Pengikut

Rabu, 11 April 2012

Keadilan Gender Bukan Kesetaraan Gender

Oleh:

Mishad Khoiri

Beberapa waktu lalu saya bersama dengan teman-teman se-kantor ada acara refreshing ke Bali. Tidak heran, kalau ada orang berkomentar, bahwa obyek rekreasi di Bali identik dengan obyek-obyek yang berkonotasi negatif. Memang mayoritas obyek wisata di Bali dikunjungi oleh wisatawan mancanegara yang seringkali terkesan bebas, terutama cara berpakaian mereka yang serba minimalis. Waktu itu saya hanya berfikir positif saja, mungkin ada suatu manfaat dari perjalanan ke sana.

Saya tidak membahas detil tentang pariwisata di Bali, tapi saya ingin bercerita tentang suatu kesan dalam perjalananku menuju ke suatu objek wisata taman burung. Saat itu perhatianku tersita sejenak ketika bus yang saya tumpangi tiba-tiba melambat dan berhenti. Ketika saya menengok ke jendela kaca sebelah, sepertinya ada proyek perbaikan jembatan. Perhatianku tersita bukan karena kemacetan lalu lintas seperti yang biasa saya alami di Porong Sidoarjo. Tetapi saya tertegun melihat para kuli pekerja yang sedang mengecor lantai jembatan. Kuli-kuli pekerja yang tampak berjibaku dengan adukan semen, kerikil, dan pasir itu ternyata para wanita. Pemandangan pekerja wanita sekasar itu sepertinya baru saya temui saat itu, yaitu di daerah yang seringkali disebut sebagai pulau Dewata.

Ternyata ada benarnya cerita yang pernah saya dengar, bahwa wanita Bali adalah pekerja keras yang bahkan mengalahkan para lelakinya. Saya buktikan lagi ketika saya berkunjung di desa adat Panglipuran. Saya menjumpai para lelaki di kampung itu santai-santai di balai-balai (baca:seperti gazebo besar), sementara lelaki yang lain sedang asyik sabung ayam di lapangan. Mudah-mudahan pemandangan yang saya lihat itu bukan cerminan budaya asli Bali. Tetapi hanya ada di daerah-daerah Bali yang masih tradisional dan di daerah tertentu saja.

Islam tidak melarang para wanita untuk bekerja keras, selagi masih dalam jalur kodratnya. Tetapi Islam melarang para pria, apalagi yang sudah berkeluarga hanya berpangku tangan saja. Islam mewajibkan laki-laki sebagai kepala keluarga untuk bekerja guna menafkahi anak dan istrinya. Sedangkan posisi wanita jika bekerja itu dibolehkan asal tidak berbaur bebas dengan kaum lelaki dan diijinkan oleh suaminya. Muslimah yang bekerja juga diharuskan untuk tetap menjalankan tugas utamanya sebagai ibu rumah tangga. Tentu saja suami harus tetap membantu urusan rumah tangga, bahkan kalau mampu mencarikan pembantu.

Prinsip kesetaraan gender dalam Islam dimaknai sebagai keadilan gender bukan persamaan gender. Keadilan memiliki makna memposisikan laki-laki dan perempuan sesuai kodrat dan perannya masing-masing. Alloh menciptakan laki-laki dan perempuan dengan kondisi fisik dan dan karakter berbeda. Rata-rata laki-laki diciptakan dengan otot lebih kuat dan karakter yang keras sedangkan perempuan dijadikan sebagai makhluk yang lemah lembut dan pekah perasaannya. Ini yang menjadikan mereka memiliki kelebihan dan keunikan masing-masing. Jika antar keduanya bersinergi, maka akan memunculkan harmonisasi dan potensi yang luar biasa.

Jika kesetaraan gender dimaknai sebagai persamaan hak dan kewajiban, maka yang terjadi justru ke tidak adilan. Ingat adil itu tidak mesti sama. Wanita yang lemah lembut akan tidak pas bila berprofesi seperti lelaki sebagai kuli bangunan. Jika yang diinginkan hanya posisi yang enak-enak saja yang sama dengan lelaki, seperti menjadi pemimpin, direktur, dan manager, maka itu juga tidak adil. Masak persamaan hak hanya menuntut posisi yang enak-enak saja. Logikanya persamaan hak berarti meliputi hak yang enak maupun yang tidak enak. Kalau yang dituntut persamaan hak, maka wanita selain bisa jadi pemimpin, direktur, manager juga bisa jadi tukang becak, kuli bangunan, sopir truk, kondektur dan lain-lain. Apakah ini tidak justru merendahkan martabat wanita?

Penyimpangan kodrat wanita dan lelaki juga tidak hanya terjadi pada masalah profesi, akan tetapi juga merambah ke masalah tata cara berpakaian dan berperilaku. Betapa banyak para wanita berpakaian menyerupai laki-laki, sedangkan yang lelaki berpakaian ala perempuan. Kita juga banyak melihat seorang perempuan yang berperilaku seperti laki-laki (baca:tomboy), sedangkan tidak kurang para lelaki berpenampilan mbanci bukan banci (berperilaku seperti perempuan). Anehnya justru yang demikian itu yang laris di apresiasi masyarakat. Lihat saja acara-acara di TV yang menyuguhkan tontonan penyimpangan kodrat manusia tercatat sebagai tayangan be-rating tinggi. Artinya gerakan penyimpangan kodrat atau yang lebih dikenal sebagai gerakan feminisme ini berkembang juga didukung oleh media kita yang memang berpihak pada kepentingan kapitalis dan orientasi bisnis.

