Pengikut

Rabu, 24 Juni 2009

Memilih Presiden

Oleh:
Mishad Khairi

Pagi itu masih kelihatan gelap. Tapi saya sudah berada di kendaraan karena saya harus pergi ke luar kota. Kebetulan saya duduk di dekat sopir. Walaupun hanya sebentar, saya sempat berbicara dengan sopir tersebut. ” Pak, saat pilihan presiden nanti milih siapa?” tanya saya kepada dia. ”Mas, saya kemungkinan nggak nyontreng ....” sahut sopir itu. ”Lebih baik kerja saja mas, rugi kalau libur soalnya presidennya siapa pun saya ya ..... tetap nyopir mas..” timpal dia lagi. Sambil terus menyetir mobilnya, dia tampak pesimis jika pemilu presiden yang akan memilih pemimpin negara akan membantu mengubah nasibnya.
Terbersit di benak saya, pendapat dari pak sopir sekilas sepertinya ”benar”. Tapi jawaban itu terkesan terlalu menyederhanakan masalah. Anggapan bahwa siapapun presidennya, maka nasib kita akan tetap sama saya rasa belum tepat. Bagaimanapun sebuah komunitas sangat dipengaruhi oleh pemimpinnya, apalagi sebuah negara. Saya yakin walaupun ”bukan yang terbaik”, maka di antara 3 kandidat capres pasti ada yang lebih baik. Ada kaidah ushul ”Maala yudroku kulluh la yutroku kulluh” (Kalau tidak bisa diambil semuanya, maka jangan tinggalkan semuanya). Sepertinya kita harus memilih siapa yang lebih ”baik” di antara para capres-cwapres tersebut.


Kriteria Pilihan khalayak umum
Kecenderungan mayoritas pemilih di Indonesia, menjatuhkan pilihannya dalam pemilu (pileg atau pilpres) adalah karena interest atau kepentingan dan kriterianya masing-masing. Seperti karena kekerabatan, karena kesukuan, karena satu partai, karena satu ormas, karena menguntungkan posisinya baik di birokrasi (pemerintahan) atau BUMN, karena kefanatikan (sama-sama perempuan/sama-sama laki-laki, sama-sama militer), karena fisik (ganteng, cantik, tinggi besar, menarik dan lain-lain), karena intelektual dan kepangkatan (pintar, bergelar, jenderal), dan sebagainya.
Walaupun tidak tertulis, ada konvensi yang mengarahkan opini mayoritas masyarakat Indonesia, bahwa presiden Indonesia itu harus Islam, Jawa, dan militer (atau memiliki wapres milter). Secara proporsional konvensi di atas sangat rasional karena 80% penduduk Indonesia adalah muslim, 60% penduduk di Indonesia berada di Jawa, dan militer dianggap sebagai simbol keamanan negara. Walaupun isu kesukuan dianggap sudah tidak populer, tapi kenyataannya masih kuat pengaruhnya.
Menjelang pilpres latar belakang ormas juga sering dibawa ke arena kampanye. Anehnya, jauh sebelum pilpres mereka seringkali tidak begitu peduli dengan identitas ormasnya. Iklan politik para capres/cawapres seringkali memanfaatkan ormas tertentu untuk mendulang suaranya. Para menteri dan petinggi BUMN tidak mau ketinggalan untuk berkampanye. Langsung atau tidak, ada indikasi para menteri dan Dirut/komisaris BUMN turut berpartisipasi dalam mengkampanyekan/mendanai capres tertentu. Dengan mendukung capres tertentu mereka berharap tetap langgeng bertengger di jabatannya dan tidak mau diganti kecuali jika naik pangkat.
Perang slogan juga tampak seru. Mega-Prabowo dengan slogan ekonomi kerakyatan tampak bersemangat membawa misi perubahan bagi bangsa ini. Mereka menganggap pemerintahan sekarang cenderung liberal. Sistem ekonomi negara sekarang ini dianggap neo-liberal (berpihak pada pemilik modal). Dengan semboyan pro rakyat dan mbelo wong cilik, Mega-Pro ingin memajukan sektor pertanian, perikanan, dan peternakan yang dianggapnya selama ini terpinggirkan. Dalam iklan dan kampanyenya, Prabowo menyampaikan keinginanya untuk mengembalikan Indonesia sebagai macan Asia.
Sementara SBY-Boediono dengan slogan ”Lanjutkan” ingin meneruskan kepemimpinannya (menyelesaikan program kerjanya yang belum tuntas) 5 tahun lagi. Boediono menolak dikatakan sebagai penganut paham ekonomi neo-liberal. Bahkan secara terbuka mereka mengkampanyekan misi ekonomi mereka dengan istilah ”ekonomi jalan tengah”. Klaim keberhasilan SBY selama menjadi presiden yang menonjol adalah menciptakan ”clean government”. Keberhasilan mereka dalam pemberantasan korupsi (bahkan besan SBY sampai sekarang juga ditahan oleh KPK) sering dijadikan senjata untuk kampanye. SBY juga dianggap sebagai sosok yang penuh kharisma dan tebar pesona sehingga mayoritas survey menyatakan jika beliau masih menduduki capres terpopuler.
Lain lagi dengan JK-Win. Dengan slogan lebih cepat lebih baik, mereka ingin menawarkan percepatan dalam pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Klaim Jusuf Kalla dalam memutuskan kebijakan pemerintah (terutama dalam bidang ekonomi dan perdamaian) diakui oleh beberapa pihak. Sehingga muncul gelar ”The Real President” yang disandangkan oleh mantan perdana Mentri Singapura Lee Kwan Yew dan Prof. Syafi’i Ma’arif untuk JK. Mandat yang luas dari Presiden SBY untuk JK rupanya juga dimanfaatkan untuk komoditas politik. Slogan pasangan nusantara agaknya juga cukup efektif untuk mereka. Sebab merekalah satu-satunya pasangan yang mengakomodasi etnik non Jawa–Jawa. Kedekatan dengan beberapa tokoh ulama’, kalangan habaib, dan istri yang berjilbab tampak menambah point tersendiri bagi JK yang akhir-akhir ini tampak menonjolkan ke-NU-annya itu.




