Beberapa waktu lalu saya hadir di
acara simposium nasional bertema “Deradikalisasi agama” yang diadakan oleh
Lembaga Dakwah Nahdatul Ulama (LDNU). Acara tersebut diselenggarakan di aula
gedung rektorat UIN Malang. Hadir sebagai keynote speaker adalah Prof.
Dr. KH. Said Agil Siradj, MA. (Ketua PBNU) dan Prof. Dr. Ir. Purnomo Yusgiantoro
(Menteri Pertahanan RI). Acara yang dibuka oleh Wagub Jawa Timur, Drs.
Saifullah Yusuf ini dihadiri mayoritas da’i Nahdiyin dari seluruh
penjuru nusantara.
Simposium itu juga dihadiri oleh narasumber
yang sangat relevan, yaitu komandan Densus 88 POLRI, Kombes Drs. H. Herwan Chaidir,
Ketua Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Drs. Ansyad Mba’i, MM. dan
lain-lain. Mayoritas peserta forum simposium sepakat, bahwa munculnya terorisme
di Indonesia lebih dipicu oleh problem kesejahteraan (finansial), pemahaman
yang dangkal tentang agama, serta rasa
ketidak adilan akibat kebijakan standar ganda yang sering dipraktikan oleh
negeri adidaya, Amerika Serikat.
Panelis yang menyampaikan materi
tentang deradikalisasi agama itu selalu mengarahkan, bahwa islam itu harus
toleran. Para panelis seolah mengarahkan pemikiran peserta simposium, bahwa
teroris yang tidak toleran itu adalah teman kita sendiri. Menurut mereka aksi
teror di Indonesia dilakukan oleh oknum muslim garis keras. Bahkan menurut
Basri Zain, MA. Ph.D, salah seorang pemateri, disinyalir bahwa islam radikal
tersebut lahir dari ajaran wahabi. Mungkin benar apa yang disampaikan oleh
mereka, bahwa terorisme yang lahir dari oknum muslim adalah produk dari islam
radikal. Tetapi mereka lupa jika pemicu utamanya adalah “ketidak adilan global”
terutama standar ganda yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan sekutunya.
Negara super power itu seringkali
menganak emaskan sekutunya di teluk, siapa lagi kalau bukan zionis
Israel.
Saya yang waktu itu menjadi
peserta simposium mendapat kesempatan bertanya kepada panelis. Saya katakan,
bahwa terorisme oleh oknum muslim lahir lantaran “akibat” bukan “penyebab”.
Sedangkan “penyebab” terorisme adalah “ketidak adilan global”. Saya katakan
juga bahwa terorisme sejati adalah aksi biadab Israel yang dengan seenaknya
membombardir warga Palestina. Kemudian yang saya tanyakan, Apa peran pemerintah
Indonesia menyikapi ketidakadilan ini? Ansyad Mba’i, Herwan Chaidir dan Prof.
Dr. Budi Susilo (Dirjen Politik Pertahanan Kemenhan RI) menjawabya dengan bias.
Mereka seolah “tidak berani” menyebut nama Amerika Serikat dan Israel sebagai
dalang “penyebab” terorisme. Pembicaraan selalu diarahkan agar muslim itu
toleran terhadap pemeluk agama lain dan menghindari aksi kekerasan. Apakah atas
dasar toleransi juga kita tidak bisa berbuat apa-apa terhadap Israel ketika
mereka dengan brutalnya membantai muslim Palestina?
Makna toleransi diterjemahkan
beragam oleh umat muslim di dunia, termasuk
toleransi terhadap bangsa yahudi, Israel. Sebagian besar muslim Indonesia
menginginkan tidak perlu berhubungan apapun termasuk diplomatik dengan mereka.
Tetapi ada juga tokoh masyarakat muslim Indonesia yang berkunjung ke sana dan
disinyalir menjalin komunikasi aktif (mudah-mudahan bertujuan baik). Tapi
pemerintah kita masih cukup bijak, hingga
kini demi menghargai keinginan mayoritas muslim, masih tetap konsisten tidak
berhubungan diplomatik dengan negara Israel.
Sikap muslim terhadap muslim dan sikap
muslim terhadap non muslim sesungguhnya sangat tegas diatur dalam Al Qur’an
surat al- Fath ayat 29, yaitu “Nabi Muhammad Saw, ialah Rasul Alloh; dan
orang-orang yang bersama dengannya bersikap keras dan tegas terhadap
orang-orang kafir yang (memusuhi Islam), dan sebaliknya bersikap kasih sayang
serta belas kasihan sesama sendiri (umat islam)…”. Bukan kah bangsa Yahudi
Israel itu benar-benar telah memusuhi umat muslim, terutama Palestina? Berarti
menghadapi Israel, dan pihak-pihak yang
jelas-jelas memusuhi islam, kita harus bersikap keras dan tegas. Bagi muslim
toleransi dengan non muslim hanya diperuntukkan bagi orang non muslim yang “dzimmi”
(tidak memusuhi islam) bukan non muslim yang “harbi” (memusuhi).
