Pengikut

Selasa, 09 September 2008

SEPUTAR RAMADHAN

Ramadhan Bil Hikmah: Meniti Ibadah dan Mengais Berkah

Marhaban ya Ramadhan, Marhaban Ya Ramadhan, Marhaban Ya Ramadhan Jud Lana Bil Ghufron


Alhamdulillah, bulan suci Ramadhan 1429 H sudah hadir di tengah-tengah kita. Datangnya bulan ramadhan disambut dengan beragam aktifitas kaum muslim. Aktifitas itu mulai dari renovasi masjid atau musholla, tradisi megengan (baca:sedekah saling kirim makanan), ziarah kubur, hingga saling memberi ucapan selamat menunaikan ibadah puasa lewat milis atau sms. Sambutan ramadhan berupa publikasi pun tidak kalah ramainya. Lihat saja spanduk penyambutan ramadhan bertebaran diberbagai jalan protokol, kantor-kantor, hingga perusahaan-perusahaan. Tidak kalah santernya iklan di media massa, seperti di surat kabar, majalah, radio, televisi, bahkan di internet mayoritas membawa pesan ramadhan. Bukan hanya iklan, kini rubrik acara di radio dan TV juga didominasi oleh tema-tema yang bernuansa ramadhan.

Terlepas dari beberapa perusahaan yang mengiklankan tema ramadhan dengan tujuan melariskan produknya atau hanya untuk meraup keuntungan ekonomi semata. Mudah-mudahan apa saja yang dilakukan oleh kaum muslim dalam menyongsong bulan Ramadhan, dengan ragam kegiatan, merupakan bentuk rasa senang atas kehadirannya. Sabda nabi Muhammad SAW dalam sebuah Haditsnya: “Man fariha biduhûli ramadhâna harrama Allahu jasadahu ‘alanniron”. Barang siapa yang bergembira dengan datangnya bulan Ramadhan, maka Allah mengharamkan jasadnya atas api neraka.
Dalam sebuah riwayat disebutkan, bahwa Rasulullah SAW di akhir bulan Sya’ban mempersiapkan kaum muslimin untuk menyambut datangnya bulan Ramadhan. Dalam kesempatan itu, Rasulullah menyampaikan sebuah nasehat yang amat indah sebagai berikut: “Wahai kaum muslimin, bulan Allah telah datang dengan membawa berkah, rahmat, dan ampunan bagi kita semua. Bulan ini merupakan bulan yang paling baik di sisi Allah. Hari-hari di bulan ini merupakan hari-hari terbaik, malam-malamnya merupakan malam-malam yang terbaik, serta detik-detiknya merupakan detik-detik terbaik. Dalam bulan Ramadhan, Allah mengundang tamu-tamu-Nya dan Allah menganugerahi mereka kasih sayang dan rahmat-Nya. Di bulan ini, setiap tarikan nafas memiliki pahala yang setara dengan dzikir kepada Allah dan tidur pun dinilai sebagai ibadah. Di bulan ini, setiap kali kalian bermunajat kepada Allah, maka Allah akan mengabulkan doa-doa kalian. Oleh karena itu, dengan kejujuran, ketenangan, dan hati yang bersih, mintalah kepada Allah agar memberikan taufik kepada kalian untuk berpuasa dan membaca Al-Quran. Orang yang celaka adalah orang yang di bulan agung dan penuh berkah ini, tidak mendapatkan rahmat dari Allah.”
