Pengikut

Rabu, 31 Januari 2018

Mendidik “Kidz Zaman Now”

Oleh:
Mishad

Akhir-akhir ini kita sering mendengar di acara-acara radio, TV, berita koran, berita medsos, dan media lain istilah “Kids zaman now”.  Kalau kita artikan secara tekstual arti “Kids zaman now” adalah anak zaman sekarang. Kini kita saksikan di tagline acara anak-anak muda selalu di embel-embeli dengan istilah “Kids zaman now” .  Apabila dihubungkan dengan teori generasi, sebenarnya siapa yang dimaksud dengan “Kids zaman now”? ini.
 “Kids zaman now” adalah mereka yang disebut Generasi Z, lahir rentang tahun 1995-2010. Lebih lanjut uraian tentang sosiologi generasi ini, bisa membaca pemikiran Karl Mannheim (1893-1947) yaitu dalam esainya berjudul “The Problem of Generations” (1923). Dia mengatakan, bahwa sebuah generasi merupakan suatu kelompok yang terdiri dari individu, yang memiliki kesamaan dalam rentang usia, kemudian berpengalaman mengikuti peristiwa sejarah penting dalam suatu kurun waktu yang sama pula.
            Jika dihitung kemudian, anak-anak Generasi Z (oleh Bill Gates disebut i-Generation) saat ini memiliki rentang usia antara 7-22 tahun. Secara demografis, merekalah yang saat ini sedang duduk di bangku sekolah mulai dari SD, SMP, SMA sampai pada perguruan tinggi.
             Data demografis menunjukkan pada tahun 2010, sekitar 19 persen penduduk Indonesia adalah anak yang umurnya di bawah sepuluh tahun, sekitar 37 persen di bawah dua puluh tahun dan sekitar setengah populasi Indonesia berusia di bawah tiga puluh tahun  (www.indonesia-investments.com). Jika total penduduk Indonesia adalah 258 juta orang (proyeksi BPS dalam www.databoks.katadata.co.id, 2016), maka jumlah penduduk kategori  Generasi Z adalah sekitar 90-100 juta orang. Ini adalah angka yang sangat besar. Ditambah lagi secara demografis, usia Generasi Z ini adalah usia produktif.       
Karakteristik Kids Zaman Now
Dalam teori generasi, dijelaskan bahwa generasi Z memiliki memiliki karakteristik perilaku dan kepribadian yang berbeda dengan generasi sebelumnya, terutama generasi X dan Y.  Beberapa karakteristik umum dari Generasi Z diantaranya adalah:  Pertama.  Fasih Teknologi. Mereka adalah “generasi digital” yang mahir dan gandrung akan teknologi informasi dan berbagai aplikasi komputer.  Mereka dapat mengakses berbagai informasi yang mereka butuhkan secara mudah dan cepat, baik untuk kepentingan pendidikan maupun kepentingan hidup kesehariannya.
     Kedua, Sosial. Mereka sangat intens berkomunikasi dan berinteraksi dengan semua kalangan, khususnya dengan teman sebaya melalui berbagai situs jejaring, seperti: FaceBook, twitter, atau  melalui SMS. Melalui media ini, mereka bisa mengekspresikan apa yang  dirasakan dan dipikirkannya secara spontan. Mereka juga cenderung toleran dengan perbedaan kultur dan sangat peduli dengan lingkungan.
Ketiga, Multitasking.  Mereka terbiasa dengan berbagai aktivitas  dalam satu waktu yang bersamaan. Mereka bisa membaca, berbicara, menonton, atau mendengarkan musik dalam waktu yang bersamaan. Mereka menginginkan segala sesuatunya dapat dilakukan dan berjalan serba cepat. Mereka tidak menginginkan hal-hal yang bertele-tele dan berbelit-belit.
