Pengikut

Jumat, 04 Januari 2013

Pro Kontra Kurikulum 2013


Oleh:
Mishad*
Kurikulum 2013 yang masih baru diuji publikan pada akhir 2012 ini sudah menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Sebagaimana yang pernah di jelaskan oleh Musliar Kasim (Wamendikbud), setelah pertemuan dengan Wapres Boediono pada tanggal 1/11/2012 di kantor Wapres, bahwa kurikulum baru dimaksudkan untuk mempertajam soft skill siswa.  Penanaman nilai dan sikap mulia sebagai warga negara, seperti toleransi dan empati, mendapat porsi lebih besar. Kurikulum baru juga akan menerapkan standar kompetensi lulusan pada tiga aspek, yakni sikap, keterampilan, dan pengetahuan. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Mohammad Nuh, menambahkan bahwa kurikulum baru yang tengah menjalani fase uji publik ini bertujuan utama membangun kemampuan berpikir anak secara ilmiah. Dia yakin bahwa ini akan berdampak baik mengingat banyaknya laboratorium alami yang dapat dieksplorasi oleh anak-anak. (Kompas, 17/12/2012)
Dalam banyak kesempatan, Mendikbud dan jajarannya menyatakan bahwa perubahan ini perlu dilakukan untuk menjawab tantangan zaman yang terus berubah agar anak-anak mampu bersaing pada masa depan. Namun, dari enam mata pelajaran sekolah dasar yang ditetapkan menunjukkan ketakseimbangan antara mata pelajaran yang berorientasi pada masa lampau, yang lebih menekankan pada pewarisan nilai-nilai, dan mata pelajaran yang membentuk pola pikir murid untuk menghadapi masa depan yang sarat dengan nalar dan konsep saintifik.
            Mata pelajaran Agama, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), serta Bahasa Indonesia selain mengawetkan ”pusaka” bangsa, bersama Matematika adalah rumpun pengetahuan yang bersifat deduktif yang menuntun berpikir aksiomatis apriori dari dalil-dalil yang umum. Sementara sains (seperti IPA dan IPS) adalah pengetahuan ”ilmiah” yang terbentuk dari model berpikir induktif aposteriori, bertolak dari fakta-fakta empirik yang partikular. Ketakseimbangan ini akan mempengaruhi alur dan kekuatan berpikir serta nalar kritis anak.
            Bangsa Indonesia yang masih diliputi alam pikiran mitis dan mistis kiranya perlu pendidikan yang menumbuhkan budaya menalar secara saintifik sejak dini. Oleh sebab itu, mata pelajaran sains (IPA dan IPS) di SD, khususnya di kelas lanjut, seharusnya berdiri sendiri, tak diintegrasikan ke dalam mata pelajaran lain. Sementara pada kelas I-III SD semua materi dan nilai-nilai mata pelajaran cukup disampaikan dalam tiga mata pelajaran: Membaca, Menulis, dan Berhitung.
           Pengintegrasian IPA dan IPS semakin menampakkan kerancuan ketika Mendikbud menyatakan—dalam pidato peringatan Hari Guru Nasional 2012—bahwa Kurikulum 2013 menggunakan pendekatan berbasis sains, yaitu mendorong siswa agar mampu lebih baik dalam melakukan observasi, bertanya, bernalar, dan mengomunikasikan (mempresentasikan) dengan obyek pembelajaran fenomena alam, sosial, seni, dan budaya.
Sementara  ketika kini secara resmi diuji publikan ada beberapa yang mengkritisi bahkan menolak dengan diterapkannya kurikulum baru ini. Dewan Pendidikan Daerah Istimewa Yogyakarta menilai bahwa draf  kurikulum 2013 memiliki banyak kelemahan. Ketua Dewan Pendidikan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Wuryadi mencatat sejumlah kelemahan dari isi kurikulum yang rencananya akan mulai diimplementasikan pada tahun ajaran mendatang itu. (kompas, 19/12/2012)
            Kelemahan pertama, kurikulum 2013 bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional karena penekanan pengembangan kurikulum hanya didasarkan pada orientasi pragmatis. Selain itu, kurikulum 2013 tidak didasarkan pada evaluasi dari pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 sehingga dalam pelaksanaannya bisa membingungkan guru dan pemangku pendidikan.
            Saat ini, KTSP saja baru menuju uji coba dan ada beberapa sekolah yang belum melaksanakannya.Bagaimana bisa, kurikulum 2013 ditetapkan tanpa ada evaluasi dari pelaksanaan kurikulum sebelumnya.Kelemahan lainnya adalah pemerintah seolah melihat semua guru dan siswa memiliki kapasitas yang sama dalam kurikulum 2013. Guru juga tidak pernah dilibatkan langsung dalam proses pengembangan kurikulum 2013. Di kurikulum 2013 ini juga tidak ada keseimbangan antara orientasi proses pembelajaran dan hasil. Keseimbangan sulit dicapai karena kebijakan ujian nasional (UN) masih diberlakukan dalam kurikulum 2013.