Kriteria Pemimpin Menurut Islam
Sebagai seorang muslim, maka cara berpikir dan bertindak kita dalam menyikapi Pilpres 2009 juga harus berpedoman dengan kriteria Islam. Ada baiknya kita belajar dari sikap sahabat Abu Bakar ketika diangkat sebagai kholifah pertama, beliau berpidato,”wahai manusia, sesungguhnya aku telah diangkat menjadi pimpinan kalian, padahal aku bukan orang yang terbaik dari kalian. Jika kalian melihat aku berada diatas kebenaran, maka tolonglah aku. Dan jika kalian melihat aku berada di atas kebatilan, maka luruskan aku. Taatlah padaku selagi aku takut kepada Allah di tengah kalian, dan jika aku durhaka pada-Nya, maka tidak ada kewajiban bagi kalian untuk taat kepadaku.”
Ungkapan sahabat utama tersebut merupakan cerminan yang harus diutarakan tokoh Islam ketika didaulat menjadi pemimpin. Islam sangat berbeda dengan konsep yang dibawa oleh politik bangsa Barat. Kepemimpinan dalam Islam dihitung sebagai alat atau jalan, dan otomatis tidak menjadi tujuan. Kepemimpinan merupakan tanggungjawab sehingga sedapat mungkin dipikul sebagai amanah dan rasa takut.
Adapun Islam telah menyodorkan kriteria seseorang untuk menjadi pemimpin. Pertama, beragama Islam/muslim. Al Mawardi dan Al Ghozali menyebut sifat-sifat pemimpin hanya hanya ada pada orang Islam. Misalnya, bertaqwa dan mampu berijtihad karena mengetahui hukum-hukum Islam. Kedua, akhlakul karimah. Penegasan tentang akhlakul karimah ini sangat jelas. Sebelum Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi Rosul, beliau selalu legitimed dari aspek moral. Oleh karena itu, beliau diberi gelar Al Amin. Ketiga, kepabelitas (kemampuan leader dan manajerial) menjadi syarat seorang pemimpin, termasuk mampu mengendalikan kondisi yang terjadi.
Imam Abu Ya’la menjelaskan, “kalau ada dua kandidat yang dicalonkan, sedang potensi yang menonjol dari satu orang adalah kepandaian, dan dari satunya lagi adalah keberanian, maka dilihat kebutuhan hidup masyarakat saat itu. Bila yang dibutuhkan seorang pemimpin yang mampu mengembangkan wilayah-wilayah Islam untuk menumpas kedloliman atau karena umat sedang dalam ancaman musuh, seorang pemimpin pemberani lebih diutamakan. Adapun bila masyarakat berada dalam keterbelakangan, kebodohan, maka pemimpin yang berilmu lebih didahulukan”.
Keteladanan kepemimpinan Rasulullah Muhammad SAW hendaknya menjadi cermin pemimpin kita. Teladan kepemimpinan yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW hendaknya perlu ditiru. Rasulullah Muhammad SAW selalu pekah terhadap apa yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Perhatiannya kepada orang yang lemah, yatim piatu, orang yang sengsara, dan miskin adalah benar-benar perhatian seorang bapak yang penuh kasih, lembah lembut, dan mesra. Rasulullah juga dikenal adil dan bijaksana karena hak setiap orang masing-masing ditunaikan.