Dapat saya wacanakan, bahwa jika kita pandai mendeteksi potensi dan mengembangkannya, maka  mendidik generasi Z jauh lebih mudah dibandingkan dari mendidik generasi-generasi sebelumnya. Tentu masih banyak hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam proses pendidikan anak generasi Z, yang intinya bermuara pada pelayanan pendidikan yang cocok dan tepat untuk memberdayakan dan membudayakan anak-anak generasi Z, di dalamnya membutuhkan kesadaran dan sikap arif dari para pendidik dalam menghadapi anak-anak generasi Z.    
Mendidik “Kids zama now”
      Lalu bagaimana implikasi dan implementasinya dalam mendidik , menyiapkan, dan memberikan peluang-peluang bagi masa depan “kids zaman now”, yang pada 2045 nanti merekalah yang akan memimpin negara ini? Merekalah sesungguhnya jawaban atas proyeksi bonus demografi Indonesia. Usia produktif yang jumlahnya mendominasi struktur penduduk Indonesia. Itulah “kids zaman now”, masa depan bonus demografi Indonesia.
 Kehadiran Generasi Z dengan segala karakteristiknya yang amat kompleks membawa implikasi tersendiri terhadap dunia pendidikan, diantaranya pertama, Kita tidak menghendaki generasi yang gagap teknologi dan kita juga  tidak mengharapkan teknologi dipegang oleh “orang-orang yang salah”. Oleh karena itu, orang tua, guru, konselor dan para pendidik lainnya seyogyanya dapat membimbing dan memfasilitasi agar anak dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan jamannya dan dapat memanfaatkan kehadiran  teknologi secara tepat dan benar.
Kedua, dalam belajar, anak Generasi Z cenderung menyukai hal-hal yang bersifat aplikatif dan menyenangkan. Metode pembelajaran yang dikembangkan harus mampu mengakomodasi kecenderungan cara belajar yang mereka miliki, salah satunya melalui pendekatan Pembelajaran Berpusatkan Model (PBM) yaitu pembelajaran yang menggunakan model, perangkat yang dikonstruksi dan simulasi dinamika sistem untuk menghasilkan penyajian yang beragam untuk menolong siswa mengembangkan pengertian dari fenomena yang kompleks dan dinamis.
Ketiga, Untuk mengakomodir kecenderungan anak Generasi Z dalam bermedia-sosial online, perlu ditawarkan pemikiran tentang “Twitter untuk Pendidikan: Melejitkan Kreativitas”. Men-tweet tidak sekedar menghafalkan pelajaran tetapi justru merupakan sebuah tantangan untuk menciptakan pelajaran.
Keempat, Pemahaman agama yang kuat mutlak dibutuhkan oleh “kids zaman now” agar tidak terombang ambing oleh gelombang zaman. Mafahim atau paham terhadap agamanya melahirkan generasi yang tidak hanya tahu baik dan buruk. Generasi mafahim mencetak generasi yang tahu dan mau melakukan kebaikan “ber-amar ma’ruf” dan tahu keburukan dan mau mencegah keburukan “ber-nahi munkar”. Dengan mafahim atas agamanya, maka “Kids zaman now” dalam berkata dan berperilaku akan selalu terarah. Orientasi hidupnya jelas, yaitu selalu berharap atas ridho Alloh dan surga-Nya. Jalan hidupnya akan stabil dan terukur walaupun hidupnya di zaman yang teknologi tinggi dan serba otomatis.
Kita harus optimis untuk bisa mencetak generasi Z agar bisa jaya pada masanya yaitu era golden age yang diperkirakan pada tahun 2045-an. Saya optimis, jika kita sebagai orang tua dan guru pandai-pandai mendidik, mengarahkan, lebih-lebih lagi bisa menginspirasi dan menjadi teladan yang baik bagi generasi Z, maka bukan mustahil generasi emas itu akan muncul bertaburan bak bintang pada saatnya. Mudah-mudahan itu bukan utopia, tapi itu harus kita impikan dan kita usahakan dengan keras untuk menjadikanya sebuah kenyataan.  Mudah-mudahan Alloh Subhanahu Wa Ta’ala senantiasa memudahkan jalan kita, aamiin.  Wallahua’lam


