Pengikut

Kamis, 06 Maret 2014

Merancang Strategi Sukses UN Yang Elegan



Oleh:
Mishad*

Bulan April 2014 ini, negara kita punya dua gawe nasional besar. Di samping menyelenggarakan pemilu legeslatif, pemerintah juga punya gawe nasional lain, yaitu secara beruntun menggelar ujian nasional (UN) untuk SMA/SMK/MA/SMALB  pada tanggal 14 – 16 April 2014 dan UN SMP/MTs/SMPLB pada tanggal 5 – 8 Mei 2014. Meskipun dua gawe besar ini berbeda tujuan, tapi memiliki skala yang sama, yaitu menjangkau seluruh wilayah Indonesia. Dua hajat besar ini juga membutuhkan persiapan yang lama dan harus “sistemik”, terutama penyelenggaraan UN. Fakta penyelenggaraan UN tahun 2013 kemarin yang masih “amburadul”  merupakan pil pahit yang tidak perlu terulang kembali. Maka tahun ini, pemerintah bertekad untuk menyelenggarakan UN secara baik dan tepat waktu.
            Saya tidak akan membahas tentang bagaimana teknis penyelenggaraan UN yang ideal. Tapi saya lebih tertarik menyorot tentang bagaimana persiapan siswa, termasuk sekolah ketika mempersiapkan siswanya menghadapi UN?  Ketertarikan saya terhadap fenomena persiapan menjelang UN ini muncul karena adanya tradisi yang saya anggap “irasional” sering dilakukan siswa/sekolah ketika menghadapi UN. Di antaranya adalah  ritual ziarah ke makam keramat,  ritual cuci kaki ibu (kadang ada juga air bekas cuci kaki ibu tadi sedikit diminum),  memantrai/menjampi-jampi alat tulis yang akan dipakai untuk menulis di lembar jawab komputer (LJK) UN, pergi ke dukun minta azimat, dan kadang yang paling ekstrem menyepi di tempat keramat.
            Dari fakta tersebut, tentunya kita menemukan hal yang kontraproduktif dari tujuan penyelenggaraan UN. Pemerintah menggelar UN dengan tujuan meningkatkan kualitas pendidikan, seperti supaya siswa/sekolah berpacu meningkatkan kualitas pembelajaran dan penguasaan materi pelajarannya__ tapi yang terjadi justru maraknya “klenik”. Belum lagi masih ditemukannya bocoran kunci UN di mana-mana. Usaha menghambat dampak bocoran kunci  UN dengan memodel soal UN dengan 20 variasi soal tampaknya masih ada “celah”. Di beberapa sekolah pinggiran, termasuk di daerah terpencil juga masih ditemukan soal UN yang dikerjakan gurunya, kemudian kuncinya dibagikan pada muridnya. Bahkan ada kepala sekolah yang tertangkap basah menyembunyikan naskah soal UN, ketika pengepakan jatah naskah UN di kantor polisi.
Kejadian-kejadian tersebut merupakan fakta bahwa masih banyak siswa/sekolah yang “belum” jujur dalam menyiapkan diri menghadapi UN. Data BSNP yang membagi wilayah putih, abu-abu, dan hitam sekolah/daerah penyelenggara UN adalah bukti temuan tersebut. Secara mengagetkan banyak ditemukan data korelasi antara jarak sekolah dengan pusat kota dengan tingginya nilai UN, yaitu semakin jauh lokasi sekolah dengan pusat kota (ketatnya monitoring), maka semakin tinggi rata-rata nilai UN-nya. Bahkan ada indikasi pemerintah daerah/pemda tertentu melakukan kecurangan penyelenggaraan UN secara ber-jama’ah dengan target seluruh siswa satu daerahnya bisa lulus 100% dan nilainya tinggi.
            Tentu saja masih banyak pemda dan sekolah yang masih “mengedepankan” kejujuran dalam menghadapi UN, dan mestinya harus demikian. Pemda/Sekolah tersebut masih bisa berpikir jernih dengan prinsip, apa manfaatnya jika lulus semua dan nilainya tinggi tapi tidak jujur? Mereka juga masih kepingin siswa-siswi mereka menjadi pribadi yang tidak hanya pandai dengan indikator lulus dan nilai tinggi. Tapi mereka juga ingin siswa/siswinya menjadi pribadi yang jujur dan mengedepankan sportifitas. Mestinya kondisi inilah yang harus diciptakan oleh masing-masing sekolah atau pemda, yaitu berkompetisi secara sehat (fashtabikul khoirot). Perlu diingat, bahwa para pelajar yang sekolah sekarang ini lah yang akan menjadi salah satu pemimpin negeri ini di masa depan. Bagaimana nasib bangsa ini, kalau mereka atau kita dalam menyiapkan UN saja sudah tidak jujur? Tentunya, kalau di sekolah saja siswa kita tidak jujur, maka akan merembet terhadap “ketidakjujuran” ketika mereka memimpin negeri ini.
