjikan adalah terciptanya peningkatan ketaqwaan yang membentuk perilaku pelaku puasa, yaitu Sebuah nilai yang diidam-idamkan khalayak umat, tanpa mengenal jenis kelamin, jabatan dan suku apapun. Inna akramakum ‘inda Allah atqâkum, (sesungguhnya yang paling utama diantara kamu adalah orang yang paling bertaqwa).
Secara sosial, hikmah Ramadhan akan dirasakan semua orang, jika pelaku puasa mampu merawatnya dengan baik dan menghayatinya. Karena, puasa mendidik seseorang untuk sabar, belajar dan menghindari tindakan-tindakan yang merugikan orang lain. Hikmah inilah yang paling penting pada saat ini, di samping secara vertikal harapan ganjaran langsung dari Allah tidak dilupakan sebagai sebuah keyakinan beragama, yaitu harapan mendapat rahmat-Nya, pengampunan-Nya hingga bebas dari api neraka.
Keterpurukan moral sudah menjadi pandangan keseharian kita, sehingga hampir pasti, dalam setiap harinya, kita disuguhkan melihatnya berbagai tayangan media massa baik cetak maupun eletronik. Kekerasan, tindakan saling menikam antar individu maupun kelompok serta prilaku amoral lainnya sudah sering ditemukan, sehingga pada saatnya sulit membedakan kebenaran dan kebatilan. Yang terjadi keuntungan individu maupun kelompok menjadi tujuan terpenting dari tindakan-tindakan ini.
Pada akhirnya, puasa kali ini diharapkan mampu menjadi awal perubahan dan pencapaian hakekat hikmahnya, bukan sekedar cukup merasa puas dengan lapar dan haus, sehingga pasca Ramadhan cita-cita sebagai insan yang bertaqwa tetap mewarnai kehidupan pelaku puasa, baik individu maupun kelompok. Dan semua kembali pada kesiapan kita dalam memaknai dan menghayati bulan Ramadhan.

Hikmah Puasa
Apabila Allah SWT mewajibkan sesuatu kepada manusia, pasti ada hikmahnya. Hikmah diwajibkannya puasa di bulan Ramadhan diantaranya adalah sebagai berikut:1. Menghapus dosa-dosa kecil.Sebagai manusia kita tidak bisa lepas dari kesalahan, kekeliruan, dan kemaksiatan. Tidak ada manusia yang steril dari dosa, kecuali para nabi yang ma’sum (terpelihara dari perbuatan dosa). Puasa Ramadhan merupakan sarana untuk menghapuskan dosa. Puasa yang kita lakukan menjadi penghapus dosa-dosa kecil setahun ke belakang, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, berikut ini,“Shalat-shalat yang lima dan Jum'at ke Jum'at serta Ramadhan ke Ramadhan adalah penghapus dosa-dosa di antara itu apabila dosa-dosa besar dijauhi" (HR. Muslim).2. Melatih muraqabah.Muraqabah artinya suatu kondisi psikis (jiwa) yang selalu merasa ditatap, dilihat, dan diawasi Allah SWT. Seorang pelajar atau mahasiswa yang muraqabah tidak akan menyontek walaupun tidak diawasi. Seorang yang muraqabah tidak akan korup walaupun ada kesempatan untuk melakukannya. Ketika puasa, kalau belum tiba waktu berbuka, kita tidak berani makan atau minum walau tidak ada seorang pun yang melihat kita, padahal makanan dan minuman tersedia. Jelaslah, bahwa puasa menjadi ajang latihan muraqabah.3. Melatih pengendalian nafsuManusia memiliki tiga nafsu (dorongan), yang selalu berkompetisi (bersaing), yaitu nafsu amarah, nafsu lawwamah, dan nafsu muthmainnah.Nafsu amarah adalah dorongan untuk melakukan pelanggaran dan kemaksiatan. Manusia paling saleh pun memiliki dorongan ini, karena sudah dipastikan tidak ada manusia yang steril dari dosa.Nafsu lawwamah adalah nafsu yang suka mengoreksi saat kita melakukan dosa atau maksiat. Kalau kita melakukan kemaksiatan, berbohong misalnya, coba siapa yang pertama kali mengingatkan bahwa perbuatan tersebut salah? Diri kita sendiri bukan? Inilah yang disebut nafsu lawwamah. Bersyukurlah bila kita masih merasa bersalah kalau melakukan dosa, ini menunjukkan nafsu lawwamahnya masih berfungsi. Kalau kita sudah tidak merasa lagi saat berbuat maksiat, ini menunjukkan nafsu lawwamahnya sudah tidak pekah, bahkan mungkin tidak berfungsi lagi.Nafsu muthmainnah adalah dorongan untuk berbuat kebaikan. Jiwa merasa tenteram kalau melaksanakan aturan-aturan Allah. Manusia yang paling bejat di muka bumi ini pun memiliki nafsu muthmainnah, karenanya sebejat-sebejatnya orang pasti dia pernah berbuat kebaikan. Manusia hakikatnya hanif (cenderung pada kebaikan), karena itu manusia akan merasa tenang, tenteram, dan bangga kalau sudah berbuat kebaikan, serta merasa gelisah dan menyesal bila melakukan pelanggaran dan dosa.Ketiga macam nafsu diatas, amarah, lawwamah dan muthmainnah selalu bersaing. Apabila nafsu muthmainnah memenangkan persaingan, akan lahir perbuatan baik. Kalau nafsu amarah yang menang (dominant), akan lahir perbuatan dosa. Jadi, puasa melatih jiwa agar mampu mengendalikan nafsu amarah, bahkan bisa menundukkannya, sehingga yang dominan dalam diri kita adalah nafsu muthmainnah. Dengan demikian, yang lahir dalam ucapan dan perbuatan kita hanyalah hal-hal yang baik, benar, dan diridhai Allah SWT.

DAFTAR PUSTAKA
Al Qur’an Karim
Dr. Ahmad Umar Hasyim: Yessy Afdhiani & Shocheh, Ha al-Shiyâm fî 'l-Islâm

KH. Ihya’ Ullumiddin, Risalah Puasa, V De Press Surabaya
Wasid Mansyur, 2007, Menyongsong Ramadhan: Menanam Ibadah, Menebar Hikmah, PusKAB Surabaya