Ketika menyaksikan hilal atau terbitnya bulan Ramadhan, Rasulullah SAW berdiri menghadap kiblat dan berdoa kepada Allah, meminta keamanan dan keselamatan serta memohon agar Allah menemaninya dalam sholat, puasa, dan membaca Al Quran. Dalam bulan Ramadhan, Rasulullah sangat banyak melakukan amal sholeh, di antaranya memberi makanan berbuka kepada orang yang berpuasa. Diriwayatkan, ketika bulan Ramadhan tiba, Rasulullah menunjukkan kasih sayang secara lebih besar kepada kaum fakir miskin. Rasulullah juga berpesan kepada kaum muslimin agar di dalam bulan ini, mereka banyak membaca Al Quran. Suatu hari beliau ditanyai oleh seseorang, “Apakah amal terbaik di bulan ini?” Rasulullah menjawab, “Pekerjaan terbaik yang dilakukan pada bulan Ramadhan adalah tidak melakukan segala sesuatu yang dilarang oleh Allah SWT.”
Umur manusia merupakan kumpulan dari detik-detik. Manusia yang beruntung adalah manusia yang berhasil memanfaatkan setiap detik dalam kehidupannya dengan cara yang bermanfaat. Langkah awal untuk memanfaatkan umur adalah mengenal kesempatan-kesempatan yang tiada bandingannya yang diberikan Allah kepada manusia. Suatu hari Allah berfirman kepada Nabi Daud A.S., “Dalam hari-hari kehidupan, ada saat-saat yang tiada bandingannya, berusahalah agar berada dalam naungan saat-saat tersebut.”
Bulan Ramadhan adalah salah satu momen penting yang memberikan semangat baru kepada jiwa manusia. Bulan suci Ramadhan bagaikan sebuah pesantren yang memiliki jam pelajaran padat, yang menyatukan seluruh bulan dalam setahun. Pelajaran-pelajaran yang disampaikan dalam pesantren ini sangatlah bermanfaat dan membangun. Manusia meskipun dengan seluruh uang yang dimilikinya, tidak akan mampu mendirikan pesantren semacam ini. Firman Allah dalam jiwa kaum muslimin sedemikian dalam dan memberikan pengaruh, sehingga kini setelah berlalu lebih dari 14 abad sejak diturunkannya hukum puasa melalui Rasulullah Muhammad SAW, pesantren ini terus berdiri dengan diikuti oleh jutaan santri dari berbagai penjuru dunia.
Kita tidak dapat membayangkan hikmah yang dimilikinya, selain kewajiban puasa. Sebut saja, rasa senang atas kehadirannya saja telah menjadi perhatian serius nabi atas keutamaannya, apa lagi yang lainnya, meskipun pada hakekatnya rasa senang tidak akan berarti apa-apa, jika tidak ada proses kelanjutan bagi peningkatan ibadah, yang berujung terciptanya peningkatan ketaqwaan.
Bulan Ramadhan, bulan Allah (syahr Allah). Penyebutan ini sesuai dengan ragamnya ibadah dan hikmahnya, dengan Allah sebagai penentu bagi lipatan hikmahnya (ganjaran). Yang hal ini tidak ditemukan pada bulan-bulan lainnya, sehingga sebagai bulan Allah, maka peneguhan diri menyambutnya menjadi keharusan bagi setiap individu, yaitu merespon anjuran-anjuran yang diajarkan agama baik dari al Qur’an, hadits maupun perilaku orang-orang shalih terdahulu (salaf al shalihîn).

