Pengikut

Selasa, 15 Juli 2008

ARTIKEL PENDIDIKAN

Belajar Soft Skill dari Laskar Pelangi

Oleh:
M i s h a d*
Abstrak/Resume:
Dalam novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata tergambar kecintaan dan rasa hormat pada para Guru. Bagi Andrea, guru-guru seperti Bu Mus dan Pak Harfan adalah pelita, dalam arti yang sesungguhnya. Namun, sekarang profesi guru kerap dinodai perilaku tidak terpuji dari oknum guru, yang tidak sepatutnya dilakukan oleh seorang pendidik. Di antara contohnya adalah tindakan kekerasan fisik atau penganiayaan yang dilakukan beberapa oknum guru terhadap siswanya di beberapa daerah belakangan ini. Kondisi demikian terjadi diakibatkan oleh tidak terjalinnya komunikasi yang baik serta tidak ada toleransi di antara siswa dan guru. Dalam hal ini guru seharusnya dituntut memiliki rasa empati yang besar sebagai soft skill-nya. Guru yang berhasil memperbaiki anak didiknya adalah guru yang telah menguasai dirinya sendiri. Dia mampu menunjukkan kesalahan siswa tanpa harus merendahkannya. Profile guru yang memiliki soft skill ini lah yang patut kita teladani dari novel berjudul Laskar Pelangi.