Jika kita ingin negeri ini dipimpin oleh kader-kader yang jujur dan amanah tentunya mulai dini mereka harus kita siapkan menjadi pribadi-pribadi yang jujur, termasuk dalam menghadapi UN . Ada beberapa strategi/program yang dapat dilakukan oleh sekolah atau madrasah untuk sukses menghadapi UN secara jujur dan elegan, di antaranya adalah: Pertama. Melakukan Bedah standar kompetensi lulusan (SKL) bidang studi UN. Bedah SKL diperlukan untuk mengevaluasi soal-soal UN sebelumnya dan memprediksi soal-soal UN yang akan datang. Dalam bedah SKL dilakukan rekapitulasi jumlah soal yang keluar per-indikator tiap SKL dan model variasi soal tiap bidang studi UN dari tahun ke tahun. Dari hasil analisa rekapitulasi dan model variasi soal itu kemudian dilakukan prediksi soal beberapa paket, tentu saja dilengkapi dengan kisi-kisi, kunci, dan pembahasannya. Hasil prediksi soal ini yang akan digunakan sebagai bahan soal try out.
Kedua. Mengadakan jam tambahan bimbingan belajar (Bimbel) untuk bidang studi UN, khususnya untuk siswa kelas XII. Program tambahan jam belajar untuk bidang studi UN ini sangat rasional karena soal UN bahannya mulai dari kelas X sampai kelas XII dan soal UN mempunyai karakteristik yang sedikit berbeda karena memang bukan dibuat oleh guru di sekolah/madrasah kita sendiri.  Program bimbel di sekolah/madrasah sangat dibutuhkan sebagai bekal tambahan materi dan penyelesaian soal dalam menghadapi UN.
Ketiga. Try Out UN. Segala sesuatu, terutama ujian butuh latihan untuk menghadapinya. try out UN diperlukan untuk melatih siswa untuk “warming up” atau pemanasan menjelang UN. Bahkan jika perlu ciptakan kondisi seolah UN sebenarnya pada salah satu try Out, mulai ruangnya, penjaganya, bahkan model dan variasi soalnya. Pelaksanaan try out tidak perlu terlalu sering. Idealnya sekolah cukup tiga kali saja melakukannya. Asumsinya, siswa juga  terkadang mengikuti kegiatan try out di luar sekolah. Ada catatan penting dari kelanjutan dari try out, yaitu pembahasannya. Pembahasan soal try out diperlukan supaya siswa paham mana jawaban mereka yang benar dan jawaban mereka yang salah serta solusinya untuk menjawab soal try out selanjutnya, termasuk pada UN yang sebenarnya.
Keempat. Pengadaan buku kumpulan materi dan  soal UN. UN adalah sebuah ujian yang memiliki SKL yang sudah jelas. Hanya pola dan model soalnya yang senantiasa berkembang. Untuk mempersiapkan penguasaan materi dan penyelesaian soal, siswa memerlukan buku kumpulan materi dan soal UN, terutama kumpulan soal UN. Susunan kumpulan materi atau soal UN perlu  dibuat per-SKL dengan model/variasi soal sebanyak mungkin. Materi dan soal ini kemudian di drill-kan atau dibahas pada saat tambahan jam/bimbel di sekolah dan program intensif  UN.
Kelima. Program intensif UN. Program intensif UN hampir mirip dengan bimbel, bedanya bimbel UN biasanya diprogramkan sebelum atau setelah jam pelajaran di sekolah sedangkan program intensif adalah program murni latihan dan pembahasan soal UN dengan mengacu pada kumpulan soal UN dan pembahasan soal try out UN. Karena materi pelajaran non UN sudah tuntas, maka di program intensif  UN murni hanya mempelajari  materi bidang studi yang di-UN-kan saja. Di selah-selah program intensif  UN, perlu juga diselipkan try out untuk  mengetahui perkembangan penguasaan materi siswa. Hasil try out tersebut diperlukan sebagai masukan untuk program pondok UN sebagai masukkan untuk mengklasifikasikan ke kelas pengayaan atau kelas remedial.
Keenam. Program pondok UN. Program pondok UN adalah program pengayaan bagi siswa yang sudah bagus penguasaan materinya dan program remedial bagi siswa yang masih rendah penguasaan materinya. Dinamakan pondok UN karena siswa memang harus di karantina/menginap di sekolah atau belajar hingga malam hari, karena pagi sampai sore mereka harus mengikuti program intensif UN. Masing-masing program dibedakan menjadi dua kelas, yaitu kelas pengayaan dan kelas remedial. Di kelas pengayaan, siswa yang penguasaan materinya baik dilejitkan semaksimal mungkin nilainya. Sedangkan di kelas remedial siswa  diterapi kemampuannya dan diusahakan memiliki nilai yang lebih baik/meningkat dan jangan sampai tidak lulus.
