Pengikut

Selasa, 15 September 2009

Mudik

Oleh:
Mishad Khairi

Malam itu suasana kota Malang tampak semarak sekali. Suara takbir bersahut-sahutan dari beberapa mushola dan masjid. Bahkan ada beberapa kendaraan, mulai sepeda motor, pick up hingga truk membawa rombongan takbir keliling. Semua kegiatan tersebut dilakukan dalam rangka takbiran untuk mengagungkan asma Allah SWT. Allahu Akbar ... Allahu Akbar .... Allahu Akbar.

Di saat yang sama, Azis dan Ali kelihatan masih sibuk menyiapkan agenda pelaksanaan sholat Idhul Fitri besok hari. Mereka memasang tenda dan menggelar karpet tambahan untuk persiapan jika jamaah sholat Ied besok meluber sampai keluar masjid. Dua pemuda perantau ini harus bersabar untuk tidak mudik ke kampungnya sebelum distribusi zakat fitrah/Maal dan pelaksanaan sholat Ied di masjidnya tuntas. Azis dan Ali adalah dua mahasiswa sebuah PTN di Malang yang kuliah sambil ber-khidmah- di sebuah masjid perumahan.
Nasib Azis dan Ali masih mending jika di bandingkan dengan nasib Mukhlas. Mukhlas adalah seoarang TKI yang bekerja di luar negeri. Dia berpisah dengan anak istri yang ada di tanah air. Saat hari raya seperti ini, dia belum tentu bisa pulang. Hal ini lantaran ikatan pekerjaan yang belum bisa ditinggalkan. Di samping itu, jika pulang tiap tahun, maka akan menambah pengeluaran. Mukhlas harus bersabar untuk menunda kepulangannya pada lebaran tahun depan agar bisa membawa uang lebih. Mungkin masih banyak cerita lain tentang mereka yang harus sabar untuk menunda keinginan mudiknya. Walaupun agak tertunda momen mudik pada hari raya adalah kebutuhan yang tak bisa digantikan dengan telpon, sms, apalagi dengan mengirim kartu lebaran kepada sanak famili di kampung.
Arus Mudik Tahun Ini
Menteri Perhubungan Jusman Syafii Djamal menyatakan jumlah pemudik Hari raya Idhul Fitri 2008 diperkirakan mencapai sekitar 15,8 juta jiwa. "Dari perkiraan jumlah pemudik tersebut yang menggunakan angkutan darat sekitar 9.888.000 jiwa, terdiri dari angkutan jalan 6.922.000 jiwa, angkutan sungai danau dan penyeberangan 2.966.000 jiwa. Rata-rata tumbuh sekitar 5,2 persen dari tahun lalu," kata Menhub di Semarang, Jumat (29/8). Kemudian yang menggunakan angkutan kereta api (KA) sekitar 2.377.000 jiwa atau naik 5,38 persen dari tahun lalu. Pemudik yang memanfaatkan angkutan laut sekitar 1.018.000 jiwa, angkutan udara 1.885.000 jiwa atau naik 9,32 persen dari tahun lalu. "Penumpang angkutan laut diperkirakan naik paling tinggi sekitar 10 persen yang tahun lalu hanya mencapai 926.000 jiwa. Kondisi ini diperkirakan berlangsung pada H-7 hingga H+7 Hari raya Idhul Fitri 2008," katanya. Ia mengatakan, jumlah kendaraan motor tanpa sepeda motor diperkirakan meningkat 4,61 persen yakni 1.808.150 kendaraan tahun 2007 menjadi 1.891.523 kendaraan tahun 2008. Sejumlah kendaraan tersebut terdiri dari mobil pribadi sebanyak 1.284.488 kendaraan, bus besar 1999.451 kendaraan, bus sedang 43.994 kendaraan, nonbus 64.468 kendaraan, dan truk 263.000.Selain itu, katanya, sekitar 2.506.572 sepeda motor diperkirakan akan hilir mudik selama Hari raya Idhul Fitri. Kesiapan sarana, katanya, untuk angkutan jalan sebanyak 34.395 bus, dengan kapasitas 16,5 juta orang, angkutan sungai danau dan penyeberangan 127 kapal dengan kapasitas 11,4 juta orang, 223 KA dengan kapasitas 3,25 juta orang, angutan laut 593 kapal kapasitas 3,3 juta orang, dan angkutan udara 183 pesawat kapasitas 2,11 juta orang."Jumlah sarana yang ada melebihi permintaan. Sarana dan kebutuhan cukup memadai untuk mengangkut 15,79 juta jiwa arus mudik," katanya. (KOMPAS, 30/8/2008)
Mengapa Harus Mudik?
Mudik, sebuah istilah yang akan sangat hangat menjadi pembicaraan pada bulan ramadhan terutama menjelang Idhul Fitri tiba. Puluhan tahun istilah ini telah dikenal masyarakat luas di Indonesia dari berbagai kalangan. Menurut Krismanto (2007), mudik berasal dari kata udik, yang bisa diartikan pedalaman atau bisa juga pinggiran, namun dalam hal ini pedalaman dikonotasikan multidimensi. Secara harfiah berarti kembali dari sebuah titik pusat kehidupan masyarakat ke pedalaman atau pinggiran daerah mereka berasal, sedangkan secara simbolik mudik merupakan budaya masyarakat Indonesia yang berdimensi religius, dimensi demografi, ekonomi, dan lain lain.
