Pengikut

Jumat, 31 Oktober 2008

Seputar Pendidikan

Homeschooling: Sebuah Alternatif pendidikan
Oleh:
Mishad*

Selama ini, tradisi atau pola pendidikan gaya bank (Banking System Education) menjadi patokan dan rujukan dalam proses pendidikan yang kita jalankan. Peserta didik menjadi robot-robot atau mesin-mesin hasil ciptaan bagi kepentingan industrialisasi dan ujung-ujungnya kepentingan pasar dan kapitalisme global. Pendidikan bukannya menjadi pembentuk kesadaran kritis bagi peserta didik, justru malah menjadi proses dan praktek dehumanisasi yang hampir menggerus dan mencabik-cabik nilai-nilai universal kemanusiaan. Pendidikan kita adalah pendidikan yang berkiblat pada pola developmentalisme ekonomi – pembangunanisme dalam istilah Orde Baru – yang berakibat sangat fatal dan ekses negatifnya kita rasakan sekarang ini. Bangsa kita menjadi bangsa yang bermental hipokrit, berkesadaran yang semu dan bersifat imitatif.
Konteks global sangat kita perlukan guna memperoleh bangunan paradigmatik yang kuat dan mantap bagi sistem pendidikan kita. Oleh karena itu pendidikan harus mampu mencetak sumber daya manusia yang transformatif dan terjamah segi afektif, kognitif dan psikomotoriknya sebagai bekal dalam menghadapi tantangan global yang mengemuka. Pendidikan yang memberikan bekal untuk memahami kehidupan dan bukan hanya pendidikan yang berorientasi bagi pemenuhan bekal “penghidupan” an sich. Tetapi pendidikan harus jauh berorientasi untuk menghasilkan sumber daya manusia yang secara kualitatif mampu melakukan transformasi secara aktif dan progessif dalam beragam level dan tingkatan masyarakat secara konsisten dan komprehensif. Sebuah proses pendidikan yang emansipatoris atau membebaskan akan menjadi kenyataan dan bukan angan-angan tak berujung. Akhir-akhir ini kita sering saksikan mulai banyak bermunculan sekolah-sekolah dengan alternatif pendekatan dan metodologi pengajaran “link & match yang cenderung praktis dan katanya lebih efektif mengelaborasi esensi pendidikan dengan aplikasi skill peserta didik. Program pendidikan tersebut sering kita kenal dengan istilah home schooling. Benarkah Homeschooling adalah salah satu alternatif pendidikan yang menuju ke arah tersebut?

Mengenal Homeschooling
Homeschooling merupakan pendidikan berbasis rumah, yang memungkinkan anak berkembang sesuai dengan potensi diri mereka masing-masing (Daryono, 2008). Sistem ini sendiri terlebih dahulu berkembang di Amerika Serikat dan beberapa negara lainnya di dunia. Baru kemudian mulai menjadi tren di Indonesia tahun-tahun belakangan ini. Sebenarnya jika kita flashback ke belakang sistem pembelajaran Homeschooling telah ada bahkan sejak sebelum jaman penjajahan dulu, beberapa tokoh penting kita seperti Ki Hajar Dewantara, Buya Hamka dan KH Agus Salim telah lebih dulu mengenyam sistem pengajaran Homeschooling ini. Pendidikan alternatif dengan model sekolah rumah (Homeschooling) tidak hanya menumbuhkan keinginan belajar secara fleksibel pada anak, namun juga mampu menumbuhkan karakter moral pada anak. Pasalnya, dengan menyerahkan proses belajar sebagai hak anak untuk mendapatkan pendidikan, akan mendorong anak untuk belajar berdisiplin dan bertanggung jawab, terhadap segala kegiatan belajar yang telah dilakukannya (Mulyadi, 2008).