            UN hanya mendorong orientasi pendidikan pada hasil dan sama sekali tidak memperhatikan proses pembelajaran. Hal ini berdampak pada dikesampingkannya mata pelajaran yang tidak diujikan dalam UN.Padahal, mata pelajaran non-UN juga memberikan kontribusi besar untuk mewujudkan tujuan pendidikan.
            Kelemahan penting lainnya adalah tentang pengintegrasian mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia untuk jenjang pendidikan dasar. Langkah ini tidak tepat karena rumpun ilmu mata pelajaran-mata pelajaran itu berbeda.
             Sejumlah praktisi pendidikan berpendapat bahwa kurikulum 2013 belum diperlukan karena perlu pengkajian lebih lanjut serta sosialisasi secara luas kepada masyarakat agar dapat memahami perubahan kurikulum tersebut. Perlu waktu untuk sosialisasi kepada masyarakat agar dapat mengerti serta memahaminya, terutama bagi masyarakat yang berkecimpung di dunia pendidikan. Pergantian kurikulum ini membuat masyarakat panik sehingga perubahan kurikulum perlu waktu untuk dikaji terlebih dahulu serta diikuti dengan perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) dan sosial masyarakat.
Banyak pihak menilai perubahan kurikulum tanpa kejelasan waktu ini justru berdampak negatif pada pengembangan kualitas pendidikan.Idealnya, kurikulum dibiarkan berjalan paling tidak selama 10 tahun agar ada hasil yang diperoleh.Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang hanya berumur enam tahun masih belum dapat dilihat hasilnya secara signifikan. Umumnya, negara lain membiarkan satu kurikulum berjalan selama 10 hingga 15 tahun agar pemetaan hasilnya terlihat jelas.
Kurikulum kita, baru dua tahun diganti.  Dari kurikulum tahun 2004 ke KTSP 2006 masih 2 tahun. Sekarang dari 2006 rencananya ke Kurikulum 2013, juga baru enam tahun. Apa yang bisa dilihat? Dampaknya apa? Padahal biaya untuk penyusunan kurikulum dan pirantinya cukup besar.Berdasarkan data yang dipegang oleh Panja Kurikulum dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, anggaran kurikulum baru ini mencapai Rp 684,4 milyar. (kompas/20/12/2012).
            Di Singapura yang menjalankan konsep kurikulum yang tidak berbeda dengan Indonesia mampu menempati posisi keempat berdasarkan hasil riset dari Pearson, PISA dan TIMSS.Sementara Indonesia justru jauh terpuruk di peringkat bawah terkait kualitas pendidikan.Padahal anggaran pendidikan di Indonesia mencapai 20 persen dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Jika berkaca pada besarnya anggaran ini, maka seharusnya kualitas pendidikan di tanah
air bisa jauh lebih baik dari Singapura yang anggaran pendidikannya tidak sampai 20 persen dari anggaran nasional.Anggaran di Singapura memang tidak besar. Karena untuk perubahan kurikulum itu mereka biasanya menunggu 15 tahun.Pemetaan hasil dari keberhasilan kurikulum di Singapura berfokus pada peningkatan kualitas guru.
Seyognya pemerintah Indonesia harus belajar dari problem dasar dari piranti pendidikan yang utama, yaitu kualitas guru. Bagaimanapun peran guru dalam proses pendidikan adalah yang utama, sebagaimana pendapat ulama’ hujjatul islam Imam Al Ghozali yang mengatakan, bahwa guru adalah komponen yang paling menentukan dalam proses keberhasilan pendidikan bagi muridnya.Di Indonesia, Pemetaan kualitas guru dan hasilnya belum kelihatan, tetapi sudah ribut ganti kurikulum.Jangan heran kalau ada yang mengindikasikan pergantian kurikulum tidak lebih dari pemborosan anggaran pendidikan. Padahal pergantian kurikulum pendidikan tidak mesti tergopoh secepat itu, seperti di Indonesia  yang masih 6 tahun, bakan 2 tahun sudah mau diganti.
Prof. Dr. Mujamil Qomar, seorang ahli filsafat pendidikan lebih ekstrem lagi menyikapi tentang esensi kurikulum pendidikan. Dalam seminar pendidikan di Malang, dia menyatakan, bahwa kurikulum itu tidak penting, bangsa Indonesia membutuhkan pembangunan kesadaran pendidikan, bukan kurikulum pendidikan yang harus gonta ganti. Orang-orang hebat sekaliber HAMKA, Ayip Rosidi, Soekarno, dan beberapa yang lain lahir dari tingkat kesadaran yang tinggi tentang pendidikan.Saya agak sependapat dengan pendapat pak Mujamil, karena berdasar pengalaman yang saya ketahui pergantian kurikulum tidak membawa dampak yang fundamental bagi pendidikan, tetapi hanya lebih dari sekedar lipstik belaka. Jangan heran kalau ada yang berpendapat, bahwa ganti kurikulum adalah berubah nama baru tapi konsep jadul (jaman dulu). Wallohua’alam.