Jika toleransi dalam hal ibadah,
maka batasannya adalah sesuai dengan firman Alloh Ta’ala dalam surat Al
Kaafirun ayat 6, yaitu “untukmu agamamu dan untukkulah agamaku”. Artinya
agama dan ajaran islam adalah untuk umat muslim sedangkan agama dan ajaran
Yahudi, nasrani, serta agama/ajaran lainnnya adalah untuk pemeluknya. Hal
tersebut juga berlaku dalam hal ritual ibadah kita dan ibadah mereka. Islam
tidak mengenal “sinkritisme” dan “passing over” atau mencampuradukkan
ajaran agama, termasuk dalam hal ibadah.
Fenomena do’a bersama antar umat
beragama, nikah beda agama, dan aksi-aksi bersama antar umat beragama yang
tidak jelas batasannya adalah fakta baru yang muncul di Indonesia atas nama
kerukunan dan toleransi. Apabila toleransi diterjemahkan dengan gerakan-gerakan
tersebut, maka yang terjadi adalah proses pendangkalan aqidah dan kesyirikan
yang terselubung. Munculnya Jaringan Islam Liberal (JIL) yang seringkali
memunculkan gagasan-gagasan kontroversial merupakan manifestasi dari gerakan toleransi
yang salah kaprah, terutama terlalu “sembrono” dalam menafsirkan isi Al Qur’an
dan Hadits.
Menghadapi fenomena tersebut,
umat islam tidak cukup menghadapinya dengan marah dan melakukan kekerasan
fisik. Marah dan kekerasan fisik harus dihindari dan lebih mengutamakan
tindakan pencegahan dan diplomasi.. Bagaimanapun juga, jika kekerasan yang kita
dahulukan, maka yang akan lahir adalah kekerasan juga. Maka akan besar kerugian
dan resikonya. Tapi kita tidak boleh lari jika kekerasan dan ketegasan itu memang
terpaksa harus dilakukan. Tapi tetap itu adalah “senjata pamungkas” ketika
langkah pencegahan dan diplomasi sudah mengalami jalan “buntu”.
Sebagai realisasi dari tindakan
meluruskan kekeliruan yang selama ini dipahami oleh sebagian umat islam tentang
toleransi, maka perlu dilakukan usaha-usaha untuk memberikan pemahaman yang
benar kepada umat. Langkah-langkah tersebut bisa dilakukan dengan cara
mensosialisasikan tentang makna toleransi yang benar melalui forum-forum
pengajian dari lingkup kecil sampai yang besar. Tren pengajian umum atau
pengajian rutin yang akhir-akhir ini begitu semarak bisa dijadikan media yang
efektif melakukan gerakan ini. Petuah kyai sebagai tokoh panutan sangat efektif
untuk dapat diikuti dan dilaksanakan oleh jama’ahnya.
Pemahaman yang benar tentang
toleransi hendaknya juga dilakukan oleh Majelis Ulama’ Indonesia (MUI). Fatwa
MUI sebagai wadah formal para ulama’ sangat penting disampaikan kepada
masyarakat muslim. Hanya saja perlu didorong agar eksistensi MUI benar-benar
diakui oleh masyarakat. Jika MUI eksis dan memiliki “taring”, maka
fatwa-fatwanya, termasuk fatwa pemahaman tentang toleransi yang benar akan
sangat efektif. Jika semua berperan mendukung MUI, maka tidak menutup kemungkinan fatwa MUI akan efektif
sebagaimana fatwa mufti di Arab Saudi misalnya.
Sebagai masyarakat, orang tua,
dan pendidik muslim, kita harus memperhatikan pendidikan anak-anak kita. Jika
bekal agama yang dimiliki oleh anak anak didik kita cukup dan benar, maka
pemahaman mereka juga akan benar, termasuk ketika mereka memaknai dan bertindak
atas nama toleransi. Pemahaman mereka akan tetap lurus (wasathon:
ditengah-tengah/Islam ahlussunah wal jama’ah) tidak akan membelok ke
barat/ke kanan (islam garis keras) atau ke timur/ke kiri (islam liberal), La
Syarqiyyah Wala Ghorbiyyah. Wallohu a’lam