Oleh:
Mishad*
Bulan
April 2014 ini, negara kita punya dua gawe nasional besar. Di samping menyelenggarakan
pemilu legeslatif, pemerintah juga punya gawe nasional lain, yaitu secara
beruntun menggelar ujian nasional (UN) untuk SMA/SMK/MA/SMALB pada tanggal 14 – 16 April 2014 dan UN SMP/MTs/SMPLB
pada tanggal 5 – 8 Mei 2014. Meskipun dua gawe besar ini berbeda tujuan, tapi
memiliki skala yang sama, yaitu menjangkau seluruh wilayah Indonesia. Dua hajat
besar ini juga membutuhkan persiapan yang lama dan harus “sistemik”, terutama
penyelenggaraan UN. Fakta penyelenggaraan UN tahun 2013 kemarin yang masih “amburadul” merupakan pil pahit yang tidak perlu terulang
kembali. Maka tahun ini, pemerintah bertekad untuk
menyelenggarakan UN secara baik dan tepat
waktu.
Saya tidak akan membahas tentang
bagaimana teknis penyelenggaraan UN yang ideal. Tapi saya lebih tertarik menyorot tentang bagaimana persiapan siswa,
termasuk sekolah ketika mempersiapkan siswanya menghadapi UN? Ketertarikan
saya terhadap fenomena persiapan menjelang UN ini muncul karena adanya tradisi
yang saya anggap “irasional” sering dilakukan siswa/sekolah ketika menghadapi
UN. Di antaranya adalah ritual ziarah ke makam keramat, ritual cuci kaki ibu (kadang ada juga air
bekas cuci kaki ibu tadi sedikit diminum),
memantrai/menjampi-jampi alat tulis yang akan dipakai untuk menulis di lembar
jawab komputer (LJK) UN, pergi ke dukun minta azimat, dan kadang yang paling
ekstrem menyepi di tempat keramat.
Dari
fakta tersebut, tentunya kita menemukan hal yang kontraproduktif dari tujuan penyelenggaraan UN. Pemerintah menggelar UN dengan tujuan meningkatkan
kualitas pendidikan, seperti supaya siswa/sekolah berpacu meningkatkan kualitas
pembelajaran dan penguasaan materi pelajarannya__ tapi yang terjadi justru
maraknya “klenik”. Belum lagi masih ditemukannya bocoran kunci UN di mana-mana.
Usaha menghambat dampak bocoran kunci UN
dengan memodel soal UN dengan 20 variasi soal tampaknya masih ada “celah”. Di
beberapa sekolah pinggiran, termasuk di daerah terpencil juga masih ditemukan
soal UN yang dikerjakan gurunya, kemudian kuncinya dibagikan pada muridnya. Bahkan
ada kepala sekolah yang tertangkap basah menyembunyikan naskah soal UN, ketika pengepakan
jatah naskah UN di kantor polisi.
Kejadian-kejadian tersebut merupakan fakta bahwa
masih banyak siswa/sekolah yang “belum” jujur dalam menyiapkan diri menghadapi
UN. Data BSNP yang membagi wilayah putih, abu-abu, dan hitam sekolah/daerah
penyelenggara UN adalah bukti temuan tersebut. Secara mengagetkan banyak
ditemukan data korelasi antara jarak sekolah dengan pusat kota dengan tingginya
nilai UN, yaitu semakin jauh lokasi sekolah dengan pusat kota (ketatnya
monitoring), maka semakin tinggi rata-rata nilai UN-nya. Bahkan ada indikasi pemerintah
daerah/pemda tertentu melakukan kecurangan penyelenggaraan UN secara ber-jama’ah dengan target seluruh siswa satu
daerahnya bisa lulus 100% dan nilainya tinggi.
Tentu
saja masih banyak pemda dan sekolah yang masih “mengedepankan” kejujuran dalam
menghadapi UN, dan mestinya harus demikian. Pemda/Sekolah tersebut masih bisa
berpikir jernih dengan prinsip, apa manfaatnya jika lulus semua dan nilainya
tinggi tapi tidak jujur? Mereka juga masih kepingin siswa-siswi mereka menjadi
pribadi yang tidak hanya pandai dengan indikator lulus dan nilai tinggi. Tapi
mereka juga ingin siswa/siswinya menjadi pribadi yang jujur dan mengedepankan
sportifitas. Mestinya kondisi inilah yang harus diciptakan oleh masing-masing
sekolah atau pemda, yaitu berkompetisi secara sehat (fashtabikul
khoirot). Perlu diingat, bahwa para
pelajar yang sekolah sekarang ini lah yang akan menjadi salah satu pemimpin
negeri ini di masa depan. Bagaimana nasib bangsa ini, kalau mereka atau kita
dalam menyiapkan UN saja sudah tidak jujur? Tentunya, kalau di sekolah saja
siswa kita tidak jujur, maka akan merembet terhadap “ketidakjujuran” ketika mereka
memimpin negeri ini.