Seru! Begitulah kesan kita, kalau membaca novel yang berjudul Laskar Perlangi, karya novelis Andrea Hirata. Novel yang terbit pertama kali bulan September 2005 itu, kini sudah dicetak enam belas kali. Laskar Pelangi bersumber dari kisah nyata penulisnya, yaitu Andrea yang dibesarkan dalam tipikal keluarga kelas menengah ke bawah Indonesia di sebuah kampung miskin yang berbatasan dengan sebuah kerajaan besar Perusahaan Negara (PN) Timah dengan semua fasilitas yang mewah & mahal. Di tengah-tengah kemewahan PN Timah, terdapat sebuah sekolah yang kelas-kelasnya berdinding kayu, berlantai tanah, beratap bocor, dan kalau malam menjadi kandang hewan. Tanpa poster burung garuda, foto presiden dan wakil presiden. Amat sederhana bangunan sekolah itu. Tapi persoalan apapun menyangkut pendidikan tak pernah sederhana.
Novel ini tidak mengajak pembaca untuk menangisi kemiskinan. Sebaliknya, mengajak kita untuk memandang kemiskinan dengan cara lain. Tepatnya melihat sisi lain dari kondisi kekurangan yang mampu melahirkan kreativitas-kreativitas tak terduga. Keterbatasan-keterbatasan yang dialami nyatanya menumbuhkan anggota Laskar Pelangi menjadi karakter-karakter yang unik. Kenakalan-kenakalan kecil bercampur dengan kepolosan yang cerdas, menghadirkan satu adonan menakjubkan tentang bagaimana masa kecil dipersepsi dan dijalani oleh anak-anak yang luar biasa ini. Mereka menjadi luar biasa karena hidup dalam keterbatasan, luar biasa karena dibesarkan dengan idealisme pendidikan yang terasa naif di zaman sekarang, sekaligus luar biasa karena garis nasib menuntun mereka menjadi sosok-sosok yang tidak pernah terduga oleh siapapun.
Dalam Laskar Pelangi tergambar pula kecintaan dan rasa hormat pada para Guru. Bagi Andrea, guru-guru seperti Bu Mus dan Pak Harfan adalah pelita, dalam arti yang sesungguhnya. Karya ini mengajak para pembaca untuk berterimakasih pada sang Guru dan merenungkan jasa-jasa mereka tanpa upacara atau nasihat-nasihat klise. Novel ini berpotensi menjadi satu diantara sedikit karya yang bakal membuat kita tergugah untuk menjenguk kembali sisa-sisa kenangan masa kecil yang mungkin masih kita miliki, serta menghormati sekolah dasar kita, guru-guru kita, lingkungan kecil kita, teman-teman bandel yang kerap menggoda dan dulu begitu menjengkelkan.
Sebagai seorang guru saya tertarik ketika Andrea bercerita tentang sosok gurunya yang bernama Pak Harfan. Dalam novelnya Andrea menulis tentang cara mengajar Pak Harfan “………. Ketika mengajukan pertanyaan beliau berlari-lari kecil mendekati kami, menatap kami penuh arti dengan pandangan matanya yang teduh seolah kami adalah anak-anak Melayu yang paling berharga. Lalu membisikkan sesuatu di telinga kami, menyitir dengan lancar ayat-ayat suci, menantang pengetahuan kami, berpantun, membelai hati kami dengan wawasan ilmu, lalu diam, diam berpikir seperti kekasih merindu, indah sekali. Beliau menorehkan benang merah kebenaran hidup yang sederhana melalui kata-katanya yang ringan namun bertenaga seumpama titik air hujan. Beliau mengobarkan semangat kami untuk belajar dan membuat kami tercengang dengan petuahnya tentang keberanian pantang menyerah melawan kesulitan apa pun ……… “
Petikan beberapa kalimat yang ditorehkan oleh Andrea untuk menggambarkan sosok gurunya di atas begitu mempesona. Alangkah bahagianya jika kita sebagai seorang guru bisa mencerminkan sosok guru yang ditulis Andrea. Yaitu sosok guru yang berwibawa, berwawasan ilmu luas, dan menyenangkan dalam mendidik siswanya. Pendekatan dalam mendidik siswa yang dilakukan oleh pak Harfan yang diceritakan dalam novel ini lah yang sekarang ini dikenal dengan istilah pendekatan soft skill. Yaitu mendidik siswa dengan pendekatan yang mengembangkan sikap toleran, simpati, empati, emosi, etika dan unsur psikologis lainnya.
Menerapkan Pendekatan Soft Skill
Keberadaan pendidikan sangat penting dan tidak bisa dipisahkan dari keseluruhan proses kehidupan manusia. Kebutuhan terhadap pendidikan bersifat mutlak baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, maupun masyarakat dan bangsa, terutama dalam proses penyampaian kebudayaan dari satu generasi kepada generasi berikutnya. Dalam proses pendewasaan manusia, selalu akan terbentuk suatu sistem perilaku yang juga ikut ditentukan oleh watak pribadinya, yaitu bagaimana ia akan memberi reaksi terhadap suatu pengalaman (Kemalia Shabarini:2007).
Sistem perilaku inilah yang akan menentukan dan membentuk sikapnya terhadap sesuatu. Tepat seperti kalimat bijak, “jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki; jika dibesarkan dengan penghinaan, ia belajar menyesali diri; jika anak dibesarkan oleh toleransi, ia belajar percaya diri; jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai; jika anak dibesarkan dengan sebaik-baik perlakuan, ia belajar keadilan, dan jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam hidupnya”.
Di tengah-tengah upaya membangun profesionalisme guru, profesi guru kerap dinodai perilaku tidak terpuji dari oknum guru yang tidak sepatutnya dilakukan oleh seorang pendidik. Di antara contohnya adalah tindakan kekerasan fisik atau penganiayaan yang dilakukan seorang oknum guru terhadap siswanya di beberapa daerah belakangan ini. Kemudian tindakan pencabulan yang juga pernah dilakukan oknum guru terhadap siswa yang berkelakuan khusus (hiperaktif dan autis) di Jakarta. Bahkan baru-baru ini di Bogor seorang oknum guru SMP menusuk muridnya dengan sebilah pisau hingga akhirnya tewas pada saat class meeting.
Menurut Indra Yusuf (2007), kondisi demikian terjadi di antaranya diakibatkan oleh tidak terjalinnya komunikasi yang baik serta tidak ada toleransi di antara siswa dan guru. Bagaimanapun, guru dan siswa adalah bagian dari suatu sistem dalam pendidikan yang tingkat interaksinya dalam mencapai suatu tujuan tertentu sangat tinggi, sehingga perlu dijalin komunikasi yang positif di antara keduanya. Dalam menjalin komunikasi positif itu seorang guru perlu memiliki soft skill yang dapat menghindarkannya dari kemungkinan terjadinya miscommunication atau misunderstanding sebagai pangkal semua persoalan.
Mengembangkan Soft Skill
Guru sebagai salah satu komponen dalam sistem pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan siswa, memiliki peranan penting dalam menentukan arah dan tujuan dari suatu proses pembelajaran. Kemampuan yang dikembangkan tidak hanya ranah kognitif dan psikomotorik semata yang ditandai dengan penguasaan materi pelajaran dan ketrampilan, melainkan juga ranah kepribadian siswa. Pada ranah ini siswa harus menumbuhkan rasa percaya diri sehingga menjadi manusia yang mampu mengenal dirinya sendiri yakni manusia yang berkepribadian yang mantap dan mandiri. Manusia utuh yang memiliki kemantapan emosional dan intelektual, yang mengenal dirinya, yang mengendalikan dirinya dengan konsisten dan memiliki rasa empati (tepo seliro). Menurut Howard Gardner dalam bukunya yang bejudul Multiple Inteligences (1993), bahwa ada 2 kecerdasan yang berkaitan dengan kemampuan mengembangkan kepribadian yaitu :
Kecerdasan Interpersonal (interpersonal Intelligence) adalah kemampuan untuk mengerti dan menjadi peka terhadap perasaan, intensi, motivasi, watak, dan temperamen orang lain. Kepekaan akan ekspresi wajah, suara dan gerak tubuh orang lain (isyarat), dan kemampuan untuk menjali relasi dan komunikasi dengan berbagai orang lain.
Kecerdasan Intrapersonal (intrapersonal intelligence) adalah kemampuan memahami diri dan bertindak adaptif berdasarkan pengetahuan tentang diri. Kemampuan berefleksi dan keseimbangan diri, kesadaran diri tinggi, inisiatif dan berani.
Mengingat pentingya soft skill dalam upaya membentuk karakter siswa, maka strategi pembelajaran yang bisa dikembangkan adalah dengan mengoptimalkan interaksi antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa, guru dengan siswa dan lingkungan, serta interaksi banyak arah. Disamping itu perlu juga kreativitas guru untuk mampu memancing siswa untuk terlibat secara aktif, baik fisik, mental, sosial dan emosional. Dengan demikian bila hal itu sudah terbiasa dilakukan oleh siswa maka akan terbawa nantinya bila mereka terjun di dunia kerja dan di masyarkat.


