Pengikut

Rabu, 29 Agustus 2012

Mengapa Ada Pungutan Di PSB?


Oleh:
Mishad*

Kemendikbud masih mencium potensi pelanggaran pada masa pendaftaran  siswa baru (PSB)  tahun ajaran 2012 – 2013 . Untuk itu  kemendikbud sedang menyusun data base  sekolah-sekolah nakal yang nanti bisa diakses masyarakat. Proyek tersebut akan dikomandoi oleh jajaran  inspektorat jenderal (Itjen) Kemendikbud yang diketuai mantan pimpinan KPK Haryono Umar. Tim ini dibentuk atas intruksi Mendikbud, Muhammad Nuh untuk mengawasi jalannya proses PSB.  “Saya masih mendengar masih terus terjadi pungutan-pungutan dalam penerimaan siswa baru”  kata Haryono Umar (Jawa Pos, 25/6/2012).
Juni sampai awal bulan Juli ini adalah rentang waktu ramai-ramainya orang tua mendaftarkan anaknya sekolah.  Ketika mencari sekolah, mayoritas orang tua memilihkan anaknya ke sekolah yang dianggapnya baik. Baik menurut kebanyakan masyarakat sering dikatakan sebagai sekolah unggulan atau favorit.  Tentu saja kriteria yang dipatok oleh sekolah-sekolah unggulan dalam menentukan calon siswa barunya sangat elitis. Selain dengan NUN (Nilai Ujian Nasional) yang tinggi, mereka juga mensyaratkan berkas lain, seperti nilai raport, piagam penghargaan dalam prestasi akademik maupun  non akademik. Bahkan ada sekolah “favorit” yang mensyaratkan calon siswa barunya untuk mengikuti tes seleksi akademik dan psikologis, tanpa mensyaratkant NUN.
Rentetan alur penerimaan siswa baru belum berhenti sampai di sini. Setelah dinyatakan diterima, maka orang tua calon siswa baru juga harus menyiapkan “sesuatu” yang lain.  “Sesuatu“  yang saya maksud adalah biaya seragam, alat-alat penunjang pendidikan, dan dana sumbangan pendidikan (baca:uang gedung). Memang, ada beberapa pemerintah daerah yang melarang  adanya “pungutan “ yang dilakukan oleh sekolah, terutama sekolah negeri kepada calon siswa barunya. Tetapi kenyataannya, di lapangan dana sumbangan pendidikan itu tetap ada (baca:dipungut). Istilah yang dipakai oleh sekolah untuk menghimpun dana tersebut masing-masing satuan pendidikan berbeda, tapi pada intinya sama yaitu menggalang dana swadaya masyarakat. Tapi anehnya, tingginya biaya yang dipatok oleh beberapa sekolah “favorit”, tidak menyurutkan minat orang tua. Mereka rela merogoh koceknya dalam-dalam  demi “kebutuhan pendidikan berkualitas” untuk anaknya. Pendidikan berkualitas yang dimaksud adalah pendidikan di sekolah unggulan atau favorit.