Jika
kita ingin negeri ini dipimpin oleh kader-kader yang jujur dan amanah tentunya
mulai dini mereka harus kita siapkan menjadi pribadi-pribadi yang jujur,
termasuk dalam menghadapi UN . Ada beberapa strategi/program yang dapat dilakukan oleh sekolah atau madrasah untuk sukses menghadapi
UN secara jujur dan elegan, di antaranya adalah: Pertama. Melakukan Bedah standar kompetensi lulusan (SKL) bidang studi UN. Bedah
SKL diperlukan untuk mengevaluasi soal-soal UN sebelumnya dan memprediksi
soal-soal UN yang akan datang. Dalam bedah SKL dilakukan rekapitulasi jumlah
soal yang keluar per-indikator tiap SKL dan model variasi soal tiap bidang
studi UN dari tahun ke tahun. Dari hasil analisa rekapitulasi dan model variasi
soal itu kemudian dilakukan prediksi soal beberapa paket, tentu saja dilengkapi
dengan kisi-kisi, kunci, dan pembahasannya. Hasil prediksi soal ini yang akan
digunakan sebagai bahan soal try out.
Kedua. Mengadakan jam tambahan bimbingan belajar (Bimbel) untuk bidang studi UN,
khususnya untuk siswa kelas XII. Program tambahan jam belajar
untuk bidang studi UN ini sangat rasional karena soal UN bahannya mulai dari kelas
X sampai kelas XII dan soal UN mempunyai karakteristik yang sedikit berbeda
karena memang bukan dibuat oleh guru di sekolah/madrasah kita sendiri. Program bimbel di sekolah/madrasah sangat dibutuhkan sebagai bekal tambahan materi dan penyelesaian soal dalam menghadapi UN.
Ketiga. Try Out
UN. Segala sesuatu, terutama ujian butuh latihan
untuk menghadapinya. try out UN
diperlukan untuk melatih siswa untuk “warming
up” atau pemanasan menjelang UN. Bahkan jika perlu ciptakan kondisi seolah
UN sebenarnya pada salah satu try Out, mulai
ruangnya, penjaganya, bahkan model dan variasi soalnya. Pelaksanaan try out tidak perlu terlalu sering.
Idealnya sekolah cukup tiga kali saja melakukannya. Asumsinya, siswa juga terkadang mengikuti kegiatan try out di luar sekolah. Ada catatan
penting dari kelanjutan dari try out,
yaitu pembahasannya. Pembahasan soal try
out diperlukan supaya siswa paham mana jawaban mereka yang benar dan jawaban mereka yang salah serta solusinya untuk menjawab soal try out selanjutnya, termasuk pada UN yang
sebenarnya.
Keempat. Pengadaan buku kumpulan materi dan
soal UN. UN adalah sebuah ujian yang memiliki SKL yang sudah jelas.
Hanya pola dan model soalnya yang senantiasa berkembang. Untuk mempersiapkan
penguasaan materi dan penyelesaian soal, siswa memerlukan buku kumpulan materi dan soal UN, terutama kumpulan soal UN. Susunan kumpulan materi atau soal UN perlu dibuat per-SKL dengan model/variasi soal sebanyak mungkin. Materi dan soal ini kemudian di drill-kan atau dibahas
pada saat tambahan jam/bimbel di sekolah dan program intensif UN.
Kelima. Program intensif UN. Program intensif UN hampir mirip dengan bimbel,
bedanya bimbel UN biasanya diprogramkan sebelum atau setelah jam pelajaran di sekolah sedangkan program intensif adalah program murni latihan dan
pembahasan soal UN dengan mengacu pada kumpulan soal UN dan pembahasan soal try out UN. Karena materi pelajaran non
UN sudah tuntas, maka di program intensif UN
murni hanya mempelajari materi bidang studi yang di-UN-kan saja. Di selah-selah program
intensif UN, perlu juga diselipkan try out untuk mengetahui perkembangan penguasaan materi
siswa. Hasil try out tersebut
diperlukan sebagai masukan untuk program pondok UN sebagai masukkan untuk
mengklasifikasikan ke kelas pengayaan atau kelas remedial.
Keenam. Program pondok UN. Program pondok UN adalah program pengayaan bagi siswa
yang sudah bagus penguasaan materinya dan program remedial bagi siswa yang masih rendah penguasaan materinya.
Dinamakan pondok UN karena siswa memang harus di karantina/menginap di sekolah
atau belajar hingga malam hari, karena pagi sampai sore mereka harus mengikuti
program intensif UN. Masing-masing program dibedakan menjadi dua kelas, yaitu kelas pengayaan dan kelas remedial. Di kelas pengayaan, siswa yang penguasaan materinya baik dilejitkan
semaksimal mungkin nilainya. Sedangkan di kelas remedial siswa diterapi kemampuannya dan
diusahakan memiliki nilai yang lebih baik/meningkat dan jangan sampai tidak lulus.