Manfaat Pendekatan Soft Skill
Kecakapan soft skill ini tentunya juga bisa bermanfaat untuk guru antara lain, pertama, membantu guru membuat keputusan dengan lebih baik. Kedua, meningkatkan kemampuan guru menyelesaikan masalah yang dihadapi. Ketiga, terjadinya internalisasi dan operasionalisasi faktor-faktor motivasional, timbulnya dorongan dalam diri guru untuk terus meningkatkan kemampuan kerja. Keempat, peningkatan kemampuan guru untuk mengatasi stress, frustrasi, dan konflik yang pada gilirannya memperbesar rasa percaya diri. Kelima, lahirnya kepekaan guru dalam merasa dan menyelesaikan permasalahan siswa.
Globalisasi, modernisasi, bahkan westernisasi telah merasuki gaya hidup semua orang, termasuk guru dan siswa. Dulu tampak besar sekali rasa hormat seorang siswa terhadap gurunya. Akan tetapi sekarang, kondisi tersebut sudah sedikit bergeser -- kalau tak bisa dikatakan menurun. Keadaan demikian juga dipicu oleh gagalnya pendidikan budi pekerti yang ditanamkan kepada siswa dan memang tidak diajarkan secara mandiri. Sementara proses pembelajaran yang berlangsung mengondisikan hubungan antara siswa dan guru lebih dekat pada posisi yang sejajar sebagai mitra. Kini, siswa tidak lagi merasa segan terhadap gurunya.
Terlepas dari terjadinya pergeseran itu, yang terpenting saat ini adalah bagaimana membangun komunikasi yang positif antara siswa dan guru. Dengan komunikasi yang terjalin dengan baik, tujuan pendidikan dan pengajaran diharapkan tercapai tanpa warna insiden yang merugikan kedua belah pihak. Sulit? Bisa jadi, karena guru dan siswa punya latar berbeda. Baik dari segi usia, psikografis, maupun tujuannya berada di dalam kelas. Tak heran bila dalam interaksinya mereka rentan terhadap konflik. Dalam hal ini guru seharusnya dituntut memiliki rasa empati yang besar sebagai soft skill-nya.
Dengan empati yang besar, kesenjangan komunikasi dan toleransi bisa teratasi. Seorang pendidik dikatakan berempati bila ia dapat berpikir sejenak dan berusaha memahami pikiran, perasaan, reaksi, perkembangan, dan motivasi dari siswa. Proses berpikir yang dilakukan melibatkan dirinya secara utuh, dengan segala macam resiko perbedaan pendapat, rasa, bahkan kemungkinan konflik. Jadi, empati merupakan kegiatan berpikir individual mengenai rasa yang dia hasilkan ketika berhubungan dengan orang lain. Dengan kata lain, seorang guru yang berempati tajam mampu menyelami kehidupan, apa yang diinginkan, dan dirasakan siswanya satu per satu. Dengan berempati, guru akan dapat membaca dan mengikuti arah siswa bergerak untuk kemudian mengendalikannya sesuai arah yang dituju bila arah siswa sudah melenceng.
Seorang guru yang memiliki empati mendalam berarti telah memiliki soft skill dalam dirinya. Perilakunya pun akan mencerminkan kematangan bertindak. Ketika akan menjatuhkan hukuman atau sanksi terhadap siswanya, dia tidak akan mengalami kesulitan karena dia memiliki seni dan caranya sendiri. Dengan demikian, sanksi yang diberikan akan dirasakan siswa tidak sebagai hukuman, melainkan dianggap sebagai pemicu semangat. Menjatuhkan hukuman dan memberi teguran merupakan suatu seni yang tak mudah dimiliki seorang guru. Guru yang berhasil memperbaiki anak didiknya adalah guru yang telah menguasai dirinya sendiri. Dia mampu menunjukkan kesalahan siswa tanpa harus merendahkannya. Profile guru yang memiliki soft skill ini lah yang patut kita teladani dari novel berjudul Laskar Pelangi. Walaupun agak terlambat, kami menghimbau pada para guru untuk belajar tentang soft skill dengan membaca novel Laskar Pelangi.

* Penulis adalah Guru di Madrasah Terpadu MAN 3 Malang