Homeschooling telah tedapat kurang lebih 6 juta di berbagai Negara, termasuk Indonesia. Homeschooling lebih mengacu pada kompetensi praktis hubungan antara ketertarikan dan hobby individual. Serta fleksibilitas dari metode belajar mengajar tidak terbelenggu oleh dimensi ruang dan waktu secara formal dan menjamin tingkat kompetensi terealisir dengan baik. Dalam Homeschooling guru hanya sebagai pembimbing dan mengarahkan minat siswa dalam mata pelajaran yang disukai, dalam hal ini siswalah yang menjadi subyek kurikulum bukan menjadi obyek. Jam belajar lebih lentur karena mulai dari bangun tidur sampai berangkat tidur kembali. Dalam hal ijasah dan nilai masih menjadi domainnya pemerintah. Tetapi realitasnya Homeschooling menjadi pilihan alternatif ketika masyarakat mulai menyadari bahwa pola pendidikan formal di Indonesia belum menyentuh substansi kebutuhan riel tantangan dalam era globalisasi yang harus menyiapkan kompetensi yang relevan dan obyektif terhadap kebutuhan skiil dalam beraktivitas (bekerja atau berwirausaha). Homeschooling menggunakan standar kompetensi internasional.
Sering kita tahu bahwa seringnya pergantian kurikulum tanpa memperhatikan visi baik content maupun format penerapan di lapangan. Akibatnya guru kesulitan menginterpretasikan dan mengimplementasikan program kurikulum yang di buat oleh pemerintah, akhirnya siswalah yang menjadi terbelenggu untuk menerima konsep dan program pendidikan tersebut. Gabungan beberapa Homeschooling majemuk bisa menyusun dan menentukan silabus, bahan ajar, kegiatan pokok dan jadwal pelajaran. Masyarakat harus selektif dalam memilih program Homeschooling tidak semata-mata karena faktor status sosial saja melainkan karena memahami konstalasi dan dinamika dunia pendidikan di era globalisasi yang menuntut segi otentitas dan kultur lingkungan yang berkaitan dengan skill dan kompetensi serta bersifat individualistik.
Keberadaan Homeschooling di Indonesia saat ini semakin marak. Banyak orangtua berpendapat Homeschooling berhasil memenuhi kebutuhan-kebutuhan pendidikan yang direncanakan bagi anak-anaknya. Proses pendidikan Homeschooling ini, tidak sama dengan pendidikan formal di sekolah, tapi tetap mengacu kepada kurikulum yang ditetapkan pemerintah. Penerapannya sesuai dengan kemampuan dan daya serap siswa serta tidak ada pemaksaan terhadap pelajaran yang diberikan. Saat ini model pendidikan adalah sistem sekolah yang digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan. Namun ruang lingkup pendidikan yang sebenarnya itu jauh lebih luas daripada sistem sekolah. Proses pendidikan anak terjadi tidak hanya di ruang sekolah, tapi juga keluarga, pergaulan, lingkungan dan sebagainya. Jadi sekolah bukan satu-satunya cara bagi anak untuk memperoleh pendidikannya. Homeschooling termasuk model pendidikan yang digunakan sebagai alternatif institusi sekolah yang menempatkan anak sebagai subyek dengan pendekatan pendidikan di rumah dan berada di bawah naungan Direktorat Pendidikan Kesetaraan, Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah Depdiknas RI. Bagi peserta didik Homeschooling bisa memiliki sertifikat ijazah dengan mengikuti Ujian Nasional Pendidikan Kesetaraan (UNPK) paket A (kesetaraan SD), paket B (SMP) dan paket C (SMA) sesuai dengan tingkat kemampuan pendidikannya. Meskipun perkembangan Homeschooling ini begitu pesat di kota-kota besar, seperti Jakarta, Surabaya dan Medan, namun diakuinya tidak sedikit orangtua bahkan guru yang belum cukup mengetahui tentang model program pendidikan pada Homeschooling ini.