Ketujuh. Program pembinaan mental dan ibadah. Program pembinaan mental biasanya
dilakukan dengan mendatangkan motivator (ESQ) dan terapi (hypno-therapy) untuk
mempersiapkan mental/psikologis siswa. Pembinaan mental yang rutin juga bisa
dilaksanakan rutin melalui program konseling oleh BK sekolah/madrasah. Sedangkan
program ibadah dapat dilakukan dengan penyelenggaraan sholat dhuha terbimbing,
anjuran melanggengkan sholat tahajjud, puasa senin kamis, banyak bersedekah
(terutama pada yatim piatu), do’a bersama/istighotsah,
dan lain-lain. Bagaimanapun, program pembinaan mental ini sangat perlu untuk
mengimbangi penguasaan materi (IQ) dengan kematangan spiritual (SQ) siswa.
Kedelapan. program fisik dan relaksasi. Program fisik adalah program menjaga
kesehatan tubuh siswa. Caranya adalah dengan anjuran berolah raga teratur di selah-selah aktivitas
lain dan mengkonsumsi makanan sehat, seperti tambahan
minum susu dan madu. Sedangkan kegiatan relaksasi bisa dilakukan melalui
penyelenggaraan out bond. Dalam kegiatan out bond mereka diharapkan bisa melepas kepenatan/kejenuhan
pikiran selama menjalani kegiatan belajar mengajar di sekolah. Out bond juga diharapkan mampu menciptakan suasana kekeluargaan antara mereka, guru, dan orang tua. Target out bond yang
lebih penting lagi adalah memicu semangat mereka untuk “siap tanding”
menghadapi UN.
Kesembilan. Program mohon restu guru dan orang tua. Program ini dapat dilaksanakan dengan cara
mengumpulkan siswa, guru, dan orang tua pada acara pengajian, do’a bersama, dan
santunan anak yatim di sekolah. Acaranya bisa didesain dengan diawali dengan do’a bersama (istighotsah), pengajian, dan dilanjutkan dengan santunan. Acara ditutup dengan saling
bersalam-salaman antara siswa, guru, dan orang tua dengan tujuan mohon do’a
serta restu dan saling memaafkan. Kegiatan ini berangkat dari sabda Rasulullah, yaitu “Dari Abdullah Ibnu Amar al-’Ash Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi
Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Keridloan Allah tergantung kepada
keridloan orang tua dan kemurkaan Allah tergantung kepada kemurkaan orang tua.”
Riwayat Tirmidzi. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban dan Hakim.”. Kalau orang tua merestui atau ridho, maka
hasil UN insya Allah akan baik, tentunya baik menurut Allah SWT.
Kesepuluh. Tawakkal. Setelah melakukan usaha-usaha teknis di atas
secara optimal, maka kita tanamkan siswa kita untuk “ber-tawakkal”. Tawakkal dalam arti berserah diri pada Allah SWT setelah maksimal
berusaha.
Tawakkal jangan sampai
disalah artikan hanya berdo’a dan berserah diri saja tanpa belajar. Siswa perlu
dipahamkan tentang sukes UN itu harus seimbang antara belajar dan berdo’anya.
Ada ungkapan yang cukup mengena yang bisa kita tanamkan kepada siswa kita,
yaitu “Belajar tanpa berdo’a adalah sombong, sedangkan berdo’a tanpa belajar
adalah malas”.
Jika
sepuluh strategi atau program ini dilakukan, maka bisa
dikatakan sekolah telah membekali siswanya dengan bekal yang benar dan elegan.
Sekolah yang berdedikasi tentunya sangat tepat jika membentuk tim sukses dengan
melaksanakan sepuluh program ini atau boleh
ditambah atau dikurangi.
Bukan membentuk tim sukses UN untuk menyiapkan siswanya melakukan ritual “klenik” atau melakukan
kegiatan kecurangan UN. Tujuan pendidikan kita adalah membentuk generasi yang
ber-IPTEK dan ber-IMTAQ, maka jangan biarkan “ritual klenik” dan “kecurangan”
UN menjalar ke mana-mana. Ingat! bekal
pendidikan dan kejujuran yang kita
tanamkan pada siswa sekarang akan berbuah di masa mendatang. Negeri ini butuh
kader-kader pemimpin yang jujur dan adil dan mereka adalah para siswa siswi
sekolah/madrasah kita. Generasi
pemimpin mendatang yang jujur berangkat dari mekanisme pendidikan yang jujur,
termasuk dalam mensukseskan UN. Mari kita sukseskan UN dengan cara yang jujur dan elegan. Wallohua’lam.