Meniti Ibadah
Kewajiban puasa, bagi yang beriman, merupakan pokok dari rentetan ibadah ada dalam bulan Ramadhan, sebagaimana disinggung dalam al Qur’an, surat al Baqarah:183

artinya: Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan kepadamu puasa, sebagaimana diwajibkan kepada orang sebelum kamu, agar kamu menjadi orang yang bertaqwa”.
Predikat puncak pelaksanaan nilai puasa Ramadhan adalah sebagai insan yang bertaqwa (al Muttaqin). Namun, untuk mencapai ketaqwaan itu tidak semudah membalikkan tangan, sehingga pada kesempatan yang berbeda nabi Muhammad SAW memperingatkan dalam sebuah hadithnya “kam mi shâimin laysa lahu min siyâmihi illa al ju’a wa al athsa”, banyak orang berpuasa, tidak ada yang didapatnya, kecuali rasa lapar dan haus.
Pencapaian ketaqwaan harus diupayakan dengan keras oleh pelaku puasa dengan meningkatkan ibadahnya, baik siang maupun malam hari, lebih-lebih di akhir-akhir bulan Ramadhan. Di samping pada siang bolong ia harus menjaga keabsahan puasa itu, dengan tidak mengerjakan sesuatu yang membatalkan secara syar’i, misalnya minum, makan, berhubungan suami istri dan lan-lain.
Peningkatan ibadah itu dapat dilakukan dengan mengerjakan amalan-amalan yang menjadi anjuran agama, bukan kewajiban, misalnya shalat tarawih, tadarrus al Qur’an, shalat malam, i’tikaf dan beberapa amalan lainnya. Artinya, pada intinya pelaku puasa seyogyanya mengisi hari-harinya dengan kegiatan apapun yang dapat menghadir dirinya untuk mendekatkan diri pada Allah SWT.
Dari sekian amalan-amalan itu, peringatan nabi tentang “banyaknya pelaku puasa yang hanya dapat haus dan lapar” merupakan cambuk bagi pelaku puasa agar berhati-hati dalam mengerjakan puasanya, sekalipun secara syar’i puasa yang dilakukan hanya sekedar menggugurkan kewajiban.
Sebagai kelanjutannya, maka bagi pelaku puasa diharapkan juga berpuasa secara batin, di samping puasa dhahir. Artinya ia harus menjaga beberapa perbuatan dan sikap yang “merusak” nilai-nilai puasa, yaitu hikmah yang dikandungnya.
Terkait dengan hal ini, Imam al Ghazali menyebutkan, diantara perbuatan yang harus dihindarkan adalah mengerjakan dosa-dosa yang dilarang agama dari seluruh anggota tubuh, misalnya telinga, mata, mulut, tangan, kaki dan anggota lainnya. Dan pelaku puasa model inilah, sebagaimana ditegaskan al Ghazali adalah puasa bagi orang yang khusus (shaum al Khusus), bukan puasanya kebanyakan orang (al umum), yang hanya cukup puasa dengan rasa lapar dan haus.
Terkait dengan hal ini juga, ditemukan dalam hadits lain: “man lam yada’ qawla al zûri wal ‘amal bihi wal jahla fa laysa lillahi hâjatun fi ayyada’a tha’âmanu wa syarâbahu”, artinya: Barang siapa yang tidak meninggalkan ucapan dan perbuatan bohong serta merasa bodoh, maka Allah tidak ada hajat (membalas) pada orang yang meninggalkan makan dan minum (HR. Bukhori).
Meniti ibadah dengan ragamnya amalan-amalan yang dianjurkan pada bulan Ramadhan menjadi nilai tersendiri, selain kewajiban puasa, agar dapat merasakan kemanfaatannya yang hakiki. Di samping itu harus komitmen untuk tidak mengerjakan perbuatan yang membatalkannya baik secara dhahir, misalnya minum dan lain-lain, atau secara batin, misalnya perbuatan bohong, adu domba dan sejenisnya.
Mengais Berkah
Puncak dari hikmah Ramadhan sebagaimana dijanjikan adalah terciptanya peningkatan ketaqwaan yang membentuk perilaku pelaku puasa, yaitu Sebuah nilai yang diidam-idamkan khalayak umat, tanpa mengenal jenis kelamin, jabatan dan suku apapun. Inna akramakum ‘inda Allah atqâkum, (sesungguhnya yang paling utama diantara kamu adalah orang yang paling bertaqwa).
Secara sosial, hikmah Ramadhan akan dirasakan semua orang, jika pelaku puasa mampu merawatnya dengan baik dan menghayatinya. Karena, puasa mendidik seseorang untuk sabar, belajar dan menghindari tindakan-tindakan yang merugikan orang lain. Hikmah inilah yang paling penting pada saat ini, di samping secara vertikal harapan ganjaran langsung dari Allah tidak dilupakan sebagai sebuah keyakinan beragama, yaitu harapan mendapat rahmat-Nya, pengampunan-Nya hingga bebas dari api neraka.
Keterpurukan moral sudah menjadi pandangan keseharian kita, sehingga hampir pasti, dalam setiap harinya, kita disuguhkan melihatnya berbagai tayangan media massa baik cetak maupun eletronik. Kekerasan, tindakan saling menikam antar individu maupun kelompok serta prilaku amoral lainnya sudah sering ditemukan, sehingga pada saatnya sulit membedakan kebenaran dan kebatilan. Yang terjadi keuntungan individu maupun kelompok menjadi tujuan terpenting dari tindakan-tindakan ini.
Pada akhirnya, puasa kali ini diharapkan mampu menjadi awal perubahan dan pencapaian hakekat hikmahnya, bukan sekedar cukup merasa puas dengan lapar dan haus, sehingga pasca Ramadhan cita-cita sebagai insan yang bertaqwa tetap mewarnai kehidupan pelaku puasa, baik individu maupun kelompok. Dan semua kembali pada kesiapan kita dalam memaknai dan menghayati bulan Ramadhan.