Menurut Siti Muslikhati, dalam bukunya Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam Timbangan Islam, pada dasarnya, Islam membagi kehidupan ini menjadi dua bagian, yaitu: (1) kehidupan umum (wilayah publik); dan (2) kehidupan khusus/pribadi (wilayahdomestik). Untuk mencapai tujuan kehidupan di dua wilayah tersebut, Alloh telah menetapkan pembagian tugas, karena memang tujuan bersama di kedua wilayah itu hanya bisa dicapai secara efektif dan efisien, manakala ada pembagian tugas. Peran utama wanita sesuai dengan struktur tubuh dan potensinya adalah di wilayah domestik sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Pada diri perempuan, Alloh menciptakan kemampuan reproduksi dan fungsi penentu keberlangsungan jenis manusia. Alloh menjadikan tugas mengandung, melahirkan, menyusui, dan mengasuh anak pada mereka. Ini adalah tugas yang berat, tidak mudah dan penting, sekaligus mulia yang harus ditunaikan oleh wanita dengan persiapan fisik, kejiwaan dan pikiran yang mendalam. Bahkan, demi kesempurnaan penunaian tugas utama ini, Alloh memberikan toleransi untuk berbuka di bulan Ramadhan bagi ibu hamil atau menyusui. Sedangkan kewajiban mencari nafkah, berjihad dan aktifitas-aktifitas lainnya yang dilakukan di wilayah publik, dibebankan kepada pria karena sesuai dengan struktur tubuh dan potensi yang dimilikinya. Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa pembagian tugas antara pria dan wanita itu adalah supaya tercapai tujuan kehidupan ini. Masing-masing tugas tersebut sama-sama penting dan bernilai sama di hadapan Alloh Swt. Masing-masing pihak tidak diperbolehkan merasa lebih utama dan penting dibanding pihak lain. Dr. Lois Lamya (istri almarhum Prof. Isma’il Raji al-Faruqi) mengatakan bahwa gerakan feminis di kalangan muslim juga seyogyanya diletakkan dalam bingkai pembangunan umat secara keseluruhan, tidak chauvinistic dan hanya memikirkan kepentingan kaum wanita saja.

Menurut Abdul Hakim dalam tulisannya yang berjudul Peran Sosial Wanita, Antara Yang Mengekang Dan Membebaskan di jurnal egalita, UIN Malang karena mereka laki-laki dan perempuan adalah sama-sama manusia yang ditunjuk oleh Alloh sebagai khalifah di bumi, maka masing-masing pihak harus menjadi mitra kerja yang baik bagi pihak yang lain dalam memakmurkan bumi sesempurna mungkin. Sungguh benar apa yang disabdakan Rasulullah saw dalam hadits:”Kaum wanita adalah saudara kandung kaum pria (Shahih Al-Jami’).” Karena itu, wanita dengan tetap mengutamakan perannya di wilayah domestik haruslah ikut serta dengan serius dalam peran publik, dimana kiprah dan sepak terjang kewanitaannya selalu ditunggu oleh masyarakat yang selalu butuh sosok perempuan. Karena banyak sekali, bidang-bidang tertentu di wilayah publik membutuhkan peran serta kaum wanita. Seperti dokter kandungan, perawat, guru, dan lain sebagainya. Demikian juga sebaliknya kaum pria, meskipun peran utamanya di wilayah publik, tetap diperlukan perannya di wilayah domestik.

Ternyata masih ada di tengah-tengah masyarakat kita yang belum mengerti, bahwa wanita adalah makhluk ciptaan sang khalik yang memiki peranan yang sangat mulya. Peran wanita adalah sebagai pekerja, partner kerja, mitra dialog, teman bertukar pikiran, disamping tugas utamanya “melayani” suami dan bersama suami “merawat” anak. Sementra suami bertanggungjawab mencari nafkah—mencukupi kebutuhan finansial keluarga termasuk menjadi bodyguard-nya istri dan anak. Jadi kurang tepat, jika tuntutan kaum perempuan dalam memperjuangkan kepentingannya adalah “persamaan” dan “kesetaraan”, karena perempuan dan laki-laki punya peran yang sedikit berbeda, karena sunnatullah (hukum alam). Akan lebih bijaksana, jikalu tuntutan kaum hawa itu diarahkan pada tuntutan “Keadilan” yang lebih bermakna memperjuangkan wanita sesuai dengan perannya. Sampai kapan pun peran wanita tidaklah sama persis dengan laki-laki. Seperti kata Maurice Bardanche, dalam bukunya Histories des Fames yang mengingatkan kita “Janganlah hendak kaum ibu meniru kaum bapak, karena jika demikian, akan lahir bahkan telah lahir, jenis ketiga dari manusia”. Wallohu a’lam