Cerita Jeruk Bali dan Pembelajaran Kontekstual

Oleh:
Mishad*
Sebut saja Andik, murid kelas 2 dari sebuah Sekolah Dasar (SD) negeri di kota Malang  ini merengek ke orang tuanya. Dia minta dibelikan jeruk Bali untuk dijadikan bahan tugas dari gurunya untuk membuat alat permainan mobil-mobilan yang bahannya harus dari kulit jeruk Bali. Bahan kulit jeruk Bali tersebut harus dibawa Andik besok hari. Prapto, sebut saja ayah Andik mencari jeruk Bali ke sana kemari, termasuk ke pasar buah ternyata buah jeruk Bali tidak ditemukannya, karena belum masa panen. Oleh seorang pedagang buah di pasar, Prapto disarankan mencari buah jeruk Bali ke supermarket yang katanya kadang persediaannya masih ada. Akhirnya ketemu juga buah jeruk Bali di sebuah supermarket dengan harga per kilo-nya 25 ribu rupiah, yang biasanya di pasar per kilo-nya hanya 15 ribu rupiah. “Alhamdulillah” ucap Prapto legah sambil merogoh uang  di sakunya untuk membayar 1 kilo jeruk Bali yang di belinya. Sambil garuk-garuk kepala karena merasa kemahalan, Prapto yang berprofesi ojek itu bergegas pulang untuk memberikan buah jeruk tersebut untuk bahan tugas sekolah Andik, anaknya.
            Cerita tersebut adalah salah satu cerita betapa sibuknya murid SD dan orang tuanya sekarang menghadapi mata pelajaran tematik yang kadang masih diterapkan secara tekstual oleh sebagian guru SD. Tekstual maksudnya adalah menyampaikan materi dan tugas persis seperti yang ada di buku yang seluruh Indonesia isinya sama. Padahal kondisi di tiap-tiap daerah berbeda, artinya mestinya materi dan tugas untuk siswa disesuaikan dengan kondisi daerah. Semisal pada saat di buku tertulis praktek membuat mobil-mobilan dari bahan kulit jeruk Bali, maka bisa diganti dengan tugas membuat mobil-mobilan dari kulit buah-buahan. Artinya tidak harus dari buah tertentu, supaya bahannya mudah didapatkan dan tidak sampai membayar mahal. Tetapi dengan catatan kompetensi dasar (KD) siswa tetap tercapai.
Kita lihat, hampir tiap hari murid SD mendapat tugas untuk membawa bahan atau peralatan ini dan itu ke sekolah untuk mengikuti mata pelajaran tema tertentu. Lebih tragis lagi kalau tugas itu diberikan hari ini dan harus dibawa/dikumpulkan besok harinya. Alhasil si anak dan orang tuanya kelabakan mencarikan bahan dan perlatannya pada sore atau malam harinya. Tujuan guru untuk menugasi muridnya tentu saja benar dan mengacu sesuai KD, tapi jika tidak dikelola dengan mempertimbangkan waktu, situasi dan  kondisi tempat yang tepat, maka justru akan merepotkan dan kontra produktif, baik  ditinjau dari sudut waktu maupun finansial peserta didik, seperti cerita tugas dari kulit buah jeruk Bali di atas.
Kita sebagai seorang guru, tidak hanya guru SD, juga harus memahami materi di buku pedoman mengajar secara kontekstual tidak tekstual. Menyajikan materi secara tekstual, terutama dalam mencontohkan sebuah kondisi atau objek tertentu akan semakin menjauhkan siswa terhadap hal-hal nyata yang sebenarnya sudah ada di sekitarnya. Di Malang, berbicara tentang pencemaran sungai, tentunya lebih pas kalau bicara tentang pencemaran sungai Brantas dari pada cerita tentang pencemaran sungai Amazon di Brazil atau sungai Ciliwung di Jakarta. Karena sungai Brantas ada di sekitar warga atau siswa Malang. Siswa di Malang jelas lebih tahu “secara natural” tentang sungai Brantas dari pada sungai di negara atau kota lain, termasuk mungkin tentang tingkat pencemarannya.
Dalam memberikan tugas ke siswa juga harus mengutamakan pendekatan kontekstual. Menugaskan siswa untuk membuat laporan observasi tentang sejarah tari Topeng akan lebih kontekstual daripada menugasi siswa untuk membuat laporan observasi tentang tari Kecak atau tari Capoeira. Mereka bisa lebih dekat dan tahu sumber laporan yang ditulisnya karena tari Topeng memang berasal dari Malang. Saya yakin sumber laporan observasi siswa Malang tentang tari Topeng akan lebih primer daripada ketika ditugasi menyajikan hasil observasi tentang tari Kecak atau tari Capoeira.
Pendekatan kontekstual dalam menyajikan materi dan memberikan tugas ke siswa mestinya sudah menjadikan sebuah keharusan bagi guru. Jangan sampai siswa tidak paham tentang potensi lingkungan yang ada di sekitarnya, baik lingkungan alam maupun lingkungan sosial.  Sebagai sebuah temuan, saya pernah menjumpai siswa kelas XII MA atau SMA yang tidak tahu di kelurahan/ desa mana dia tinggal.  Dia juga tidak tahu, ketika ditanya siapa nama walikotanya? Padahal dua hal tersebut mestinya sudah umum untuk dimengerti.
Realitas tersebut merupakan bukti yang cukup tendensius bagi kita sebagai seorang guru yang kurang berhasil menerapkan pendekatan kontekstual dalam sebuah pembelajaran pada siswa kita. Oleh karena itu sebagai guru mari kita mengajarkan materi yang global dan standar internasional tetapi kita tetap harus menyajikan contoh atau fakta-fakta yang ada di sekitar kita. Obyek daerah dan bahan-bahan ajar yang kita praktekkan dengan murid kita juga harus mendahulukan yang ada di sekitar kita. Pendekatan kontekstual tidak cukup hanya diterapkan pada materi pelajaran muatan lokal, akan tetapi harus pada materi-materi lain yang memang relefan. Setelah mengakomodasi materi dan fakta/contoh yang ada di sekitar baru kita meluas pada materi dan fakta/contoh yang global. Mari kita coba! Wallohua’lam.
* Penulis adalah guru dan aktif di Litbang Penjaminan Mutu MAN 2 Kota Malang