Pengikut

Jumat, 13 Desember 2013

Bekerja Di Negeri Sendiri



Oleh:
Mishad


Kira-kira sudah 2 jam saya berkeliling di sebuah sekolah yang lahannya cukup luas dan berasrama. Karena badan sudah capek saya berteduh di area kantin sekolah unggulan SMKA Hamidiah Kajang, negeri Selangor yang memiliki luas lahan sekitar 27 hektar itu. “Mas-mas saking pundi?” sapa seorang petugas kebersihan kantin pada saya dan pak En Efendi, seorang teman. “Saking Malang, Jawa Timur mas” sahut kami berdua. Terus terang saya agak kaget karena saya tidak mengira kalau cleaning service (CS) itu ternyata masih teman sebangsa.
Terus terang, antara salut dan kasihan, saya melihat bapak muda ini  harus merantau menjadi TKI ke negeri jiran Malaysia, hanya untuk sebuah pekerjaan CS. Saya sempat bertanya tentang berapa gajinya. “Sehari saya digaji 50 ringgit mas” kata Budi, sebut saja TKI ini sambil menyuguhi kami 2 gelas minuman. Lumayan besar juga kalau dirupiahkan, hampir sekitar 200 ribu rupiah perhari. Tapi biaya hidup di sana juga mahal. Sekali makan dengan menu standar saja sekitar 10 ringgit atau hampir 40 puluh ribu rupiah. Belum lagi mereka harus mencukupi kebutuhan lainnya. Singkatnya, gaji Budi cukup besar tapi pengeluarannya juga tidak kalah besar.
Ternyata TKI yang bekerja di sekolah itu tidak hanya dia. Kami juga sempat dikenalkan Budi dengan juru masak kantin asal Tuban dan sejumlah tukang bangunan dari beberapa daerah di Jawa Timur. Saya lebih prihatin lagi ketika mereka menyebut dirinya “budak/belia”. “Budak/belia” adalah sebutan TKI kasar yang bekerja di Malaysia. Ada juga orang Malaysia yang menyebut para TKI itu dengan sebutan “Indon”. Kayaknya sebutan-sebutan itu kurang layak bagi martabat dan kehormatan WNI, terutama TKI di sana.
Menurut saya, tantangan terberat bagi mereka tidak hanya karena faktor harga diri dan ekonomi, tapi juga jaminan keamanan dan faktor psikologis mereka yang jauh dari keluarga mereka di Indonesia. Kisah singkat Budi ini adalah salah satu potret dari ratusan ribu TKI yang  bekerja di Malaysia. Atau bahkan jutaan TKI yang bertebaran di seluruh dunia. Kita juga sering mendengar dan melihat berita, banyak TKI yang diperlakukan tidak manusiawi oleh majikannya, bahkan ada yang harus rela mati dihukum pancung.
Sebenarnya, menjadi tenaga kerja di luar negeri tidak hanya tren bagi warga negara Indonesia, tapi juga terjadi pada warga negara Malaysia. Ketika pagi hari saya melintas dari perbatasan Malaysia (Johor Baharu) – Singapura, ada pemandangan yang sangat menarik. Ribuan kendaraan, mayoritas sepeda motor padat merayap memasuki wilayah Singapura. Mereka adalah pekerja asal Malaysia yang setiap hari pergi ke tempat kerjanya di Singapura. Di jok belakang sepeda mereka dipasang box yang ternyata isinya adalah makanan. Mereka membawa makanan dari Malaysia karena makanan di Singapura cukup mahal, yaitu sekitar 6 dollar, atau hampir 60 ribu rupiah sekali makan. Jika mereka berbekal dari rumah, maka bisa sedikit berhemat.
Para pekerja harian asal Malaysia ini mengejar dollar Singapura yang nilainya cukup fantastis, yaitu 1 dollar Singapura hampir bernilai 3 ringgit Malaysia. Bagi warga Malaysia bekerja di Singapura gajinya bisa 3 kali lipat dari gaji bekerja di Malaysia. Keuntungan pekerja lintas perbatasan ini adalah karena mereka mendapatkan gaji Singapura tapi tetap bertempat tinggal di Malaysia. Sehingga penghasilannya besar tapi pengeluarannya bisa ditekan. Tapi, benarkah bekerja itu  hanya semata-mata menghitung keuntungan materi saja? Tentu saja tidak.
Ketika penerbangan pulang dari Kuala Lumpur ke Surabaya, kebetulan saya duduk bersebelahan dengan TKI Malaysia asal Surabaya. Sebut saja dia, Hasan. Hasan adalah TKI yang bekerja di perusahaan Plywood di Serawak, Malaysia Timur. Dia sudah bekerja di Malaysia belasan tahun. Saya sempat bertanya tentang berapa besar gajinya? Dia bilang 3000 ringgit sebulan atau sekitar 10 juta rupiah lebih. Selain gaji, Hasan juga mendapatkan faslitas asrama/mess dan sekali makan siang. Dia juga dapat jatah cuti setahun 12 hari plus pulang naik pesawat tapi baliknya perjalanan darat lewat Kalimantan.
Ketika saya tanya tentang apakah nyaman bekerja sebagai TKI di Malaysia? Dia hanya bilang “Ya harus nyaman, gimana lagi”. Tapi dia tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Iya sadar kalau tidak selamanya dia harus menjadi TKI, apalagi kalau usianya sudah senja. “Sebenarnya saya diminta isteri untuk bekerja di Surabaya saja mas, tapi saya jadi mikir kerja apa?” curhat dia. Hasan sempat cerita kalau khawatir dengan masa depan keluarganya. Maklum, 2 anaknya semakin beranjak besar dan semakin naik jenjang sekolahnya. Istrinya juga sempat menyarankan agar dia kerja apa adanya saja di Surabaya, sehingga masih bisa mengawasi dan mengantar anak-anaknya ke sekolah. Kali ini dia balik ke Surabaya dengan perasaan bimbang, apakah harus balik lagi menjadi TKI di Malaysia?