Ketujuh. Program pembinaan mental dan ibadah. Program pembinaan mental biasanya dilakukan dengan mendatangkan motivator (ESQ) dan terapi (hypno-therapy) untuk mempersiapkan mental/psikologis siswa. Pembinaan mental yang rutin juga bisa dilaksanakan rutin melalui program konseling oleh BK sekolah/madrasah. Sedangkan program ibadah dapat dilakukan dengan penyelenggaraan sholat dhuha terbimbing, anjuran melanggengkan sholat tahajjud, puasa senin kamis, banyak bersedekah (terutama pada yatim piatu), do’a bersama/istighotsah, dan lain-lain. Bagaimanapun, program pembinaan mental ini sangat perlu untuk mengimbangi penguasaan materi (IQ) dengan kematangan spiritual (SQ) siswa.
Kedelapan. program fisik dan relaksasi. Program fisik adalah program menjaga kesehatan tubuh siswa. Caranya adalah dengan anjuran berolah raga teratur di selah-selah aktivitas lain dan mengkonsumsi makanan sehat, seperti tambahan minum susu dan madu. Sedangkan kegiatan relaksasi bisa dilakukan melalui penyelenggaraan out bond. Dalam kegiatan out bond mereka diharapkan bisa melepas kepenatan/kejenuhan pikiran selama menjalani kegiatan belajar mengajar di sekolah. Out bond juga diharapkan mampu menciptakan suasana kekeluargaan antara mereka, guru, dan orang tua. Target out bond yang lebih penting lagi adalah memicu semangat mereka untuk “siap tanding” menghadapi UN.
Kesembilan. Program mohon restu guru dan orang tua. Program ini dapat dilaksanakan dengan cara mengumpulkan siswa, guru, dan orang tua pada acara pengajian, do’a bersama, dan santunan anak yatim di sekolah. Acaranya bisa didesain dengan diawali dengan do’a bersama (istighotsah), pengajian, dan dilanjutkan dengan santunan. Acara ditutup dengan saling bersalam-salaman antara siswa, guru, dan orang tua dengan tujuan mohon do’a serta restu dan saling memaafkan. Kegiatan ini berangkat dari sabda Rasulullah, yaitu  Dari Abdullah Ibnu Amar al-’Ash Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Keridloan Allah tergantung kepada keridloan orang tua dan kemurkaan Allah tergantung kepada kemurkaan orang tua.” Riwayat Tirmidzi. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban dan Hakim.”.  Kalau orang tua merestui atau ridho, maka hasil UN insya Allah akan baik, tentunya baik menurut Allah SWT.
Kesepuluh. Tawakkal. Setelah melakukan usaha-usaha teknis di atas secara optimal, maka kita tanamkan siswa kita untuk “ber-tawakkal. Tawakkal dalam arti berserah diri pada Allah SWT setelah maksimal berusaha. Tawakkal jangan sampai disalah artikan hanya berdo’a dan berserah diri saja tanpa belajar. Siswa perlu dipahamkan tentang sukes UN itu harus seimbang antara belajar dan berdo’anya. Ada ungkapan yang cukup mengena yang bisa kita tanamkan kepada siswa kita, yaitu “Belajar tanpa berdo’a adalah sombong, sedangkan berdo’a tanpa belajar adalah malas”.
Jika sepuluh strategi atau program ini dilakukan, maka bisa dikatakan sekolah telah membekali siswanya dengan bekal yang benar dan elegan. Sekolah yang berdedikasi tentunya sangat tepat jika membentuk tim sukses dengan melaksanakan sepuluh program ini atau boleh ditambah atau dikurangi. Bukan membentuk tim sukses UN untuk menyiapkan siswanya melakukan ritual klenik atau melakukan kegiatan kecurangan UN. Tujuan pendidikan kita adalah membentuk generasi yang ber-IPTEK dan ber-IMTAQ, maka jangan biarkan “ritual klenik” dan “kecurangan” UN menjalar ke mana-mana. Ingat! bekal pendidikan  dan kejujuran yang kita tanamkan pada siswa sekarang akan berbuah di masa mendatang. Negeri ini butuh kader-kader pemimpin yang jujur dan adil dan mereka adalah para siswa siswi sekolah/madrasah kita. Generasi pemimpin mendatang yang jujur berangkat dari mekanisme pendidikan yang jujur, termasuk dalam mensukseskan UN. Mari kita sukseskan UN dengan cara yang jujur dan elegan. Wallohua’lam.