Oleh:
Mishad Khoiri
Sudah tiga malam lampu di rumah keluarga yang dihuni tiga orang itu
gelap gulita. Dari jauh, hanya tampak lilin yang menyala. Keluarga yang terdiri
dari seorang Ibu, sebut saja Bu Fulanah dan dua orang anak yang sudah dewasa
ini agak tertutup. Para tetangga di sekitarnya menganggap padamnya lampu
mungkin ada masalah dengan pemutusan saluran listrik oleh PLN, sehingga mereka
“sungkan” menanyakannya ke keluarga itu. Lantaran, begitu penasarannya, pak
Fulan sebut saja tetangga depan rumahnya iseng menanyakan ke Ibu Fulanah yang
punya rumah tentang mengapa listrik di
rumahnya kok padam? Apakah diputus PLN? Ternyata jawabannya di luar dugaan,
yaitu “Tidak”. Terus kenapa? Dijawab Bu Fulanah tidak tahu. “Saya dan anak-anak
saya takut ”setrum” listrik pak, sehingga kami tidak berani mendekat ke pusat
listrik di rumah kami” imbuh Bu Fulanah .
Pak Fulan bergegas meminta izin memeriksa jaringan listrik di
rumah tersebut. Dia minta dibantu, Dedi
anaknya Bu Fulanah untuk memeriksa saluran listrik. Dedi, anak sulung
dari Ibu Fulanah yang sudah kuliah semester akhir itu pun ikut membantu
menunjukkan pusat listrik di rumahnya. Setelah Pak Fulan memeriksa sebentar,
ternyata diketahui “sekring listriknya off/putus”.
Setelah disambung/ditombol on-nya oleh Pak Fulan, maka menyalah juga semua
lampu di rumah itu.
Pak Fulan hanya bisa geleng-geleng
kepala, masak gara-gara sekring putus/off,
listrik dibiarkan mati tiga hari tiga malam tanpa ada solusi, hanya karena takut
“setrum”. Padahal di keluarga Ibu Fulanah punya dua anak yang sudah besar,
bahkan ada yang sudah kuliah. Bu Fulanah menceritakan, bahwa dia dari kecil
memang takut pada “setrum/listrik”, dan menanamkan pada anak-anaknya untuk
tidak mendekat atau main-main dengan perangkat kelistrikan. Sehingga sampai
usia kuliah pun anak-anaknya tidak paham dengan masalah kelistrikan, karena
“saking” takutnya, termasuk hanya untuk
menyambung/meng-on-kan sekring putus/
off.
Dari cerita keluarga bu Fulanah di atas bisa digambarkan, bahwa
suatu pembiasaan berlebihan pada hal tertentu menjadikan anggota keluarga,
terutama anak kita menjadi penakut, kurang berkembang, dan kurang terampil/cakap
menyelesaikan masalah. Menjauhkan anak dari bahaya “setrum” itu baik, tapi memahamkan
anak untuk tahu bahwa “setrum” itu bisa kita manfaatkan dan bisa kita gunakan
tanpa harus “kesetrum” itu penting juga. Sehingga suatu saat menghadapi masalah
yang berhubungan dengan hal itu, anak bisa tangkas menghadapinya. Begitu juga
menghadapi hal-hal lain dalam kehidupan ini, ternyata pendekatan “life skill” atau kecakapan hidup adalah
bagian penting dalam pembelajaran anak didik kita. Lebih-lebih menyiapkan
kecakapan anak didik kita di rumah/ sekolah menghadapi era revolusi industri
4.0 kini.
Terjadi perubahan yang drastis di revolusi industry 4.0 ini.
Revolusi Industri 4.0 ditandai dengan berkembangnya Internet of/for
Things yang diikuti teknologi baru dalam data sains, artificial
intelligent atau kecerdasan buatan, robotik, cloud, cetak
tiga dimensi, dan teknologi nano. Kehadirannya begitu cepat. Banyak hal yang
tak terpikirkan sebelumnya, tiba-tiba muncul dan menjadi inovasi baru, serta
membuka lahan bisnis yang sangat besar. Munculnya transportasi dengan
sistem ride-sharing seperti Go-jek, Uber dan Grab, juga room-sharing seperti
Airbnb adalah contoh. Inovasi tersebut bahkan telah men-disrupsi bisnis transportasi dan sewa kamar yang sudah ada
sebelumnya.