Dua orang yang saya ceritakan di atas adalah TKI laki-laki yang nasibnya masih mending. Saya tidak bisa membayangkan lagi ketika harus mengorek cerita dari TKW, apalagi kalau TKW tersebut bermasalah di luar negeri. Berapa banyak TKW kita yang menjadi korban trafficking, penyiksaan, pemerkosaan, dan kejahatan lainnya? Tampaknya bekerja di luar negeri dengan resiko yang tinggi , seperti yang terjadi pada TKI dan TKW ini patut untuk dijadikan pelajaran berharga bagi kita. Jangan sampai mencari nafkah harus memporak porandakan masa depan keluarga, terutama anak-anak kita.
Bagi TKI laki-laki seperti Budi dan Hasan tentu saja sedih rasanya jauh dari keluarga, meski hal itu  disebabkan untuk memberikan masa depan ekonomi yang lebih baik bagi keluarga. Karena jarak yang jauh juga membuat peranan bapak sebagai suami dan ayah menjadi terbatas, termasuk tak dapat menjalankan kewajiban dalam memberikan nafkah batin kepada isteri tercinta dalam jangka waktu yang demikian lama.
Dalam Islam memang dianjurkan bagi seorang suami, jika harus meninggalkan isterinya maka waktu maksimal yang diperbolehkan adalah 4 bulan. Hal ini pernah terjadi di zaman kekhalifahan Umar bin Khatab ketika dia mendengar keluhan seorang wanita yang ditinggalkan suaminya berjihad, wanita itu mengatakan jika bukan karena rasa takut kepada Allah maka niscaya ranjang ini akan bergoyang. Sejak itu Umar tidak memperbolehkan lelaki meninggalkan isterinya, meski untuk berjihad, lebih dari 4 bulan.
Sedangkan waktu iddah bagi seorang wanita yang dicerai oleh suaminya adalah 3x masa sucinya, artinya batasan yang aman bagi seorang wanita tidak menerima nafkah batin mungkin selama jangka waktu tersebut. Tentu saja amat dipertimbangkan kembali, jika kunjungan suami kepada keluarga yang hanya dilakukan setahun sekali, seperti yang dilakukan oleh Hasan. Terlepas dari kerelaan isteri atas kondisi tersebut, kondisi seperti ini memang sangat rentan terhadap konflik serta godaan. Selain masalah hubungan suami-isteri, tentu komunikasi dan hubungan dengan anak pun jadi terbatas. Hal tersebut tentu juga mempengaruhi perkembangan buah hati tercinta.
Bagi TKW, jika dia punya suami tapi dia tetap bekerja ke luar negeri, maka hukumnya tidak diperkenankan. Dalam masalah ini Imam Ibnu Qudamah menyatakan siapa saja perempuan yang tidak punya mahram dalam perjalanan haji, tidak wajib naik haji. Dalam hadits riwayat Bukhari Rasulullah SAW bersabda,"Tidak halal perempuan yang beriman kepada Allah dan hari akhir melakukan perjalanan selama sehari semalam kecuali disertai mahramnya.". Jika wanita ingin menjadi TKW maka ajaklah suami dan keluarga anda, maka hukumnya menjadi boleh.
Karena umumnya TKW tidak disertai mahram atau suaminya dalam perjalanannya ke luar negeri, maka hukumnya menjadi tidak halal. TKW itu pun tetap dianggap musafir yang wajib disertai mahram atau suaminya, selama dia tinggal di luar negeri hingga dia kembali ke negeri asalnya (Indonesia). Ketidak halalan menjadi TKW juga bisa ditinjau dari segi lain, yaitu keberadaan TKW telah menjadi perantaraan munculnya berbagai kejahatan. Misalnya, terjadinya pelecehan seksual, perkosaan, kekerasan, pembunuhan, pemotongan upah, dan pungutan liar. Maka, menjadi TKW yang seperti inilah yang hukumnya diharamkan berdasarkan kaidah fiqih Al-Wasilah ila al-Haram Muharramah (segala perantaraan yang mengakibatkan terjadinya keharaman, maka hukumnya haram).
Maka sudah saatnya pemerintah Indonesia harus lebih berpikir dan bekerja keras memperjuangkan  nasib rakyatnya. Negeri kita yang “gemah ripah loh jinawi” tentunya sangat menjanjikan bagi pemerintah dan rakyatnya untuk mengelolanya dengan sebaik-baiknya. Jangan sampai terjadi negeri yang seharusnya bisa menjamin kesejahteraan dan pekerjaan bagi rakyatnya menjadi tidak bisa. Pemerintah wajib membuka lapangan pekerjaan seoptimal mungkin untuk menjamin kesejahteraan rakyatnya. Jangan sampai karena tidak mendapatkan kesejahteraan dan pekerjaan yang layak di negeri sendiri, maka mereka lalu berbondong-bondong menjadi TKI/TKW ke luar negeri. Dengan menjamin kesejahteraan dan pekerjaan yang layak, maka saya yakin mereka lebih suka bekerja di negeri sendiri. Bukankah Rasulullah pernah bersabda bahwasannya sebaik-baik tempat mencari rizki adalah di negeri sendiri. Wallohua’lam