Tinjauan Hukum Homeschooling
Homeschooling sebenarnya sudah mempunyai payung hukum. Menurut, Harun Al Rosyid Kepala Balai Pengembangan Pendidikan Luar Sekolah dan Non Formal (BPPLSP) mengatakan sekolah rumah atau Homeschooling ini telah memiliki payung hukum UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Anak peserta Homeschooling dapat mengikuti ujian nasional berbarengan dengan siswa sekolah formal melalui sekolah mitra yang ditunjuk Dinas Pendidikan.. selain itu, di Indonesia, pendidikan dalam keluarga merupakan kegiatan pendidikan jalur informal, kutipan UU no 20/2003 Sisdiknas). Pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Negara tidak mengatur pada proses pembelajarannya, tetapi hasil pendidikan dari informal diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan. Kemudian (kutipan pasal 90 SNP), peserta didik pendidikan informal dapat memperoleh sertifikat kompetensi yang setara dengan sertifikat kompetensi dari pendidikan formal setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau oleh lembaga sertifikat mandiri / profesi sesuai ketentuan berlaku dan peserta didik pendidikan informal dapat memperoleh ijasah yang setara dengan Ijasah dari pendidikan dasar dan menengah jalur formal setelah lulus uji kompetensi dan ujian nasional yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang teraktreditasi sesuai ketentuan yang berlaku. Dari penjelasan ini maka dapat diketahui bahwa sebenarnya Homeschooling memiliki payung hukum yang jelas dalam melaksanakan metode pembelajaran yang mereka lakukan sehingga masyarakat tidak perlu merasa terlalu takut untuk menyekolahkan anaknya di dalam Homeschooling.
Sebuah Alternatif Pendidikan Menurut Huzaifah Hamid (2008) beberapa keunggulan Homeschooling sebagai pendidikan alternatif, yaitu karena sistem ini menyediakan pendidikan moral atau keagamaan, lingkungan sosial dan suasana belajar yang lebih baik, menyediakan waktu belajar yang lebih fleksibel. Juga memberikan kehangatan dan proteksi dalam pembelajaran terutama bagi anak yang sakit atau cacat, menghindari penyakit sosial yang dianggap orang tua dapat terjadi di sekolah seperti tawuran, kenakalan remaja, narkoba dan pelecehan. Selain itu sistem ini juga memberikan keterampilan khusus yang menuntut pembelajaran dalam waktu yang lama seperti pertanian, seni, olahraga, dan sejenisnya, memberikan pembelajaran langsung yang kontekstual, tematik, dan nonscholastik yang tidak tersekat-sekat oleh batasan ilmu. Ada keunggulan, pasti ada juga kekurangannya, begitu juga dengan Homeschooling, beberapa kekurangan harus siap dihadapi oleh orang tua yang memilih Homeschooling sebagai alternatif pendidikan, diantaranya tidak ada kompetisi atau bersaing. Sehingga anak tidak bisa membandingkan sampai dimana kemampuannya dibanding anak-anak lain seusia dia.. Selain itu anak belum tentu merasa cocok jika diajar oleh orang tua sendiri, apalagi jika memang mereka tidak punya pengalaman mengajar sebelumnya Kekurangan lain yang tidak bisa kita pungkiri adalah kurangnya interaksi dengan teman sebaya dari berbagai status sosial yang dapat memberikan pengalaman berharga untuk belajar hidup di masyarakat. Kemungkinan lainnya anak bisa terisolasi dari lingkungan sosial yang kurang menyenangkan sehingga akan kurang siap nantinya menghadapi berbagai kesalahan atau ketidakpastian. Faktor tingginya biaya Homeschooling juga menjadi salah satu kekurangan, karena dipastikan biaya yang dikeluarkan untuk memberikan pendidikan Homeschooling lebih besar dibanding jika kita mengikuti pendidikan formil di sekolah umum. Untuk menelaah lebih jauh tentang bagaimana pendidikan Homeschooling ini bisa lebih progresif berkembang di Indonesia, tentu tidak terlepas dari paradigma berfikir masyarakat yang mulai cenderung kritis dan selektif dan tentu saja evaluatif terhadap hasil yang sudah dicapai oleh pendidikan formal yang dikemas dan didesain oleh pemerintah. Secara empiris barangkali salah satu faktor yang