Sikap kasih dan sayang menjadi landasan dasar bagi awal perjuangan Nabi Muhammad SAW. Sikap ini terbukti efektif untuk membangun suatu pengaruh dan sebagai tangga pertama kepemimpinannya. Seperti yang dicontohkan oleh Muhammad Hussein Haekal tentang perilaku Rasulullah sehari-hari, yaitu bila ada orang yang mengajaknya berbicara, maka ia mendengar dengan hati-hati sekali, tanpa menoleh kepada orang lain. Tidak hanya mendengarkan kepada yang mengajaknya berbicara, bahkan ia memutarkan seluruh tubuhnya. Bicaranya sedikit sekali, lebih banyak mendengarkan. Bila berbicara selalu bersungguh-sungguh, tetapi sungguh pun begitu, ia pun tidak melupakan ikut membuat humor dan bersenda gurau, dan yang dikatakannya selalu yang sebenarnya. Kadang ia tertawa sampai kelihatan gerahamnya—semua itu terbawa oleh kodratnya yang selalu lapang dada dan menghargai orang lain. Bijaksana, murah hati dan mudah bergaul.
Berbeda dengan teknik yang dikembangkan oleh teori-teori kepemimpinan sekarang yang lebih menekankan pada teknik luar “outer beatuy”. Seperti senyum, mengingat nama, mau mendengar, atau fokus pada minat orang lain. Nabi Muhammad SAW lebih dari sekedar “kulit tersebut”. Menurut Ary Ginanjar, penulis Emotional Spiritual Quotient Sang Nabi akhiruzzaman--Muhammad SAW itu lebih memilih “inner beauty”—kecantikan dalam, yang begitu memukau dan tanpa cacat, yaitu perilaku beliau yang ber-akhlakul karimah.
Haekal memberikan cerita tentang keadilan dan kebijaksanaan Nabi Muhammad SAW. Saat itu, hampir terjadi perang saudara di Quraisy, ketika dua kelompok berselisih tentang siapa yang mendapat kehormatan untuk meletakkan batu “Hajar Aswad” di tempatnya. Tatkala mereka melihat Nabi Muhammad adalah orang pertama yang memasuki tempat itu, mereka berseru: “Ini Al Amin:kami dapat menerima keputusannya”. Nabi Muhammad SAW diminta untuk membuat sebuah keputusan. Ia berpikir sebentar, lalu katanya: “Kemarikan sehelai kain”. Setelah kain dibawakan, dihamparkannya dan diambilnya batu itu, lalu diletakkannya dengan tangannya sendiri, kemudian katanya: “Hendaknya setiap ketua kabilah memegang ujung kain ini”. Mereka yang berselisih bersama-sama membawa kain tersebut ke tempat batu yang akan diletakkan itu. Lalu Nabi Muhammad mengeluarkan batu itu dan meletakkannya di tempatnya. Karena mereka sama-sama mendapat kehormatan untuk meletakkan “Hajar Aswad”, maka perselisihan mereka pun berakhir dan bencana dapat dihindarkan.
Ini adalah sebuah contoh, sifat seorang pemimpin yang adil dan bijaksana. Pengikutnya akan merasa senang untuk berada di dekatnya dan mereka akan mengikuti karena mereka merasakan perhatian, kasih sayang dan kejujuran Rasulullah. Nabi Muhammad SAW mampu menunjukkan kepedulian sosial dengan ketulusan hatinya. Dia mampu memupuk hubungan yang baik dengan para sahabat dan lingkungan sosialnya. Tentu akan baik sekali, jika para pemimpin atau para tokoh kita sekarang ini membuka sejarah lagi, tentang bagaimana pola kepemimpinan Rasulullah Muhammad SAW.
Mudah-mudahan Presiden kita yang terpilih pada pemilu presiden 2009, 8 Juli 2009 mendatang adalah orang yang sanggup memikul amanah sebagaimana Abu Bakar yang memikulkan makanan untuk penduduknya yang kelaparan. Semoga pemimpin yang terpilih nanti adalah seorang pemimpin muslim yang mu’min, jujur, bijaksana, dan peduli terhadap sesama sehingga mampu mengantarkan bangsa ini menjadi “Baldatun Thoyyibatun Warabbun Ghofur”. Semoga negara ini menjadi bangsa yang religious, aman, tentram, dan jauh dari bencana yang kini seringkali menimpa bangsa kita, Amiin. Wallohua’lam