Pengikut

Jumat, 07 Juni 2013

Ibu …. Maafkan Aku


Oleh:
Mishad Khoiri

Meskipun masih berumur kurang dari seminggu, waktu itu anak keduaku yang masih bayi sudah harus kutinggal. Maklum, waktu itu aku harus menjenguk ibuku yang sedang sakit di Lamongan. Bahkan, ketika terakhir aku tinggal, posisi ibuku sedang opname yang ke sekian kalinya di paviliun RSUD dr. Soegiri Lamongan. Alhamdulillah, aku sudah sempat berkomunikasi dan menemani ibuku bermalam di rumah sakit bersama dengan 4 saudaraku. Mungkin karena tidak tega melihat kondisi istriku yang sedang punya bayi dan bermalam hanya bertiga dengan anak pertamaku yang masih berumur 4 tahun, hingga saudara-saudaraku di Lamongan memintaku untuk pulang ke Malang.
            “Mas, pulang saja! Kasihan mbak Anik merawat bayinya sendiri” ucap Mas’ulah adik perempuanku. “Ya … nanti agak sore-sore dikit lah” jawabku sambil menghela nafas. Memang jujur saja ada perasaan berat antara aku harus menunggu ibuku di rumah sakit Lamongan dan menemani keluargaku yang saat itu sangat membutuhkan kehadiranku di Malang. Tetapi karena permintaan dan  ijin dari saudara-saudaraku, maka sore itu, aku jadi pulang ke Malang. Di benakku hanya terpikir liburan pekan depan aku masih bisa menjenguk ibuku lagi.
Bus Dali Prima jurusan Bojonegoro- Malang melesat cukup kencang ke Malang membawaku pulang. Sekitar 3 jam aku sudah sampai di Malang, bertepatan dengan adzan isya’ berkumandang.  Setelah menyapa istri dan anak-anakku aku kemudian mengambil air wudhlu. serta bergegas untuk sholat berjama’ah di mushola dekat rumah.
***
Capek sekali malam itu …..mungkin karena kelelahan  habis perjalanan jauh, tapi malam ini terasa lain. Perasaanku tidak enak. Di tempat tidur, aku masih membolak balikan tubuhku ke samping kanan dan ke kiri. Tidurku menjadi sulit, mungkin karena perasaan bersalah meninggalkan ibuku yang sedang opname di rumah sakit Lamongan.  Tapi karena capek, entah pukul berapa akhirnya aku pun terlelap juga.
***
‘Kring…… kring  ….. kring …. Terdengar nada ringtone Hp-ku. Aku terperanjat dari tidur. Antara sadar dan tidak aku menyambar Hp yang ada di sebelah bantalku. “Assalamu’alaikum …..  Assalamu’alaikum” ucapku sambil tersengal-sengal karena bangun dari tidur yang kurang nyenyak. “Wa’alaikumsalam kak” jawab adikku Misbahul Ulum pelan. “Ada apa kok malam-malam telpon” Tanyaku sembari duduk bersandar di dinding kamar. “Kak jangan kaget ya, ibu sudah tidak ada lagi” ucap adikku. “Tidak ada, maksudnya apa? Tanyaku lagi. “Maksudnya ya sudah meninggal kak” sahut adikku lagi. “Innalillahi Wainna Ilaihi Rooji’uun” jawabku lirih. Mendengar kabar itu aku seperti mimpi dan seolah  tidak siap menghadapi kenyataan. Mungkin ini adalah jawaban dari perasaanku yang tidak enak tadi. Pandanganku menerawang jauh. Ingat dosa-dosaku terhadap ibuku, termasuk tidak menemani beliau di saat ajal menjemput.
Aku berdiri dan bergegas keluar dari kamar tidur. Kulirik jam di dinding, ternyata sudah pukul 02.20 dini hari. Kemudian aku ke kamar mandi dan sholat malam. Setelah membangunkan istriku dan menceritakan tentang telpon adikku, istriku sempat kaget. Saat itu juga aku  pamitan untuk ta’ziah ke Lamongan. Istriku membantu mempersiapkan bekal pakaian di tasku dan berpesan agar aku hati-hati di perjalanan.
Tepat pukul 03.00 dini hari aku sudah berangkat dengan mengendarai sepeda motor. Sambil terus menggeber motorku, di hadapanku hanya ada satu tujuan, yaitu ibu … ibu …  dan ibu. Suasana dini hari yang dingin dan gelap seakan sirna. Sepeda motor yang saya kendarai serasa ringan sehingga melesat cepat sekali membawaku pergi ke Lamongan untuk segera menemui ibuku. Perasaan bersalahku semakin menjadi-jadi. Ibarat nasi sudah menjadi bubur,  peristiwa kematian itu sudah berlalu. Kini ibuku sudah tiada. Untung pikiran rasionalku masih mendominasi. Sehingga aku terus beristighfar di saat menyetir motorku sambil selalu berpikir positif. Aku yakin, masih banyak cara yang bisa saya darma baktikan untuk ibuku walau beliau sudah meninggal.
***

Seperti tidak terasa, perjalananku dari Malang ke Lamongan hanya sekitar 2,5 jam, termasuk transit sholat subuh di masjid markas brimob di Watukosek Mojokerto. Sehingga kira-kira pukul 05.30-an, aku sudah tiba di rumah duka Lamongan. 
 “Ibu di mana?”  ….. “Ibu di mana?” …… teriakku di kerumunan sejumlah orang di depan rumah duka. Kak Munib, saudara tertuaku yang kutemui hanya menyalamiku sembari memberi isyarat telunjuk, seolah memberitahuku, kalau jasad ibuku masih diistirahatkan di dalam rumah. Aku bergegas ke dalam rumah. Di ruang tamu terlihat sesosok jasad tergolek membujur ke arah utara-selatan tertutup kain jarik. Aku sudah tidak kuasa menahan isak tangis. Mulutku memang tidak bersuara, tapi air mataku seolah mengalir dengan sendirinya. Ku buka kain penutup muka ibuku, kuciumi wajahnya dengan berlinang air mata. Kudekati telinga beliau sambil kuucapkan kata-kata lirih “Ibu .. Maafkan aku yang tidak menemanimu di detik-detik sakratul maut”. Entah mengapa, aku serasa harus mengucapkan kata-kata itu. Di benakku, sepertinya ibuku masih hidup dan  bisa mendengar serta merestui permohonan maafku. Aku merasa plong setelah menyampaikan kalimat itu. Mungkin karena perasaan bersalahku mulai terkurangi.
***
Sinar matahari mulai terik. Kerumunan pelayat di depan dan sekitar rumah duka semakin banyak. Para pelayat itu mulai dari para keluarga, tetangga, dan handai taulan. Suara tahlil silih berganti dilantunkan oleh para pelayat sambil menunggu kerabat jauh dan Kyai Azis yang belum datang. Setelah beberapa waktu, tampak Lek Rofi’an bersama seseorang yang tak lain adalah KH. Abdul Azis Khoiri. Kyai Azis diminta khusus memberi ceramah dan menjadi imam sholat mayit untuk almarhumah ibuku. Kyai Azis memang dekat dengan keluargaku, karena paman dan abaku pernah sama-sama mondok di Ponpes Langitan dengan beliau. Wejangan Kyai Azis yang masih saya ingat pada saat ceramah adalah tentang nukilan hadits Rasulullah Shallalohu ‘Alaihi Wasallam. Bunyi hadits itu adalah “Apabila seorang manusia (anak Adam) meninggal maka putuslah segala amalnya, kecuali tiga perkara, yaitu sedekah jariyah atau ilmu yang bermanfaat sesudahnya atau anak yang saleh yang mendo’akannya”. 
Meskipun kesedihanku hari itu mencapai puncaknya, tapi di benakku ada perasaan bangga dan bahagia. Karena ketika kyai Azis bertanya kepada pelayat apakah ibu Rufa’iyah ini orang baik? Maka para pelayat serempak menjawab “baik”. Tidak hanya karena jawaban pelayat itu saja, tapi juga karena ratusan orang yang penuh sesak di masjid kampungku untuk men-sholati beliau. Aku berharap barokah do’a mereka menjadikan almarhumah ibuku meninggal dengan predikat khusnul khotimah.
Saat menuju pekuburan, kuangkat keranda mayat ibuku bersama saudara dan para kerabatku. Lantunan dzikir “La Ilaaha Illallah …. La ilaaha Illallah …. bergemah meyeruak menambah sakralnya prosesi pemakaman ibuku.
Di tempat pemakaman, kulihat lubang mengangah ukuran 1 kali 2 meter telah siap. Aku,bertiga dengan kakak dan adikku bergantian melompat masuk. Setelah semuanya sudah siap, jasad almarhumah ibuku yang sudah terbalut kain kafan itu diturunkan dari keranda mayat oleh kerabatku yang lain. Kami bertiga dengan sigap menerima jasad yang sudah mulai kakuh itu. Kami baringkan jasad ibuku itu.. Kuhadapkan wajah beliau ke  kiblat, kubuka sedikit kain kafan di muka beliau dan kuletakkan pipi kanannya di tanah pekuburan itu menyatu dengan bumi. Lalu,  aku adzani dan setelahnya aku iqomati.
Perasaanku jadi tak karuan lagi ketika gundukan-gundukan tanah itu dijatuhkan dan dilongsorkan beramai-ramai oleh para pelayat ke lubang kubur. Melihat peristiwa itu kesedihanku semakin menjadi. Aku merasa dipisahkan untuk selama-lamanya dengan ibuku yang kini telah terkubur oleh gundukan tanah.
Iman ini memang kadang menurun terkadang juga meningkat. Mungkin karena imanku sudah meningkat, maka hati yang sudah tidak karuan tadi lambat laun mulai stabil. Aku masih ingat sabda nabi yang disampaikan Kyai Azis, bahwa ada amalan yang bisa membantu orang tua yang sudah meninggal, yaitu beramal yang pahalanya diniatkan untuk almarhumah dan anak saleh yang mau mendo’akan almarhumah. Aku semakin sadar, jika kesedihan berlarut-larut itu bukanlah penyelesaian, maka mulai detik itu juga aku berusaha untuk berbakti pada almarhumah ibuku melalui dua jalan tadi, yaitu beramal yang pahalanya diniatkan untuk beliau dan mendo’akannya. Entahlah,  hati ini punya keyakinan yang kuat kalau ibuku meninggal khusnul khotimah. Senyum yang terpancar dari wajahnya ketika aku membuka kain penutup wajahnya, menambah kuat keyakinanku itu. Ya Allah, ampunilah dosa-dosa beliau,  terimalah segala amal perbuatan beliau, dan tempatkanlah beliau di tempat yang mulia di sisi-Mu Ya Allah, Amiin …. Amiin Ya Rabbal Aalamiin. Wallohua’lam