Era revolusi industri 4.0 merupakan tantangan berat bagi dunia
pendidikan di Indonesia. Mengutip Jack Ma dalam pertemuan tahunan World Economic Forum 2018, pendidikan
adalah tantangan besar abad ini. Jika tidak mengubah cara mendidik dan
belajar-mengajar, 30 tahun mendatang kita akan mengalami kesulitan besar.
Pendidikan dan pembelajaran yang sarat dengan muatan pengetahuan
mengesampingkan muatan sikap dan keterampilan sebagaimana saat ini
terimplementasi, akan menghasilkan anak didik yang tidak mampu berkompetisi
dengan mesin. Dominasi pengetahuan dalam pendidikan dan pembelajaran harus
diubah agar kelak anak-anak muda Indonesia mampu mengungguli kecerdasan mesin
sekaligus bijak menggunakan mesin untuk kemaslahatan.
Siapkah dunia pendidikan kita menghadapai era revolusi industri
4.0? Saat ini yang dirasakan guru kita
beban kurikulum dan beban administratif sudah terlalu padat, sehingga tidak
lagi memiliki waktu tersisa memberi peluang anak didik menjelajahi daya-daya
kreatif mereka menghasilkan karya-karya orisinal. Akibatnya, interaksi sosial
anak didik terbatasi, daya kreasinya terbelenggu, dan daya tumbuh budi pekerti
luhurnya stagnan.
Idealnya sekolah mengimplementasikan
pembelajaran yang opened dan memungkinkan anak didik mengeksplorasi
lingkungan pendidikan keluarga, masyarakat, dan sekolah. Seharusnya, sekolah menyelenggarakan
pembelajaran yang kaya inovasi dan kreasi. Proses pembelajaran di sekolah harus
mengembangkan daya cipta, rasa, karsa, dan karya serta kepedulian sosial.
Di era
Revolusi Industri 4.0 sekolah perlu mengembangkan literasi baru yaitu data, teknologi
dan sumber daya manusia. Sekolah harus bisa mendorong siswanya dapat memanfaatkan
dan mengolah data, menerapkannya ke dalam teknologi dan tentunya kita harus
memahamkan siswa cara penggunaan teknologi tersebut . Literasi manusia menjadi
penting untuk bertahan di era ini, tujuannya adalah agar manusia bisa berfungsi
dengan baik di lingkungan manusia dan dapat memahami interaksi dengan sesama
manusia. Oleh karena itu sekolah perlu mencari metoda untuk mengembangkan
kapasitas kognitif siswa: higher order
mental skills, berpikir kritis & sistemik, amat penting untuk bertahan
di era revolusi industri 4.0. Kemampuan
untuk membaca, analisis, dan menggunakan informasi (big data) di dunia digital harus ditingkatan.
Dampak
negatif dari revolusi industri 4.0 di lingkungan pendidikan juga harus
diantisipasi. Akses internet mempunyai dampak terhadap merebaknya game online, situs porno dan kekerasaan.
Semuanya itu dapat diantisipasi dengan penguatan pendidikan karakter siswa oleh
sekolah melalui bi’ah (pembiasaan)
akhlaqul karimah. Pembiasaan tersebut diantaranya dengan memasukkan muatan
pendidikan karakter dalam rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Di luar
pembelajaran formal, pembiasaan akhlakul karimah
siswa bisa dilakukan melalui kegiatan sholat berjama’ah, tadarus qur’an, kerja
bakti, kantin kejujuran, kegiatan pengembangan diri, dan ekstra kurikuler. Tentu
saja semua itu harus didukung oleh tegaknya aturan sekolah, keteladanan unsur
pimpinan, dan guru, serta sinergi kinerja seluruh komponen stake-holder sekolah. Semuanya harus bahu membahu demi tercapainya kesuksesan
dan prestasi anak didik kita di era industri 4.0 kini. Wallohua’lam.