Mengapa Ada Pungutan?
Sekarang, di Indonesia istilah sekolah unggulan lagi ngetren, baik di jenjang pendidikan pra-sekolah, dasar, dan menengah. Istilah yang digunakan sebagai sebutan sekolah unggul pun bergam, mulai dari sekolah plus, full day school, sekolah satu atap, sekolah terpadu atau boarding school. Maka, muncullah SD/MI Unggulan, SMP/MTs Unggulan atau SMA/MA Uggulan, yang tidak hanya didominasi oleh sekolah-sekolah negeri saja. Beberapa sekolah tersebut menawarkan program-program pendidikan yang beragam, mulai plus agama, plus teknologi dan keterampilan, plus penginapan, hingga plus penguasaan bahasa internasional. Cara mempromosikan sekolah-sekolah mereka pun bervariasi, mulai dari pasang iklan atau advertorial di media cetak, hingga promosi ke sekolah-sekolah di jenjang bawahnya, seperti dari SMA/MA turun ke SLTP/MTs, dari SLTP/MTs turun ke  SD/MI atau dari SD/MI turun ke TK-TK. Promosi tersebut tentu tidak semata-mata hanya untuk menjaring murid  baru, akan tetapi untuk menjemput murid-murid yang berkualitas, diharapkan mereka kelak makin mendongkrak nama sekolah.Perkembangan sekolah unggulan (excelent schools) di Indonesia, sekarang banyak dirintis oleh sekolah-sekolah swasta.
Sekolah unggulan atau favorit yang sekarang merebak bak cendawan di musim hujan itu pun bercirikhas hampir mirip, seperti ditandai dengan biaya yang tinggi, fasilitas yang serba luks, elitis, eksklusif, dan dikelolah oleh tenaga yang dikondisikan profesional.  Jadi biaya pendidikan yang tinggi  merupakan hal wajar yang ditemukan di sekolah-sekolah favorit. Biaya itu digunakan untuk mencapai dua variabel penting sekolah unggul, yaitu prestasi akademik dan non akademik yang tinggi. Oleh karena itu sekolah membutuhkan banyak fasilitas penunjang. Fasilitas tersebut seperti adanya kurikulum yang fungsional dan profesional. Selain itu juga diperlukan fasilitas belajar yang memadai, desain pengajaran modern, kompetisi dan komitmen guru yang tinggi, penyaluran bakat dan minat secara individual yang bertujuan mengembangkan aspek sosial dan akademik murid.
Untuk memenuhi kebutuhan sekolah unggul yang kompleks, maka sangat dimungkinkan sekolah tersebut akan terus berbenah, tidak ada kata puas bagi mereka, yang ada adalah bagaimana terus maju dan berinovasi. Jika sarana maupun pra sarana tertentu sudah terpenuhi, maka harus melengkapi yang lain dan begitu seterusnya untuk mengikuti perkembangan dunia pendidikan. Di sekolah unggul selalu muncul inovasi pendidikan yang tiada henti. Pemenuhan dukungan sarana dan pra sarana inilah yang membutuhkan dana yang tidak sedikit. Sehingga jangan heran kalau di sekolah unggulan dibutuhkan biaya pendidikan yang cukup tinggi.
            Mahalnya dana pendidikan juga tidak lepas dari masih minimnya dana subsidi pemerintah untuk sekolah. Dana DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran) yang diberikan pemerintah untuk sekolah hanya mampu memenuhi standar pendidikan minimal bukan kebutuhan untuk sekolah “unggulan”. Sehingga jika sekolah ingin mencapai pendidikan yang lebih berkualitas (unggul), maka  diperlukan sumber dana penunjang lain, dan salah satunya adalah dana swadaya masyarakat. Penghimpunan dana swadaya masyarakat ini yang menjadi polemik di masyarakat dan berujung pada pelarangan oleh beberapa kepala pemerintah daerah terhadap penarikan dana sumbangan oleh sekolah kepada orang tua calon siswa barunya.

Win Win Solution
Kalau kita amati, sorotan masyarakat terhadap permasalahan penerimaan siswa baru (PSB) mengerucut pada masalah dana sumbangan pendidikan yang tinggi.  Banyak masyarakat, terutama kelas rendah (miskin) yang mengeluhkan tingginya biaya pendidikan yang harus dibayarnya ketika memasuki sekolah favorit. Jangan heran kalau konsumen sekolah favorit banyak didominasi oleh kalangan menengah ke atas. Ini antara lain karena mahalnya biaya pendidikannya. Sehingga masyarakat kelas rendah hanya mampu bersekolah di sekolah-sekolah yang kualitasnya apa adanya. Jika fakta demikian yang terjadi, maka muncullah kasta-kasta dan ketidak adilan dalam dunia pendidikan.
Untuk mengurai dan mencari jalan keluar permasalahan tersebut diperlukan beberapa solusi yang saling menguntungkan (win win solution), baik bagi pihak sekolah, pemerintah maupun masyarakat atau wali murid (miskin/kaya). Pertama, mengusahakan sumber dana alternatif. Sudah waktunya kita berpikir untuk berorientasi ke depan dalam pendanaan sekolah. Sehingga sebuah sekolah diharapkan tidak menitikberatkan pendanaan bantuan sumbangan pendidikan dari wali/orang tua murid. Sumber dana tersebut bisa kita usahakan  dari sponshor. Seperti melibatkan sponshor dari perusahaan untuk kemajuan pendidikan. Dana dari sponshor itu diberikan untuk bantuan beasiswa, tunjangan studi guru  ataupun bantuan infrastruktur pada sekolah-sekolah yang membutuhkan. Adapun imbalan untuk sponshor mereka bisa memasang ikon ataupun simbol perusahaannya di souvenir sekolah, bahkan merekrut lulusannnya untuk bekerja di perusahaannya. Contoh, di SMAN 10 Malang, ada program kemitraan dengan PT. Sampoerna dengan ikon Sampoerna Academy Foundation.
            Kedua, mengatur manajemen keuangan sekolah secara lebih efektif dan efisien. Kita yakin tidak ada sekolah yang tidak ingin punya sarana prasarana sekolah yang luks dan memadai. Kita juga yakin tidak ada sekolah yang merasa cukup dan puas dengan fasilitas yang ada. Akan tetapi perlu dipertimbangkan apabila keinginan untuk membuat proyek mercusuar sekolah yang menyedot dana besar, kemudian kita hanya menggantungkan sepenuhnya pada bantuan orang tua/wali siswa. Bagi orang tua siswa yang mampu mungkin tidak menjadi masalah, tapi bagaimana bagi mereka yang kurang mampu walaupun dengan mencicil. Kurang bijaksana jikalau pihak sekolah, apalagi sekolah negeri menerapkan kebijakan yang setengah mendoktrin, seperti kalau tidak mampu membayar ya sudah silahkan mencari sekolah lain. Lebih-lebih nilai tes anaknya memenuhi syarat sedangkan ia secara ekonomi memang tidak mampu. Jelas bila terjadi hal yang demikian, pihak sekolah perlu turut membantu mencarikan alternatif pendanaannya. Atau paling tidak memberikan kebijakan yang lebih lunak dan koordinatif dalam pembiayaan. Singkatnya perlu skala prioritas dalam pembiyaan program dan batasan nilai dana seminimal mungkin yang dihimpun dari orang tua siswa.
            Ketiga, Mengusahakan pendanaan melalui subsidi silang. Bagi masyarakat yang berpendapatan lebih (kaya), dapat membantu yang berpendapatan rendah (miskin) melalui mekanisme subsidi silang atau memberikan sumbangan cuma-cuma pada murid yang  betul-betul membutuhkan. Subsidi silang merupakan solusi keadilan dalam pendanaan pendidikan. Tentunya tidak adil jika siswa yang orang tuanya mampu  harus membayar dengan nilai yang sama dengan siswa yang orang tuanya tidak mampu/miskin. Adapun teknik subsidi silang dapat dilaksanakan secara humanis di masing-masing sekolah.
Ke-empat, mengusahakan pendidikan negeri adalah pendidikan yang berkualitas, tetapi terjangkau biayanya oleh masyarakat. Hal ini bermakna, sudah saatnya pemerintah benar-benar membela kepentingan pendidikan “wong cilik” . Pemerintah seharusnya mensubsidi penuh biaya operasional dan pengembangan sekolah negeri, sehingga seluruh kebutuhan sekolah negeri terpenuhi. Selain itu, ketika sekolah negeri yang berkualitas itu murah, masyarakat bawah bisa menikmatinya. Sekolah negeri yang menghimpun dana dari orang tua  rata-rata karena ingin meningkatkan kualitas lebih sekolah (lebih unggul). Sementara jika mengandalkan  dana dari pemerintah untuk pengembangan sekolah, maka  sangat terbatas.
Lalu bagaimana dengan pendidikan anak orang kaya? Munculnya lembaga pendidikan swasta unggulan, seperti Pelita Harapan, Al-Azhar, Al Hikmah, Sabilillah, Al Falah, Petra, Cor Jesu, santa Maria,  dan lain-lain perlu untuk ditumbuhkembangkan. Orang-orang kaya harus men-suport tumbuhnya lembaga-lembaga pendidikan swasta yang berkualitas. Artinya, orang tua yang kaya tidak akan keberatan untuk menyekolahkan anaknya ke sekolah swasta unggulan—walaupun dana pendidikannya tinggi. Kesimpulannya, kita ciptakan kondisi pendidikan berkualitas untuk semua. Masyarakat lapisan menengah ke bawah menikmati pendidikan berkualitas di sekolah negeri—karena disubsidi penuh oleh pemerintah. Sementara, masyarakat menengah ke atas menikmati pendidikan berkualitas di sekolah swasta unggulan—karena mereka mampu memenuhi biaya pendidikannya. Adapun jika ada anak orang kaya yang sekolah di sekolah negeri, maka bisa memberikan dana subsidi untuk mensuport siswa miskin.  Ini ide saya dalam tataran wacana yang perlu dikritisi.
Pada akhirnya  semua pihak harus bekerjasama untuk mencari jalan keluar tentang fenomena penerimaan siswa baru (PSB) ini, terutama di sekolah unggulan. Tentu saja solusi tersebut adalah solusi bijak dan saling menguntungkan bagi pihak sekolah, pemerintah maupun wali murid. Ingat, pendidikan di Indonesia bertujuan mencerdaskan anak bangsa, tidak membedakan anak orang kaya atau miskin. Dalam pasal 31 ayat 1 UUD 1945 pun dijelaskan semua warga negara berhak mendapatkan pengajaran. Di situ tidak dijelaskan, bahwa pengajaran yang favorit untuk orang kaya dan pengajaran yang seadanya untuk orang miskin. Mestinya pendidikan berkualitas adalah untuk semua.