Hikmah Puasa
Apabila Allah SWT mewajibkan sesuatu kepada manusia, pasti ada hikmahnya. Hikmah diwajibkannya puasa di bulan Ramadhan diantaranya adalah sebagai berikut:1. Menghapus dosa-dosa kecil.Sebagai manusia kita tidak bisa lepas dari kesalahan, kekeliruan, dan kemaksiatan. Tidak ada manusia yang steril dari dosa, kecuali para nabi yang ma’sum (terpelihara dari perbuatan dosa). Puasa Ramadhan merupakan sarana untuk menghapuskan dosa. Puasa yang kita lakukan menjadi penghapus dosa-dosa kecil setahun ke belakang, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, berikut ini,“Shalat-shalat yang lima dan Jum'at ke Jum'at serta Ramadhan ke Ramadhan adalah penghapus dosa-dosa di antara itu apabila dosa-dosa besar dijauhi" (HR. Muslim).2. Melatih muraqabah.Muraqabah artinya suatu kondisi psikis (jiwa) yang selalu merasa ditatap, dilihat, dan diawasi Allah SWT. Seorang pelajar atau mahasiswa yang muraqabah tidak akan menyontek walaupun tidak diawasi. Seorang yang muraqabah tidak akan korup walaupun ada kesempatan untuk melakukannya. Ketika puasa, kalau belum tiba waktu berbuka, kita tidak berani makan atau minum walau tidak ada seorang pun yang melihat kita, padahal makanan dan minuman tersedia. Jelaslah, bahwa puasa menjadi ajang latihan muraqabah.3. Melatih pengendalian nafsuManusia memiliki tiga nafsu (dorongan), yang selalu berkompetisi (bersaing), yaitu nafsu amarah, nafsu lawwamah, dan nafsu muthmainnah.Nafsu amarah adalah dorongan untuk melakukan pelanggaran dan kemaksiatan. Manusia paling saleh pun memiliki dorongan ini, karena sudah dipastikan tidak ada manusia yang steril dari dosa.Nafsu lawwamah adalah nafsu yang suka mengoreksi saat kita melakukan dosa atau maksiat. Kalau kita melakukan kemaksiatan, berbohong misalnya, coba siapa yang pertama kali mengingatkan bahwa perbuatan tersebut salah? Diri kita sendiri bukan? Inilah yang disebut nafsu lawwamah. Bersyukurlah bila kita masih merasa bersalah kalau melakukan dosa, ini menunjukkan nafsu lawwamahnya masih berfungsi. Kalau kita sudah tidak merasa lagi saat berbuat maksiat, ini menunjukkan nafsu lawwamahnya sudah tidak pekah, bahkan mungkin tidak berfungsi lagi.Nafsu muthmainnah adalah dorongan untuk berbuat kebaikan. Jiwa merasa tenteram kalau melaksanakan aturan-aturan Allah. Manusia yang paling bejat di muka bumi ini pun memiliki nafsu muthmainnah, karenanya sebejat-sebejatnya orang pasti dia pernah berbuat kebaikan. Manusia hakikatnya hanif (cenderung pada kebaikan), karena itu manusia akan merasa tenang, tenteram, dan bangga kalau sudah berbuat kebaikan, serta merasa gelisah dan menyesal bila melakukan pelanggaran dan dosa.Ketiga macam nafsu diatas, amarah, lawwamah dan muthmainnah selalu bersaing. Apabila nafsu muthmainnah memenangkan persaingan, akan lahir perbuatan baik. Kalau nafsu amarah yang menang (dominant), akan lahir perbuatan dosa. Jadi, puasa melatih jiwa agar mampu mengendalikan nafsu amarah, bahkan bisa menundukkannya, sehingga yang dominan dalam diri kita adalah nafsu muthmainnah. Dengan demikian, yang lahir dalam ucapan dan perbuatan kita hanyalah hal-hal yang baik, benar, dan diridhai Allah SWT.

DAFTAR PUSTAKA
Al Qur’an Karim
Dr. Ahmad Umar Hasyim: Yessy Afdhiani & Shocheh, Ha al-Shiyâm fî 'l-Islâm

KH. Ihya’ Ullumiddin, Risalah Puasa, V De Press Surabaya
Wasid Mansyur, 2007, Menyongsong Ramadhan: Menanam Ibadah, Menebar Hikmah, PusKAB Surabaya

Tidak ada komentar: