Pengikut

Selasa, 19 Februari 2013

Ilmu Lelaku Dari Mbah Pandu



Oleh:
Mishad Khoiri

Ting … Ting ….Ting …. pintu pagar besi  itu kuketuk tiga kali menggunakan ujung kuku. Tidak lama kemudian dari dalam, tampak pintu rumah berteralis itu  terbuka.  “Assalamu’alaikum” ucap saya serempak dengan dua teman.  Klak ….  Terlihat seorang nenek  mendongakkan kepalanya “Wa’alaikumsalam, Siapa ya?“  jawab sang nenek sembari menyapa.  “Kami dari mushola mau mengambil kaleng amal mbah” jawab kami bertiga kompak.  Sepertinya sudah paham, Mbah Pandu, nama panggilan sang nenek kemudian membukakan pagar. Seperti biasanya, beliau mempersilahkan kami masuk di teras rumah. Tidak lama kemudian, beliau sudah muncul dari dalam rumah sambil menenteng kaleng amal berwarna hijau tua dan langsung  menyerahkan pada kami.
            Pak Rofi, teman saya dengan sopan menerima dan membuka kaleng tersebut serta memasukkan isinya ke kantung yang sudah  kami siapkan. “kropyak “ bunyi beberapa uang koin bercampur uang kertas yang kelihatan berjatuhan ke kantung tersebut. “Terima kasih mbah, mudah-mudahan barokah, diberi kesehatan, dan rezeki yang banyak” ucap Pak Mahali teman saya yang lain sambil mendo’akan.  “ Amiin, sampeyan semua saya  do’akan juga demikian”  ucap Mbah Pandu yang balik mendo’akan kami. “ Amiin” sahut kami sambil pamit melanjutkan aktivitas rutinan perbulan kami  menghimpun dana untuk pembangunan lantai dua mushola di komplek perumahan kami.
            Walaupun diamanahi sebagai ketua ta’mir,  saya tetap berusaha aktif di saat seksi pembangunan  sedang menggali dana. Kami juga menerapkan beberapa strategi lain dalam menghimpun dana dan itu lebih besar hasilnya. Tapi menggali dana dengan menitipkan kaleng amal ke rumah-rumah ternyata sarat akan makna. Selain bisa silaturrahim ke rumah warga, ternyata banyak pelajaran berharga yang kami dapatkan dari aktifitas ini. Mulai bagaimana menyapa, memotivasi, dan merasakan beragam empati yang di tampakkan oleh warga. Intinya, semua akan menjadi indah jika yang kita kedepankan adalah perasaan husnudhzon kepada sesama dan menanamkan perasaan optimis pada teman-teman pengurus ta’mir bahwa ini adalah tugas mulia. Lantaran kita mencari dana bukan untuk diri kita tapi untuk mendirikan rumah Alloh.
Pengalaman lain ketika menghimpun dana adalah adanya perbedaan respon dan besaran nilai sumbangan yang kami terima. Ini tidak lain dipengaruhi oleh beragamnya tingkat kesadaran dan  status sosial warga yang tinggal di blok perumahan kami. Profesi masyarakat yang tinggal di perumahan kami cukup heterogen, mulai dari pegawai negeri, seperti guru, dosen, pegawai pajak, pegawai pemkot/pemkab, dan lain-lain. Selain profesi tersebut ada juga pegawai swasta dan wirausahawan.  Alhamdulillah, dari sekitar 80 kepala keluarga yang tingggal di blok kami, 95 persen beragama Islam. Ada pengalaman menarik yang kami temukan di lapangan, yaitu tidak mesti orang yang berstatus sosial menengah/rendah memiliki semangat dan kontribusi yang menengah/rendah terhadap pembangunan mushola di blok kami. Buktinya, pernah ada salah seorang warga yang rumahnya tidak mewah dan sekedar jualan kripik serta makanan ringan menyumbang mushola kita sebesar 15 juta rupiah.
            Pelajaran berharga lain waktu mengggali dana adalah ketika melihat semangat beramal warga, termasuk ketika melihat semangat Mbah Pandu. Keriput mukanya sama sekali tidak menghalangi senyum bersahajanya kepada kami, setiap kali kami datang mengambil kaleng amal. Janda tua yang harus repot mencukupi kebutuhannya sendiri  itu masih sudi dengan rutin berinfaq melalui kaleng amal. Bahkan kerapkali menanyakan ketika kami agak telat mengambil kaleng amalnya. Ibadah sholatnya juga tekun, bahkan di rumahnya sering digunakan sebagai tempat majelis pengajian dari jamaah dalam atau luar perumahan. Mungkin karena jiwa kedermawanannya yang membuatnya tetap sehat walaupun umurnya sudah semakin udzur. Sungguh….,  kita patut iri jikalau tidak memiliki semangat beramal seperti Mbah Pandu.
Apa yang dilakukan Mbah Pandu tersebut menunjukkan sosok yang bersahaja dan dermawan. Walaupun usianya sudah tua, ia tetap tekun beribadah.  Di sela-sela mencukupi kebutuhannya sehari-hari, janda yang hanya tinggal dengan cucu laki-lakinya ini tetap menyisihkan uangnya   untuk disumbangkan ke mushola. Aktivitas itu dilakukan dengan keadaan dirinya yang sarat dengan keterbatasan. Mungkin ini bisa dijadikan pengingat bagi kita untuk tetap selalu produktif beribadah dan bekerja, termasuk menyisihkan uang dari hasil kerja kita untuk bersedekah dan supaya kita juga punya jiwa dermawan. Terutama bagi kita yang masih muda dan memiliki banyak kelonggaran.
Jika kita tulus berupaya mengikuti ajaran agama maka secara otomatis kita akan memiliki jiwa dermawan. Kita juga akan berusaha melakukan kebaikan kepada sesama dalam segala kesempatan maupun keadaan. Ketika bersedekah, kita yakin, bahwa pemberian kita tidak akan sia-sia, karena kita percaya kalau apa yang kita lakukan akan dicatat oleh Alloh Ta’ala, sebagaimana termaktub dalam Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 273, Alloh Ta’ala berfirman “Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Alloh), maka sesungguhnya Alloh Maha Mengetahui”
            Kita juga percaya, bahwa ketika kita menyedekahkan uang maka uang itu akan kembali kepada kita dalam bentuk yang bermacam-macam. Kita juga yakin, bahwa Alloh akan melipatgandakan pahala kita di dunia dan di akhirat kelak. Sebagaimana dalam surat Al Baqarah ayat 261, Alloh berfirman “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Alloh adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Alloh melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang dia kehendaki. dan Aloah Maha luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui
            Ketika Sa’ad ibn Abi Waqqas sakit keras dan hampir menemui ajalnya, Rasululloh Shollalohu ‘Alaihi Wasallam mengunjunginya. Tahu bahwa Nabi Shollalohu ‘Alaihi Wasallam ada di sampingnya, Sa’ad bertanya kepada beliau : “Wahai Rasululloh, aku memiliki banyak harta, dan aku hanya memiliki dua anak perempuan untuk mewarisi hartaku. Haruskah aku memberikan dua pertiga dari kekayaanku untuk disedekahkan?” Nabi Shollalohu ‘Alaihi Wasallam menjawab, “Tidak”. Dia bertanya “Haruskah aku menyedahkan separoh?”. Nabi menjawab “Tidak”. Dia bertanya lagi, “Apakah sepertiga? Jawab Nabi, “Berikanlah sepertiga, dan sepertiga itu sudah cukup banyak”. Kemudian Rasululloh Shollalohu ‘Alaihi Wasallam menegaskan, “Jika kamu meninggalkan anak keturunanmu sebagai orang kaya, itu lebih baik daripada kamu menjadi orang miskin dan meminta-minta pada orang lain. Kamu tidak memberikan sesuatu kecuali akan diberi pahala, sekalipun hanya sepotong kue yang kau suapkan untuk istrimu.”
            Maka sudah jelas, bahwa bersikap dermawan adalah sangat mulia di hadapan Alloh Ta’ala. Mbah Pandu yang hidup dengan penuh keterbatasan pun, berusaha dengan keras untuk tetap bersedekah. Di tengah kehidupan ini, ternyata masih banyak masyarakat miskin yang butuh uluran tangan kita, Jangan sampai ada kabar saudara muslim kita  menjual aqidahnya dan pindah agama hanya lantaran dibayar dengan jatah sembako dan mie instant. Naudzubillah! …… Mungkin saja itu terjadi karena kita sebagai teman se-aqidah tidak turut membantu kesulitan mereka. Ada baiknya kita berguru ilmu lelaku dari lelaku Mbah Pandu, yang masih rutin menyisihkan uang yang dimilikinya untuk berjuang di jalan Alloh di tengah kehidupannya yang masih serba sulit. Mudah-mudahan Alloh Ta’ala senantiasa memberikan rezeki berlimpah pada kita dan mengkaruniakan pada kita untuk memiliki jiwa dermawan, amiin. Wallohua’lam