Setiap tahun tepatnya di hari raya Idhul Fitri masyarakat yang sehari-harinya hiruk pikuk mencari penghidupan di kota akan mudik pulang kampung. Dari kota manapun mereka akan ramai-ramai pulang ke keluarganya masing-masing untuk merayakan hari raya Idhul Fitri bersama-sama. Namun karena kota Jakartalah yang terbesar dalam urusan mudik ini maka sorotan mudik akan terpusat di kota Jakarta. Mereka akan mudik menuju berbagai penjuru tanah air dari Sabang bahkan sampai Merauke.
Hiruk pikuk mudik manusia sebanyak itu tak ayal membuat pemerintah sibuk untuk mengurusinya terutama dalam hal transportasi. Berbagai macam transportasi baik darat, udara dan laut disiagakan. Bahkan untuk transportasi tertentu sudah sibuk sejak sebulan yang lalu atau awal Ramadhan. Tak heran jika tiket Kereta api dan pesawat sudah jadi barang langka dan mahal justru ketika Idhul Fitri semakin dekat. Kelangkaan dan mahal itulah yang membuat sebagian masyarakat rela menggunakan sepeda motor walaupun dengan jarak yang sangat jauh dan berisiko tinggi akan kecelakaan. Bahkan jumlahnyapun setiap tahun terus meningkat.
Memang untuk urusan mudik ini masyarakat akan rela melakukan apa saja demi tercapainya tujuan mereka ber-Hari raya Idhul Fitri bersama keluarga di kampung. Mereka rela antri tiket berjam-jam bahkan bisa seharian. Tiket semahal apapun akan mereka beli bahkan melalui calo tiket sekalipun. Bahkan tiket tanpa tempat duduk pun merek tetap beli asalkan terangkut. Bermudik dengan sepeda motor juga banyak mereka tempuh, padahal dengan sepeda motor itu mereka akan kepanasan, kehujanan, bahkan menjadi armada yang paling rawan kecelakaan di jalan raya.
Hikmah Mudik
Memang inilah uniknya budaya mudik, tak dapat diingkari banyak hikmah yang bisa diambil dari budaya ini. Hikmah secara religi jelas bahwa mudik merupakan sebuah silaturahmi masal dari umat Islam yang sehari-hari hidup di kota kepada keluarga dan familinya di desa. Keyakinan bahwa silaturahmi merupakan perbuatan amaliyah yang berpahala besar, membuka pintu rezeki dan menambah usia harapan hidup bertambah seakan-akan membakar tekad dan semangat umat untuk ramai-ramai mudik di Idhul Fitri. Sebenarnya mudik juga banyak dilakukan pada waktu-waktu tertentu, namun Idhul Fitri lah momen yang paling sakral. Hikmah lainnya adalah secara kebangsaan, mudik jelas akan semakin memperkuat tali persaudaraan dan persatuan bangsa. Akan nampak jelas ikatan kekeluargaan yang kuat dan kental masyarakat yang tinggal di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di momen mudik Idhul Fitri itu. Belum lagi mereka yang mudik antar kota lain di seluruh wilayah tanah air selain Jakarta. Mereka yang menyebar dari berbagai penjuru kota akan saling bertemu di kampung dan berbagi cerita dan kisah hidup.
Hikmah secara sosial ekonomi, mudik merupakan sebuah gambaran kepulangan masal dari masyarakat daerah yang telah bertekad melakukan sebuah mobilitas sosial di kota. Secara umum mobilitas sosial dapat digambarkan sebagai sebuah proses perpindahan atau kesempatan untuk berpindah pada kelompok-kelompok sosial yang berada di masyarakat, terutama sekali proses perpindahan dari kelompok masyarakat yang kurang beruntung menjadi masyarakat yang lebih beruntung secara sosial ekonomi. Kota adalah menjadi tempat tujuan mereka untuk bermobilitas sosial tersebut, walaupun pada kenyataannya mereka belum tentu berhasil melakukannya. Berhasil dalam arti pindah dari kurang beruntung menjadi beruntung secara ekonomi. Dari proses tersebut tentu banyak materi, cerita dan pengalaman yang mereka bagikan kepada sanak saudara ketika mudik. Alhasil hikmah ini membawa dampak baik positif maupun negatif.
Positifnya adalah mereka yang berhasil melakukan proses mobilitas dari kurang beruntung menjadi beruntung secara ekonomi yang kemudian dikenal dengan istilah ”orang sukses” akan membawa keberhasilannya secara materi itu ke desanya. Milayaran bahkan trilyunan rupiah akan masyarakat bawa ketika bermudik. Mereka akan belanjakan rupiah mereka baik di sepanjang perjalanan maupun di desanya. Dampak ini sungguh luar biasa. Pemerataan ekonomi yang tidak usah repot-repot direncanakan pemerintah, tapi sudah pasti terjadi setiap tahunnya. Dari hal yang paling sepele seperti membeli makan di jalan-jalan ketika macet, warung makan di sepanjang perjalanan, memberi angpao kepada sanak famili, belanja keperluan Hari raya Idhul Fitri di desa, servis motor dan mobil di bengkel-bengkel daerahnya, bahkan bisa jadi sampai membangun atau renovasi rumah di desa. Tapi dengan adanya mudik nilai kebermaknaan Idhul Fitri akan menjadi semakin mengena dan mendalam baik untuk diri pribadi setiap muslim, keluarganya, masyarakat desanya bahkan sampai pada negara ini. Wallahua’lam