mempengaruhi mengapa terjadi pergeseran dinamika pemikiran masyarakat terhadap pola pendidikan di Indonesia adalah salah satunya dikarenakan para orang tua murid sudah begitu menyadari bahwa sudah lama pendidikan kita di â?ohantui â?ooleh tingginya kekerasan sosiologis yang selama ini terjadi dalam interaksi dunia pendidikan kita. Kasus tawuran, seks bebas dan narkoba dikalangan pelajar dengan jumlah korban jiwa yang tidak sedikit adalah salah satu faktor yang menyebabkan para orang tua terbangun landasan berfikirnya untuk melakukan terobosan mencari pendidikan alternatif yang relatif aman buat anak-anaknya dan rezim diktatorianisme pendidik terhadap peserta didik yang selama ini menjadi budaya dalam pola pendidikan kita juga telah membuka mata sebagian masyarakat terutama para orang tua murid untuk lebih mempertimbangkan putra-putrinya untuk sekolah di pendidikan formal. Realitas lain yang perlu dicermati mengapa pendidikan Homeschooling ini menjadi pilihan alternatif masyarakat adalah ketika masyarakat mulai menyadari bahwa sebenarnya pola pendidikan formal di Indonesia belum menyentuh substansi kebutuhan riel tantangan dalam era globalisasi yang harus di respon secara kualitatif oleh peserta didik dengan menyiapkan kompetensi yang relevan dan obyektif terhadap kebutuhan skill mereka ketika mereka beraktivitas (bekerja atau berwirausaha). Dan salah satu aspek yang diangkat oleh program pendidikan Homeschooling ini adalah standard kompetensi internasional tersebut. Maka terjawab sudah bagaimana seharusnya stakeholders (pihak yang terlibat dan berkepentingan dalam dunia pendikan) termasuk dalam konteks ini juga pihak perusahaan dan instansi yang menampung dan mengakomodir kebutuhan tenaga kerja para lulusan untuk concern menyikapi maraknya pendidikan alternatif semisal Homeschooling ini dalam perspektif yang lebih otonom dan komprehensif, termasuk didalamnya memberikan solusi tentang otoritas standard kelulusan dan formalisasi pendidikan yang di atur secara baku dan menjadi domain pemerintah. Tinggal persoalannya adalah sejauhmana masyarakat lebih selektif memilih pendidikan Homeschooling ini, tidak semata-mata karena faktor status sosial karena memang biaya program pendidikan ini tidak sedikit (atau sekedar trend) saja. Melainkan karena memang masyarakat kita sudah memahami bagaimana konstalasi dan dinamika dunia pendidikan di era globalisasi ini yang menuntut segi otentitas dan kultur lingkungan mondial berkaitan dengan skill dan kompetensi. Kredibilitas program pendidikan Homeschooling ini bukan hanya diukur dari tingkat fleksibilitas dan kesan informalistik dengan nuansa yang lebih persuasif dan menyenangkan saja, dimensi belajar mengajar yang tidak terbelenggu oleh ruang dan waktu dengan model on the job method maupun off the job method, garansi dan konsepsi link & match dengan dunia usaha dan industri dan sebagainya. Namun tingkat kredibilitas program pendidikan Homeschooling ini juga di dasarkan atas legitimasi yang diberikan pemerintah. Apakah pemerintah mau lebih bersikap inklusif atau eksklusif dalam menyoal eksistensi program pendidikan Homeschooling ini yang nota bene bisa saja mengklaim dirinya setingkat dengan strata pendidikan yang sudah baku di Indonesia. Terlepas memang setiap program pendidikan yang diterapkan di Indonesia apapun itu bentuknya tidak menjamin semua aspek kognitif dan sosial peserta didik terakomodir dengan baik. Secara umum kelemahan dari Home Schooling yaitu sulitnya memperoleh dukungan atau tempat bertanya, kurangnya tempat sosialisasi dan orang tua harus trampil memfasilitasi proses pembelajaran serta evaluasi dan penyetaraannya. Adapun keunggulan dari Home Schooling yaitu memberikan kemandirian dan kreativitas bagi siswa serta tercapainya masyarakat belajar (learning society).
* Penulis Adalah Guru dan Tim Litbang di Madrasah Terpadu MAN 3 Malang, pernah menjadi konsultan pendampingan proyek peningkatan mutu SLTP (Matching Grand) Diknas Jatim tahun 2003